MOJOK.CO – Apa jadinya jika pertemuan antara Donald Trump dengan Kim Jong Un di Singapura diganti tempat acaranya di Indonesia pada saat Lebaran kemarin? Hm, sepertinya seru~
Pertemuan Korea Utara (Korut) dan Amerika Serikat di Singapura 12 Juni lalu patut dicatatkan dalam sejarah dunia yang fana ini. Mengingat hubungan kedua negara selama ini ngambek-ngambekan mirip bocah rebutan Hot Wheels.
Seperti yang kita tahu, kedua belah pihak, baik Korut maupun Amerika sepakat melakukan pertemuan di zona netral Singapura yang menurut sumber Pyongyang, lokasinya paling dekat dijangkau dengan pesawat pemimpin Korut tersebut. Meskipun saya curiga ini pasti karena pilih lokasi yang rudal Korut bisa sampai saja sih. Jadi kalau ada apa-apa tinggal pencet tombol reset dunia, beres urusan.
Kalau boleh jujur, melihat peristiwa jabat tangan bersejarah antara Donald Trump dan Kim Jong Un ini bisa dibilang lebih mirip salaman bapak-anak daripada jabat tangan diplomatis pemimpin negara. Yang satu kelewat tua yang satu kelewat culun (baca: muda). Benar-benar pemandangan yang menyenangkan mengingat saat keduanya berjabat tangan, umat muslim di Indonesia mendekati momen bulan Ramadan saat itu.
Tentu saja pemilihan Singapura bukan tanpa alasan. Selama ini Singapura dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat keamanan yang bisa dipertanggunjawabkan. Selain aman, Singapura terkenal negara yang well organized. Itu belum termasuk pasukan Gurkha yang mengawal jalanya KTT Korut-Amerika.
Kalian juga tahu, bahwa Gurkha adalah pasukan dengan tingkat keganasan alamiah yang terlatih di medan liar dan selalu siap tempur. Pasukan Gurkha dipasang guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Selain tentu saja Navy Seal-nya Amerika yang selalu siap sendiko dawuh perintah “Olympus” (kode rahasia untuk gedung putih) atau intelejennya Korut yang siap dengan tisu beracun.
Sebagai negara modern, teratur, dan bebas dari sentimen serta kepentingan politik, Singapura menjadi masuk akal sebagai lokasi pertemuan. Di Singapura, Kim Jong Un tak lupa berwisata dan menikmati makanan lokal. Mengingat motif Korut memilih Singapura karena di sana banyak tempat wisata dan dekat dengan pesawat dari negara sendiri, maka harusnya pertemuan itu bisa dilaksanakan di Indonesia juga. Apalagi kalau jabat tangan itu dilakukan pas momen lebaran seperti kemarin. Pasti yahud lagi.
Nah, berikut keistimewaan jika pertemuan keduanya dilaksanakan di Indonesia:
1. Makan Nasi Padang dan Opor Ayam
Nasi Padang sudah banyak dipopulerkan oleh food blogger kelas dunia. Menyantap nasi padang bisa membuat seseorang merem-melek keenakan hingga nyaris sakaw ilahiah. Ini tentu tidak setiap hari dijumpai oleh lidah Trump di Amerika, yang mana rasa masakan terasa hambar. Yah, paling banter kuah kari ala imigran India. Kalau Obama memuji sate dan bakso, barangkali dia akan hilang kata saat menyantap nasi padang, apalagi pakai rendang yang dinyatakan sebagai makanan terenak sedunia.
Sedangkan Jong Un yang dari Korut, asumsi saya sih seleranya enggak jauh beda dengan masakan ala-ala Drama Korea. Sebagai pecinta drakor kelas pemula, saya menebak mungkin mereka cuma familiar dengan kimchi (tanpa huruf “L”) yang asam.
Bagi lidah orang Indonesia, rasa kimchi barangkali sudah cukup kuat. Akan tetapi nasi padang, adalah kuliner dengan bumbu rempah yang lebih “berani”. Ibarat kimchi adalah busa cuci piring, maka nasi padang adalah kanebo. Terlihat tipis, tapi daya serap bumbunya jauh lebih tinggi.
Ini belum memasukkan menu opor ayam yang bakal dijumpai kalau keduanya datang pas Lebaran. Apalagi disajikan dengan ketupat yang tidak ada di kedua negara. Tentu ini bakal jadi cerita gegar budaya yang menarik. Lebih-lebih ketika keduanya menyantap makanan dikerubuti anak-anak yang berebut salaman minta THR.
Pemandangan tersebut akan bikin nasi padang dan opor ayam jadi alat diplomasi dan meningkatkan bergaining position Indonesia di mancanegara. Di saat negara-negara dunia gontok-gontokan soal senjata nuklir Korut dan Amerika, ternyata Kapitalis dan Komunis bisa disatukan dalam kuah santan. Benar-benar deh, senjata terkuat itu memang urusan perut pokoknya. Asal kenyang, semua tenang, semua menang. Persis kaya filosofi Lebaran.
2. Piknik ke Bali
Hampir rata-rata wisatawan mancanegara kalau mengunjungi Indonesia tujuannya ya karena mau ke Pulau Bali. Indonesia tanpa Bali ibarat Bali tanpa Indonesia. Ya sama aja. Lha wong, Obama aja wisata ke Bali setelah lepas jabatan dari Presiden Amerika. Jadi bagaimana dengan Trump dan Jong Un?
Bali adalah pulau tropis yang eksotis punya. Mungkin Trump punya Hawaii, tapi Jong Un? Bukan bermaksud meremehkan Korut, tapi ada berapa banyak pulau sih di Korut yang seindah Bali dengan turis-turis berbikini yang aduhai itu?
Selain itu, sebagai negara komunis yang “katanya” tak mengenal agama dan Tuhan. Berkunjung ke Bali dan melihat keindahan budaya religiusnya, Jong Un mungkin akan mempertimbangkan pencantuman kolom agama di KTP untuk Penduduk Korut. Secara Jong Un sudah mulai berpikir Korut harus membuka diri ke pergaulan Internasional dan menyadari bahwa ternyata beragama, berdoa, dan punya Tuhan itu enggak buruk-buruk amat.
Hanya saja, jangan sampai Jong Un tahu kelakuan umat beragama Indonesia dari media sosial yang belakangan ini lagi ngeri-ngerinya. “Walah, jebul masih beradab rakyat-rakyatku.” Duh, duh, bisa balik atheis lagi dia. Eh, tunggu dulu, emang Jong Un ini beneran atheis enggak sih?
3. Merasakan Macet
Kalau Anda googling soal Korut, akan muncul foto-foto di jalanan Korut yang terasa sangat lengang. Seperti semua jalanan di Korut benar-benar baru saja diaspal. Mulus bersih tanpa kemacetan. Hal ini disebabkan Korut membatasi kepemilikan mobil pribadi dan rakyat Korut mayoritas memang enggak terlalu tertarik untuk beli mobil karena lebih butuh untuk beli makanan.
Di Amerika, mungkin mobil banyak, tapi jalanan diatur sedemikian rupa hingga orang-orang bisa menghindari kemacetan. Terlebih di Amerika, transportasi publiknya sudah baik. Pada akhirnya, orang lebih punya banyak pilihan untuk bepergian.
Di Indonesia, karena belum punya infrastruktur yang mumpuni seperti Amerika, selain itu penjualan mobil yang gila-gilaan tidak seperti Korut, lebih-lebih di sini ada media seperti Mojok punya rubrik otomojok, maka kemacetan di Indonesia—terutama di Jakarta—adalah sebuah fitrah. Sunnatullah. Hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat.
Dengan begitu, baik Jong Un dan Trump akan punya lebih banyak waktu ngobrol sambil menikmati kemacetan di dalam mobil. Dan pembicaraan di dalam ruang privat seperti di mobil begini akan memunculkan sifat asli masing-masing pemimpin kedua negara. Ingat, kemacetan ibukota juga punya julukan sebagai “jubah kejujuran”, siapa yang terjebak di sana akan keluar sifat-sifat aslinya.
Jadi, jika di depan kamera keduanya bisa senyum-senyuman, siapa yang bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh keduanya dalam mobil saat terjebak kemacetan dari Kalibata ke Pasar Minggu pada jam pulang kantor? Kan, lebih baik terbuka daripada nanti rasan-rasan kalau udah pada balik kaya ibu-ibu kompleks.
4. Silaturahmi Balik ke Setnov dan Fadli Zon
Jika pertemuan Trump dan Jong Un diadakan di Indonesia pada momen Lebaran, maka seharusnya tempat pertama yang harus dikunjungi Trump adalah kediaman Setya Novanto.
Lho? Lho? Ya iya dong, Trump tentu tidak ingin melupakan jasa Mantan Ketua DPR RI ini. Sosok yang dulu pernah mengunjungi dirinya sampai jauh-jauh ke Amerika untuk kasih dukungan waktu kampanye Pemilihan Presiden Amerika silam. Siapa yang mengira, berkat dukungan Setnov, Trump yang awalnya banyak diragukan akhirnya betulan jadi Presiden Amerika lho. Sakti betulan memang ini orang.
Kalau ternyata Setnov tidak bisa dikunjungi karena yang bersangkutan masih dalam masa hukuman, mungkin Trump bisa mengajak Jong Un untuk mengunjungi teman perjalanan Setnov waktu di Amerika dulu, yakni; Fadli Zon.
Barangkali pertemuan dengan Fadli Zon bisa semakin mengurai ketegangan di antara kedua negara. Karena Indonesia ternyata punya aset berharga seperti itu. Lha gimana? Daya sebal Fadli Zon dibandingkan daya rusak senjata nuklir Korut dan Amerika mah enggak ada apa-apanya.
Kali aja Trump dan Jong Un mampu melihat potensi Fadli Zon sebagai senjata rahasia negara ya kan? Silakan dibawa aja Pak Trump dan Mas Jong Un. Rakyat Indonesia rela kok, stok masih banyak. Atau mau sekalian bawa satu gedung buat oleh-oleh?
Kalau saya sih yes.