MOJOK.CO – Seberapa mau orang tua percaya proses belajar anaknya? Dalam tahap tertentu, bisa saja sampai melarang anaknya ikut demo tolak Omnibus Law.
Secara tak sengaja, saya membaca komentar seseorang di status Facebook teman saya, Kalis Mardiasih.
“Mbak Kalis, kelak kalo sampeyan jadi orang tua akan merasakan kekhawatiran para orang tuanya…”
Saya tertegun sejenak membaca komentar itu. Sekaligus geregatan ingin sedikit menjelaskan konteks komentar di atas.
Kalis Mardiasih sendiri merupakan salah satu aktivis yang kencang menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sesuai dengan sikapnya, unggahan-unggahannya dalam puluhan jam terakhir setelah demo tolak Omnibus Law berlangsung, secara tersurat mendukung aksi mahasiswa.
Kalis juga membela para remaja yang turun ke jalan, yang dinilai banyak orang hanya untuk gagah-gagahan. Ketika ia mengunggah pembelaannya itu, salah seorang komentator menggunakan alasan perasaan orang tua untuk mematahkan narasinya.
Komentar itu memang layak untuk direnungkan. Setidaknya, beberapa jam sebelum membaca komentar itu, saya juga bertanya-tanya pada diri sendiri, jika hari itu anak saya sudah dewasa dan meminta izin untuk pergi berdemonstrasi, apakah saya akan mengizinkannya pergi?
Bagi sebagian orang tua, ini mungkin bukan pertanyaan yang sulit diputuskan jawabannya. Sudah menjadi naluri orang tua untuk menjauhkan anak dari ancaman bahaya. Siapa yang dapat menjamin keselamatan anak selama mengikuti demonstrasi? Jujur saja, sebagai orang tua tak ada hal yang lebih menyebalkan daripada cemas memikirkan keselamatan anaknya.
Saya jadi ingat salah satu episode dalam drama Korea yang berjudul Reply 1988. Meskipun Sung Dong Il bersimpati pada demonstrasi mahasiswa, dia marah besar saat mengetahui Sung Bo Ra, anaknya sendiri, mengikuti demonstrasi itu.
Sung Dong Il sampai mengurung anaknya di kamar agar anaknya tak pergi berdemonstrasi. Sung Dong Il menjadi gambaran umum bagaimana orang tua menjadi sangat sensitif dengan segala hal yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan anaknya.
Ada ketegangan psikologis yang harus dialami orang tua ketika keselamatan anaknya dalam ketidakpastian. Tertuama dalam demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang berakhir ricuh kemarin. Jika anak diizinkan untuk mengikuti demonstrasi, maka akan ada banyak pikiran “jangan-jangan” berseliweran di kepalanya.
Jangan-jangan nanti rusuh, jangan-jangan nanti matanya pedih kena gas air mata, jangan-jangan nanti ia terluka, dan seterusnya. Maka dari itu, tidak mengizinkan anak pergi demonstrasi adalah pilihan yang paling efektif untuk menghindarkan orang tua dari ketegangan psikologis semacam ini.
Persoalannya, ketentraman hati orang tua bukan satu-satunya hal yang paling penting dalam merajut relasi dengan anak. Kenyataannya, tak hanya orang tua yang memiliki perasaan dan pikiran, anak juga memilikinya.
Seorang bijak mengatakan, “Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.” Nasihat ini tak terkecuali bagi hubungan antara orang tua dan anak.
Apakah kita senang dilarang-larang untuk sesuatu hal yang kita yakini benar? Apakah kita suka bila keputusan kita dibajak dan dianggap tak valid karena posisi kita sebagai anak?
Ada hal-hal alami dalam diri anak yang sebaiknya tak diingkari oleh orang tua. Sama seperti orang tua, anak juga seorang individu yang ingin didengarkan pendapatnya dan dihormati pilihan-pilihannya. Termasuk dengan pilihannya saat meyakini ikut aksi demo tolak Omnibus Law adalah jalan ninjanya.
Seiring bertambahnya usia, anak mengembangkan kemampuan kognitif, emosi, dan sosial di dalam dirinya. Dengan modal kemampuan tersebut anak melalui proses belajar. Terlepas dari keterbatasan yang dimiliki oleh anak, tapi mereka memang mampu mengolah informasi dan menarik kesimpulan.
Pertanyaannya, seberapa mau orang tua mempercayai dan menghargai proses belajar anaknya?
Harus diakui, mempercayai dan menghargai proses belajar anak tidak pernah menjadi perkara yang mudah bagi orang tua. Sebagai orang yang merasa lebih berpengalaman dan lebih mengetahui kebenaran, orang tua cenderung merasa cemas anaknya akan melakukan kesalahan.
Akibatnya, orang tua sibuk mengantisipasi kesalahan anak dengan langsung menunjukkan A, B, C, dan D. Bahkan, kadang tanpa sadar memaksakan apa yang menurutnya benar, sehingga lupa memberikan anak kesempatan belajar, termasuk kesempatan belajar dari kesalahan.
Hal ini bertentangan dengan apa yang dibutuhkan anak pada usia mudanya. Anak membutuhkan eksplorasi dan kontrol atas dirinya sendiri. Anak butuh diterima dan diakui. Dan, sebaik-baiknya penerimaan dan pengakuan adalah yang berasal dari orang tuanya sendiri.
Penolakan tanpa empati hanya akan membuat anak merasa tidak dipahami, lalu akhirnya menarik diri. Sedihnya, banyak orang tua yang merasa tak cukup hanya dengan berbeda pendapat, mereka merasa perlu mengolok-olok apa yang menjadi pilihan anak.
Apalagi sampai bikin video, bahwa si anak dianggap tidak paham Omnibus Law UU Cipta Kerja. Lalu mempermalukan di muka umum, bahwa nggak paham isu kok mau ikut-ikutan demo. Dan melakukan generalisasi bahwa mereka yang ikut sama-sama tidak pahamnya.
Melihat fenomena itu, saya tak habis pikir. Apa sih yang didapat dari mengolok-olok anak selain memperdalam jurang perbedaan? Apa yang didapat dari perilaku demikian kecuali semakin menjauhkan generasi orang tua dengan generasi anak muda?
Saya tidak mengatakan orang tua harus selalu mengiyakan keinginan anak. Orang tua sangat boleh berbeda pendapat dengan anak, seperti anak juga boleh berbeda pendapat dari orang tua. Namun, ketidaksetujuan terhadap anak tidak berarti membuat orang tua punya hak untuk mencemooh dan meniadakan buah pikiran anak.
Saat perbedaan pendapat terjadi, yang kita butuhkan adalah ruang diskusi dan berbicara dari hati ke hati, bukan menekan dan menyalahkan. Kita semua ingin dimengerti dan dipahami. Agar bisa seperti itu, harus ada yang memulainya lebih dulu.
Lalu, siapa yang memulainya lebih dulu? Kira-kira, mana yang lebih cocok, orang tua menjadi contoh bagi anak atau anak menjadi contoh bagi orang tua?
Itu tergantung siapa yang membaca tulisan ini. Jika kamu orang tua, mulailah pahami anakmu. Jangan pakai standar kemampuanmu yang sekarang untuk menghukumi pengetahuan anakmu. Itu tidak adil. Pada usia yang sama, belum tentu juga kamu lebih cerdas dan terbuka ketimbang anakmu.
Sebaliknya, jika kamu anak-anak, tolong peduli juga kekhawatiran orang tuamu. Perlakuan lebaynya itu harus kamu yakinkan dengan sikap-sikapmu yang bertanggung jawab. Jika kamu masih bersikap kayak bocah belum akil-balig, wajar kalau orang tuamu belum percaya sepenuhnya dengan pilihanmu.
Nah, balik lagi ke pertanyaan awal, apakah saya akan memberi izin jika anak minta izin pergi berdemonstrasi?
Jujur, saya tak bisa memastikan jawabannya. Saya hanya ingin selalu berusaha menghargai proses belajar anak dan menghormati otonominya dalam mengambil keputusan.
Seperti yang sering saya katakan pada suami, saya tidak menginginkan anak yang patuh, saya ingin anak yang berani mengambil sikap dan mampu bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri.
Bahkan ketika pilihan itu barangkali berseberangan dengan orang tuanya.
BACA JUGA A-Z Omnibus Law: Panduan Memahami Omnibus Law Secara Sederhana dan tulisan Lya Fahmi lainnya.