MOJOK.CO – Ada 5 alasan Jember menjadi kabupaten yang paling istimewa di Jawa Tengah. Setelah membaca nostalgia ini kamu akan tahu alasannya.
Beberapa malam yang lalu, saya merasa sebuah kenyataan menghantam. Bahwa harga secangkir Americano di Kota Surabaya setara dengan harga seminggu saya makan di Jember.
Tak hanya itu, barangkali, pahitnya kopi yang saya seruput kala itu, juga bercampur dengan pahitnya kenyataan bahwa rupanya saya sudah lima tahun meninggalkan kota kelahiran saya, Jember. Ya, kota yang dulu pernah saya kutuki karena saking kelewat ndeso-nya itu.
Saya merasakan betul-betul, betapa lamanya saya tak kunjung pulang ke Jember. Setiap malam minggu, misalnya, saya dipaksa melihat timeline media sosial yang dipenuhi oleh foto-foto teman saya di Jember. Tentunya, mereka masih seperti dulu, kadang nongkrong di pusat kota, mejeng di sekitaran pantai selatan, atau sekadar ngopi di puncak Rembangan.
Saya kadang sampai mengelus dada. Sebab, mereka yang dulu merantau bersama-sama, kini mulai banyak yang pulang kampung dan berkeluarga. Dan, secara pasti saya masih di sini, terjebak di dalam rutinitas kota metropolitan yang sesak, juga yang dulu saya anggap “keren” itu.
Entah sejak kapan kiranya, Jember bukan lagi sekadar tempat kelahiran atau tempat untuk pulang. Kota ini ialah sekumpulan memori yang terus mengejar.
Bagaimana tidak? Aroma tembakau yang baru dipanen di pagi hari, tawa mahasiswa yang sedang ngaso di warung kopi dekat kampus, deburan ombak pantai Watu Ulo, dan mungkin sejuta kenangan lainnya yang tak bisa dibeli dengan gaji setara UMR Surabaya.
Romansa Alun-Alun Jember
Sekitar 2023 yang lalu, saya membaca berita bahwa Pemkab Jember mulai merenovasi alun-alun dengan anggaran Rp26 miliar. Kira-kira, dengan anggaran sebesar itu, kondisi alun-alun pasti jauh lebih indah.
Tentunya, nuansa nostalgia yang saya rasakan lima tahun yang lalu itu perlahan hilang atau tergantikan. Lantaran, pedagang kaki lima yang dulu berjajar di setiap sudut, kini harus ditempatkan ke zona khusus.
Tukang becak yang dulu saya perhatikan asyik main catur sambil menunggu penumpang, kini perlahan digantikan oleh ojek daring yang bertengger di ponsel pintar. Modernisasi, kata mereka. Meski begitu, rasanya seperti kehilangan album foto lama yang tak bisa diganti dengan feed Instagram kekinian.
Mungkin, hal yang paling saya ingat ketika menikmati romansa Alun-Alun Jember adalah saya sering dikira pacaran. Sebab sempat, seorang Satpol PP waktu itu dengan nada guyon bilang kalau ingin pacaran, tolong agak mojok saja.
Saya pun tertawa. Lantaran saat itu saya sedang serius mendiskusikan masa depan saya yang ingin merantau ke mana. Meskipun, sesekali saya memang melirik ke orang-orang yang benar-benar pacaran di sana.
Dulu, saya selalu punya alasan untuk nongkrong di alun-alun. Sebab, dengan modal uang Rp10 ribu saja, saya bisa duduk berjam-jam. Beli kopi gelasan Rp2 ribu, lalu sisanya untuk beli tahu bulat. Itu saja sudah serasa menjadi orang paling penting karena keseriusan obrolannya. Tapi, sudah pasti, ujung-ujungnya rasan-rasan juga.
Sebatang rokok dan sejuta mimpi di Tegal Boto
Di tengah hiruk pikuk Kota Pahlawan, terkadang saya merindukan aroma rokok murah yang dulu jadi teman begadang saya saat masih ngontrak di Tegal Boto, Jember. Wajar, aroma rokok dan tembakau, menjadi ciri khas Kabupaten Jember karena kabupaten ini penyumbang 30% tembakau paling banyak se-Jawa Timur.
Tapi, tentu saja, angka yang ditampilkan ini bagi saya cuma bonus. Sebab, yang utama dari semua itu adalah memori di balik kepulan asapnya.
Saya tiba-tiba teringat kalimat sakral dari Pak Min, seorang penjaga warung kelontong langganan saya waktu di Jember. “Mas, rokoknya masih kompelit,” ungkap Pak Min dengan logat khas Madura-Jember.
Dengan harga rokok yang waktu itu masih Rp15 ribu per bungkusnya, apalagi ditambah dengan kopi Rp3 ribu, saya sudah merasa menjadi makhluk paling bijak sedunia. Pasalnya, obrolan saya dan teman saya begitu mengalir jika sudah ketemu rokok Pak Min dan secangkir kopinya. Mulai dari membahas soal revolusi, bahkan sampai taktik mengelabui landlord kontrakan yang giat menagih uang sewa.
Lantaran Pak Min, bagi saya bukan cuma sekadar penjual rokok dan kopi di Tegal Boto. Dia adalah sosok pendengar setia bagi kami. Meski kadang cara menasihatinya agak terkesan nyeleneh, tapi Pak Min memahami betul kondisi kami.
Terkadang, Pak Min bahkan rela membiarkan kami untuk membayar ketika sudah punya uang. Dari situ, di warung kecilnya itu, saya rasa Pak Min tak hanya menjual barang dagangan untuk anak muda. Dia juga menjual harapan dan kebaikan hati yang kini sulit ditemui di kota besar, seperti yang tengah saya rasakan saat ini di Surabaya.
Kenangan di pantai selatan
Beberapa bulan yang lalu, sebuah data menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Pantai Watu Ulo, meningkat hampir 40% dalam lima tahun terakhir. Itu artinya, dalam lima tahun kepergian saya dari Jember, Watu Ulo telah berkembang menjadi pusat wisata paling populer di sana.
Dan, sayangnya, saat Watu Ulo sedang cantik-cantiknya itu, saya tak bisa menikmatinya. Bagi saya, kini Watu Ulo bukan sekadar wisata. Watu Ulo adalah cerita.
Sebagai orang yang ngontrak di Jember bagian pusat, wisata yang saya rasakan pasti terbatas. Namun, selalu saja ada ajakan dari teman untuk main ke pantai selatan. Ajakan ini sudah bisa dipastikan selalu muncul setiap liburan akhir semester. Dengan modal patungan uang bensin dan nekat, kami menyusuri jalan sekitar 30 kilometer menuju pantai.
Sementara di batu karang mirip ekor ular itulah kami pernah bermimpi tentang masa depan. Ada yang ingin jadi teknisi, jadi penulis, ingin keliling dunia, dan bahkan ada yang ingin jadi bupati. Watu Ulo, menyimpan semua memori kami.
Pahit kopi Rembangan yang dirindukan
Beralih dari pantai ke ketinggian 650 mdpl, puncak Rembangan menawarkan pemandangan Jember yang membuat saya sadar. Betapa kecilnya saya di tengah hamparan perkebunan yang menjadi penopang kabupaten ini.
Dulu, ketika saya menikmati kopi di sana, ada yang bilang, bahwa rahasia nikmatnya kopi Rembangan ada di airnya yang dingin dan juga bersih. Namun, saya lebih percaya bahwa rahasianya terletak pada momentum, yakni kapan dan dengan siapa kita menyeruputnya.
Intinya, seperti cinta pertama yang tak terlupakan itu. Kopi pertama yang kita nikmati di suatu tempat akan selalu punya tempat spesial di dalam memori kita.
Apalagi, di tengah kabut yang menyelimuti puncak Rembangan itu, saya masih ingat dengan jelas bagaimana dulu kami sering menghabiskan akhir pekan di sini. Tentu bukan karena kami orang kaya yang bisa membeli kopi mahal atau menyewa penginapan, tapi justru sebaliknya. Kami menikmati kopi Rembangan karena hanya itulah pilihan yang sesuai dengan isi dompet kami.
Kami menyeruputnya sambil sesekali ngobrol tanpa kenal waktu. Kadang juga diselingi oleh canda tawa dan mimpi-mimpi yang terdengar tak masuk akal. Tapi, bukannya memang begitu cara anak muda bermimpi?
Jember dan jejak nostalgia
Lima tahun meninggalkan Kabupaten Jember mengajarkan saya bahwa kesuksesan tak selalu tentang gaji besar atau jabatan tinggi. Terkadang, kesuksesan adalah tentang kemampuan kita membeli tiket untuk pulang kapan pun hati memanggil.
Terkadang juga, tentang privilese untuk mampir ke warung kopi masa dulu dan memastikan apakah rasanya masih sama atau tidak. Bahkan, tentang kemewahan bisa membagi cerita kepada anak cucu kita nanti, bahwa di kota ini, dulu, pernah ada kehidupan yang begitu sederhana namun sangat kaya.
Dan mungkin, itulah yang membuat Jember selalu terasa istimewa hingga saat ini dan selamanya. Bukan karena tempat-tempatnya yang semakin kekinian, tetapi karena di setiap sudutnya masih tersimpan jejak-jejak nostalgia.
Di setiap kepulan asap rokoknya, masih ada mimpi-mimpi yang belum terwujud. Di setiap tetes kopinya, masih ada tawa yang belum selesai. Dan, di setiap deburan ombaknya, masih ada cerita yang menunggu untuk pulang.
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Lima Tahun untuk Selamanya, Pengalaman Merantau di Jember Jadi Bekal Seumur Hidup dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.