MOJOK.CO – Kamu mungkin hanya membaca berita ini sepintas lalu dan tak peduli, bahwa Kementerian Kesehatan akan mengambil alih hak mengeluarkan izin edar obat dari BPOM. Menkes juga ingin durasi pengeluaran izin obat diperpendek. Percayalah, kamu harus peduli sama berita ini.
Saya sedang fokus rebahan ketika membaca berita bahwa izin edar obat akan kembali ke Kementerian Kesehatan setelah sebelumnya dipegang oleh BPOM. Berita itu agak bikin kaget karena mengatakan, nantinya izin edar obat bakal sehari kelar. Untungnya, setelah dicek, kutipan langsung Menteri Kesehatan kira-kira berbunyi, misalnya satu hari bisa, ya jangan lama-lama.” Fokusnya adalah jangan lama-lama, satu hari hanyalah pemisalan.
Pernyataan Menteri Kesehatan kemudian direspon oleh YLKI melalui rilis Bapak Tulus Abadi yang menyebut wacana tersebut sebagai langkah mundur yang sangat serius.
Saya mencermati secara saksama adu pendapat yang terjadi dan berkembang biak di tingkatan netizen, tentu tetap dalam posisi rebahan. Sebagai mahasiswa tua yang dahulu pernah ngeburuh lama di pabrik obat, saya merasa perlu memberikan sedikit pencerahan kepada warga negara lain biar sedikit tahu sekelumit proses perizinan obat.
Semua orang tentu sepakat, ketika mengonsumsi suatu obat, tandanya kita sudah menaruh kepercayaan pada benda itu untuk masuk ke tubuh kita. Kita juga punya gambaran bahwa, misalnya, tablet yang kita minum mampu menyembuhkan sakit gigi atau bahkan sakit hati.
Kalau tidak percaya pada suatu obat, sebagaimana sikap para antivaksin, opsinya adalah memilih tidak menggunakan produk.
Lantas dari mana kepercayaan itu muncul? Dalam konteks obat, terkait dengan kualitas, keamanan, dan khasiat. Kita cenderung minum obat yang sama jika pernah merasakan khasiatnya. Sebaliknya, kita tidak akan lagi meminum obat yang malah bikin gatal-gatal.
Pada fase pengembangan sampai kemudian obat bisa rilis ke pasar, aspek kualitas, keamanan, dan khasiat menjadi dasar segalanya. Apalagi ini adalah obat, zat yang tidak sembarangan. Salah minum obat, konsekuensinya beragam, mulai dari sekadar gatal sampai menghadap Yang Maha Kuasa.
Penelitian di Amerika Serikat menyebut, dari total 289 macam obat yang diajukan izinnya ke BPOM-nya AS, Eropa, dan Kanada pada 2001-2010, rata-rata rentang waktu evaluasi pengajuannya memang lama. Di FDA (AS) sekitar 185-372 hari. Di EMA (Eropa), 310-445 hari. Di HC (Kanada), 255-420 hari.
Studi lain di India memaparkan bahwa waktu evaluasi pengajuan produk obat di Rusia lamanya 18 bulan, di negara-negara Teluk, 24-36 bulan. Terakhir di Brazil, bisa 24 bulan.
Dalam periode waktu yang diberikan, evaluator harus melakukan penilaian menyeluruh pada kualitas, keamanan, dan khasiat obat tadi. Ada segambreng data yang dievaluasi, antara lain dokumen produksi 3 bets skala pilot yang dikembangkan bagian Research and Development, data stabilita (suatu data yang menjamin obat tetap menjadi sosok yang sama ketika diberi tekanan panas maupun ketika dibiarkan sesuai waktu simpannya sekaligus menjadi dasar penentuan waktu kedaluwarsa), sampai data-data bahan baku yang mayoritas impor itu.
Belum lagi jika harus meminta masukan para pakar yang tentu saja orang-orang sibuk sehingga penjadwalan pertemuannya sama ribetnya dengan menentukan hari baik pernikahan.
Percayalah, bahkan sekadar semburan AC di ruang produksi obat menjadi hal yang dievaluasi dalam proses perizinan obat.
Dalam regulasi obat ini, mengganti sumber bahan baku pun harus dilaporkan. Dahulu kala, pabrik tempat saya bekerja mau mengganti metformin India—yang kalau mau dikeluarkan dari drum harus digebuk dahulu—ke metformin lain, masih dari India juga, tapi dalam prosesnya tidak lagi membutuhkan kekerasan. Hal semacam ini harus dilaporkan ke regulator demi menjamin kualitas, keamanan, dan manfaat obat tersebut tetap terjaga.
Ketika evaluasi komprehensif tidak dilakukan atau disepakati sedari mula, biasanya akan ada masalah dalam izin edar obat.
Di AS, mulai 1993 FDA diberi ketetapan tenggat waktu dalam mengevaluasi suatu obat baru. FDA kemudian jadi seperti mahasiswa yang hobi menyelesaikan tugas menjelang tenggat. Walhasil, beberapa produk yang ditetapkan mepet deadline jadi bermasalah di kemudian hari.
Misalnya, merek Baycol (Cerivastatin) yang disetujui di hari terakhir sebelum batas waktu pada 1997, ditarik pada 2001. Pereda rasa sakit Bextra (Valdecoxib) yang juga disetujui di hari terakhir sebelum tenggat pada 2001, empat tahun kemudian ditarik karena menyebabkan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke. Raxar (Grepafloxacin) disetujui dua hari sebelum tenggat pada 1997, hanya berusia 2 tahun di pasar dan langsung ditarik pasca 7 orang meninggal setelah minum obat tersebut.
Sudah berapa banyak duit yang dibakar untuk meriset obat-obat tersebut? Banyak. Tapi sebagaimana pernikahan mahal Vicky Prasetyo-Angel Lelga dapat bubar begitu saja, duit riset tidak lagi dianggap ketika ada bukti nyata suatu obat berbahaya.
Memang tren di AS agak berbeda dengan Indonesia dan negara berkembang lainnya. Di AS, obat yang didaftarkan adalah yang benar-benar baru. Mengejar suatu produk agar bisa segera beredar bertujuan mengubah sebuah riset obat yang mahal cepat-cepat menjadi duit. Perlindungan paten menyebabkan suatu obat hasil riset berdiri sendiri di pasaran; menjadi “kamulah satu-satunya” yang boleh beredar dan tidak bisa dipoligami.
Contohnya? Viagra. Sampai obat ini habis masa patennya, tidak boleh ada obat lain dengan yang berisi sildenafil sitrat.
Di Indonesia, yang umumnya dikejar industri adalah kecepatan untuk segera mengisi pasar, persis pada hari ketika paten suatu produk berakhir. Jadi, kalau bisa, sehari sesudah paten Viagra berakhir, sudah beredar di pasar produk sildenafil besutan industri dalam negeri yang sah alias sudah dapat izin edarnya.
Demi mempersiapkan serangan ke pasar segera sesudah paten berakhir tersebut, tentu industri berinvestasi banyak dalam pengembangan. Motifnya sama dengan ketika satu perusahaan sedang meriset obat baru, yakni berharap biaya riset segera kembali. Makanya, concern agar perizinan tidak lama-lama jadi relevan. Saya dulu di bagian perencanaan produksi jadi pengendali jadwal yang ketat itu. Rasanya udah kayak EO nikahan karena betul-betul nggak boleh molor.
Akan tetapi, mengevaluasi obat yang belum pernah beredar di suatu negara bukan hal sepele bagi regulator. Kajiannya harus sangat serius. Sebab, kalau dalam waktu singkat tahu-tahu ada masalah dengan si obat, baik industri, regulator, dan masyarakat akan rugi. Industri harus menarik jualan yang belum balik modal, regulator seperti BPOM harus mengawasi proses penarikan demi menjamin keamanan masyarakat, dan sebagaimana kasus Raxar, kalau ada yang meninggal, tentu jadi kerugian masyarakat.
Seorang Donald Trump sekalipun—yang sekadar nge-tweet saja bisa bikin pasar saham gonjang-ganjing—sebenarnya juga menaruh perhatian pada regulasi obat. Pada awal pemerintahannya, dalam sebuah pidato di depan eksekutif dari perusahaan farmasi, Trump menyebut akan ada pemotongan regulasi di FDA pada level yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Pada saat yang sama, AS juga akan memiliki proteksi yang lebih untuk rakyatnya.
Omongan itu oleh Joel Lexchin, seorang pakar asal York University, disebut sebagai fantasi karena faktanya: Ada begitu banyak bukti yang menghubungkan proses evaluasi obat yang lebih cepat dengan meningkatnya permasalahan keamanan obat.
Demikianlah. Deregulasi merupakan suatu keniscayaan pada era modern. Tetapi, berbagai penelitian di luar negeri membuktikan bahwa untuk komoditas obat, mempercepat proses perizinan berpotensi mengabaikan keamanan.
Ingatlah bahwa sebagaimana pernikahan, esensi perizinan obat bukan semata-mata soal cepat karena yang utama tetaplah tiga hal yang melandasi kepercayaan pasien pada suatu obat, yaitu keamanan, kualitas, dan khasiat.
BACA JUGA Obat Kanker Bajakah Bakal Bernasib Sama seperti Ekstrak Sirsak? atau esai-esai farmasi lainnya.