Bagi yang ingin punya mobil tapi sudah seret sejak dalam pikiran, atau kebelet ganti mobil tapi dana masih cupet, saran saya rajin-rajinlah mengunjungi Otomojok. Artikel-artikel dalam rubrik ini selain membuka wawasan, sekaligus juga menyuguhkan kenikmatan. Di atas semuanya, kita akan diinsyafkan tentang kenyataan bahwa tak selamanya ketidakberdayaan itu memalukan, dalam beberapa hal bahkan menguntungkan.
Betapa masygul andai kita sudah kadung berpayah-payah menyisihkan uang, pontang-panting cari utangan, atau nekat ambil kredit agar bisa membawa pulang mobil sejuta umat, tapi ketika mengendarainya kita tak merasakan kenyamanan seperti dalam khayalan. Katanya, suspensinya keras, kabinnya berisik, pengendaliannya tidak presisi, transmisi otomatisnya masih primitif dan tidak ada fitur keselamatan yang memadai pula.
Juga betapa malang andai ada orang yang siang malam merindukan mobil sekeren Alphard sebagai pengganti mobil lamanya, ternyata mobil kelas premium itu tidak makin memanjakannya, dan justru membuat penumpangnya pening dan mual-mual. Kendaraan itu suka limbung, dan kualitas soundnya mengecewakan.
Berkat artikel-artikel di Otomojok kita terhindar dari musibah itu. Tidak perlu lagi kita berkecil hati karena belum mampu beli mobil. Malah kita dibuat lega dan bergembira karena bebas dari rasa terancam oleh kefakiran.
Toh kita masih bisa naik angkot mesti harus menunggu lama, taksi online juga menyediakan makin banyak pilihan. Paling penting lagi, kita tidak perlu puyeng mikir anggaran bikin garasi, servis bulanan, bahan bakar, atau kebutuhan-kebutuhan lain yang telah membikin pusing orang-orang kaya yang kurang beruntung tersebut.
Ya, rasionalisasi seperti itu konon kurang sehat, tapi lumayanlah untuk menghibur diri.
Para pemuda yang keder dengan kecantikan seorang gadis incarannya sering memakai jurus ini sebagai andalan. Berada di dekat gadis cantik memang mudah membuat lelaki pas-pasan merasa kucel dan kedodoran. Cara termudah menaikkan harga diri adalah dengan mencabuti semua atribut indah, memesona, dan hebat pada seseorang yang bisa menimbulkan rasa segan, malu, takut, dan takjub. Mungkin dengan mengulik bau ketek, keringat, mulut, atau mengoreksi isi otaknya.
Jonru Ginting barangkali sedang memainkan trik itu dalam aksi-aksinya.
Sadar tak akan bisa menandingi kapasitas Pak Quraish Shihab, dia menempuh jalan pintas. Derajat Pak Quraish diturunkan sedemikian rupa agar selevel atau lebih rendah dari dirinya.
Dengan begitu ia tak perlu lagi merasa canggung, sungkan atau harus menghormati Pak Quraish. Ia pun leluasa mencemari beliau dengan berbagai sebutan yang sadis.
Kita tidak pernah mendapatkan elaborasi yang tajam atau argumen canggih dalam serangan-serangan Jonru, selain nada sinis dan nyinyir. Entah tentang jilbab, Syiah, atau tema-tema lainnya.
Kita tidak tahu persis motif Jonru. Apakah dia memang benar-benar sedang berusaha meluruskan pandangan agama yang menurutnya mencong, mencari panggung untuk publisitas dirinya, atau sekadar ingin menghibur diri seperti remaja yang sedang puber.
Jonru pernah menyebut dirinya pebisnis. Ketika ditertawakan banyak orang gara-gara program pelatihan menulisnya hanya diikuti 10 orang dari sekian ribu follower-nya, Jonru menyebut itu risiko bisnis. Dalam bisnis ada pasang surut. Sebagai pebisnis, dia mungkin juga butuh sorotan agar namanya makin dikenal.
Ada pepatah Arab menyebut, jika seseorang ingin cepat terkenal, kencingi Sumur Zamzam. Jonru tampaknya telah mempraktikkanya. Lawan-lawan yang dipilihnya, Pak Jokowi, atau Pak Quraish, memenuhi syarat untuk menjadi batu lompatan yang tinggi.
Sayangnya ada satu hal yang tidak disadari Jonru. Bahwa serangan dengan kata-kata kejam bisa menjadi pintu bagi seseorang untuk membiarkan dirinya termakan oleh amarah, dan terus berkembang sehingga ia kemudian kesulitan mencegah dirinya (dan lebih-lebih jika diikuti orang lain) dari melakukan serangan fisik.
Namun jika alasan Jonru adalah hendak meluruskan pandangan yang mencong, saya khawatir Jonru adalah sampel dari dampak buruk sistem pendidikan yang ujiannya didominasi soal pilihan ganda.
Melalui soal multiple choise anak-anak seolah dibiasakan untuk melihat bahwa jawaban setiap persoalan sangat terbatas; a,b,c, d atau e. Di antara yang terbatas itu hanya satu ada pilihan yang benar. Lainnya salah. Kalaupun kadang ada opsi yang menawarkan ‘semua jawaban benar’ itu biasanya bonus yang dibuat karena pembuatnya sedang bingung.
Sejujurnya, saya berharap tindakan Jonru hanya upaya sesaat menghibur diri, agar dalam iklim kontestasi yang makin ketat namanya mencuat. Maka, ketika ada yang melakukan pembandingan antara karya Jonru dan Pak Quraish, saya pikir ia berlebihan. Komparasinya tidak apple to apple. Tapi itu cukup menghibur.
Saya tertarik menunggu komentar Jonru atas upaya tersebut.
Karena itu saya juga berharap Jonru akan muncul dengan jawaban seperti, “Jumlah karya bukan tolok ukur kealiman atau lurusnya akidah seseorang,” atau, “Produktivitas Pak Quraish makin menanjak setelah membaca buku saya soal mengarang.”
Dia memang pandai menghibur. Dan kalau sekarang banyak orang dengan mudah menuduh orang lain menistakan agama, mungkin saja mereka bermazhab Jonru.