MOJOK.CO – Ada banyak hal yang bisa kamu dengarkan untuk mengisi waktu luang di bulan Ramadan ini. Dan lagu-lagu .Feast bukan salah satunya.
Sudah semestinya bulan Ramadan kali ini kita isi dengan hal-hal berfaedah yang dapat mendekatkan kita kepada surga, misal mendaras Al-Quran satu hari satu juz (sukur-sukur kalau lebih), menebarkan senyum pada siapa saja yang kita temui, rajin memberikan sedekah dan donasi kegiatan melawan corona, atau mengganti tayangan rutin dari acara gosip ke acara sinetron-sinetron religi yang sarat dengan sari-sari mutiara hikmah yang bisa kita petik.
Idealnya begitu. Sayangnya, kita semua pasti paham, bahwa hidup ini tidak pernah ideal.
Ramadan kali ini terasa tak ada bedanya dengan bulan-bulan lain. Adu bacot dan twitwar tetap lestari. Isu-isu perdebatan datang silih berganti. Dari mulai ribut soal stafsus milenial sampai ribut-ribut soal perbedaan definisi mudik dan pulang kampung.
Yang paling gres, kita disuguhi drama ribut-ribut tentang Baskara ‘Hindia’ Putra, vokalis band .Feast yang dalam sebuah video bilang bahwa lagu ‘Peradaban’ jauh lebih keras dari lagu metal manapun yang pernah ia dengar
Ucapan Baskara dalam video tersebut (belakangan diketahui merupakan video beberapa tahun yang lalu) lekas menuai pro-kontra. Para penggemar Led Zeppelin sampai Burger Kill unjuk suara. Sementara para penggemar Baskara berlomba-lomba merancang pembelaan dan mencari permakluman.
Pihak .Feast sendiri sebenarnya telah memberikan klarifikasi. Namun mereka sudah kadung kecebur ke dalam kolam bernama edgy-artsy-indie-hate-scene-dialectical atau yang dalam bahasa entengnya: tubir. Para fans dan haters saling berjibaku dalam duel bacot yang panas dan menggelora.
Apa mau dikata, ocehan pendek Baskara telah kadung menjadi bola liar yang bergulir kesana-kemari. Sebagian besar respons adalah berupa olok-olok dan sarkasme sadis kepada Baskara, .Feast, dan juga pada lagu Peradaban.
Saya menemukan banyak sekali meme yang meledek .Feast—khususnya lagu Peradaban—habis-habisan. Mulai dari plesetan PDP sebagai Pasien Dalam Peradaban, logo partai PDIP dengan background merah dengan keterangan PDI Perdaban, sampai video klip lagu ‘Perdamaian’-nya Nasida Ria yang liriknya diubah menjadi “Peradaban, peradaban…”
Di atas segalanya, saya sungguh menyayangkan perdebatan tak penting yang dilakukan para pembela atau pembenci Baskara atau .Feast. Pada momen Ramadan begini kok ya masih sempat-sempatnya ngeributin musik. Mbok ya disetop dulu. Apalagi yang diomongin kok ya .Feast lagi .Feast lagi. Baskara lagi, Baskara lagi. Peradaban lagi, Peradaban lagi.
Padahal, mumpung lagi Ramadan, tolong Spotify dan Joox-nya di-uninstall dulu. Rehat atau kurangi dulu mendengarkan musik. Apalagi lagu-lagu Hindia yang, kata Faisal Irfani, “Kemasan bagus, musiknya payah.” atau lagu-lagu .Feast yang salah satu judulnya (Padi Milik Rakyat) ditengarai memplagiat lagu “Graves” Whiskey Shivers
Untuk itulah, dengan maksud menebarkan kebaikan di masa ketika pahala dilipatgandakan seperti sekarang, saya menyusun beberapa hal yang semestinya kita dengar di bulan Ramadan.
Murattal Syaikh Hani Ar-Rifa’i
Murattal atau bacaan Al-Quran adalah sebaik-baik suara bagi telinga kita, utamanya di momen Ramadan. Begitu banyak nama-nama qari yang suaranya sangat merdu sehingga kita jadi kepengin nangis karena mengingat mantan dosa. Kita mengenal qari-qari semisal Abdurrahman As-Sudais, Sa’ad Al-Ghamidi, Misyari Rasyid Al-Afasyi, hingga qari yang suaranya kerap kita dengar menjelang Jum’atan, Muammar ZA.
Namun, ada satu qari yang suaranya bukan hanya enak di telinga, tapi juga gampang bikin hati luluh. Qari itu adalah Hani Ar-Rifa’i. Qari asal Arab Saudi punya ciri khas, yakni ia selalu kayak pengen nangis pas melantunkan ayat Al-Quran. Hal tersebut tentu bisa membikin siapa pun yang mendengarkannya tertular perasaan trenyuh.
Kita bisa ikut menangis tanpa harus menonton acara Tali Kasih atau Bedah Rumah.
Murattal beliau sangat cocok, terutama untuk orang-orang yang rutin mendengarkan Peradaban 30 kali sehari. Setelah terbiasa mendengar “lagu metal paling keras”, tentu sebaiknya dilanjut mendengarkan murattal yang bikin tersedu agar hati kita dapat kembali menjadi lembut.
Ceramah Rahmat Baequni
Kenapa saya tidak meletakkan nama Quraish Shihab atau Gus Mus? Tentu karena kedua nama itu sudah kelewat umum. Dan yang umum-umum, tentu sudah tak perlu lagi diumumkan.
Rahmat Baequni adalah sosok yang meroket saat ia menyebut Masjid Al-Safar terindikasi disusupi paham iluminati dan simbol dajjal karena bentuk arsitekturnya yang penuh dengan segitiga. Kita tahu bagaimana Ridwan Kamil saat itu sampai bikin terlibat dalam forum khusus untuk membantah klaim Rahmat Baequni.
Dalam berbagai ceramahnya, Rahmat Baequni banyak mengangkat tema-tema apokalipstik dan konspiratif. Umpamanya soal dajjal, tipu daya kaum Yahudi, tanduk setan, kedatangan Imam Mahdi, dan sejenisnya.
Ceramah-ceramah Rahmat Baequni saya rekomendasikan untuk didengar bukan agar kita memetik berbagai ilmu darinya. Tetapi agar kita bisa belajar bersabar.
Bulan Ramadan disebut sebagai “bulan kesabaran”. Ceramah-ceramah Rahmat Baequni tentu menjadi bahan latihan kesabaran yang paling tokcer. Ada banyak jenis kesabaran yang bisa kita sesap dari mendengarkan ceramah Rahmat Baequni. Mulai dari bersabar mendengar teori cocokloginya, sampai bersabar terhadap kepercayaan dirinya yang kelewat tinggi.
Ocehan Terbaru Donald Trump
Setelah belajar bersabar, ada baiknya kita belajar bersyukur. Bagaimana caranya bersyukur? Nabi telah mengajarkan dalam salah satu hadisnya, “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian, niscaya kalian akan bersyukur.”
Menyimak ocehan-ocehan Donald Trump yang selalu bertabur kontroversi adalah cara cepat untuk bersyukur.
Kalau tempo hari lalu, Presiden Jokowi cuma bersilat lidah membeda-bedakan definisi mudik dan pulang kampung, maka Donald Trump si Presiden Amerika itu dengan ngawurnya menyarankan agar tubuh kita disuntik disinfektan saja supaya kebal terhadap corona.
Belakangan, dia menyebut ucapan itu cuma “prank”. Tapi “prank” atau bukan, Trump memang masyhur sebagai lelaki berambut kuning yang kerap lupa bahwa ia adalah presiden, bukan seorang pemain FTV.
Tepat di titik itulah kita harus bersyukur. Sebab presiden kita bukan Donald Trump, melainkan Jokowi, yang walaupun banyak kekurangan, tapi nggak separah Trump.
Suara Hati Nurani
Sesudah mendengarkan murattal yang melembutkan hati, belajar bersabar dari ceramah Rahmat Baequni, dan belajar bersyukur lewat ocehan-ocehan Donald Trump, rasanya tidak afdal kalau kita melewatkan poin penting ini: mendengarkan suara hati nurani.
Sebab, tidak ada gunanya mendengarkan murattal, ceramah ustaz, ocehan pejabat, atau lagu-lagu .Feast dan Hindia, kalau kita enggan mendengarkan suara hati nurani sendiri. Padahal di hati nuranilah terletak “kebenaran”. Nabi pernah bersabda, istafti qalbak, mintalah fatwa pada hatimu. Dengarkanlah hati nuranimu.
Tapi ingat, hati nurani saja, tanpa embel-embel “rakyat”. Soalnya hati nurani yang itu biarkan jadi milik Pak Wiranto saja.
Azan Maghrib
Suara yang satu ini memang hanya sebentar, kadang fals. Namun suara inilah yang sanggup menggiring kita kepada galon dispenser pula.