Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ketika Influencer Dibayar Belasan Juta, Dosen Cuma dapat 300 Ribu? Dosen Memang Sudah Sering Ikhlas dan Terbiasa Kecewa

Fuadi Afif oleh Fuadi Afif
7 November 2025
A A
Honor Influencer Puluhan Juta, Dosen 300 Ribu! Mengenaskan! MOJOK.CO

Ilustrasi Honor Influencer Puluhan Juta, Dosen 300 Ribu! Mengenaskan! (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kalau bisa bayar influencer puluhan juta, pasti bisa menghargai dosen lebih dari Rp300 ribu. Iya, dosen sudah terlalu sering ikhlas dan terbiasa kecewa.

Pagi ini, sebelum dunia bergegas menuju kekacauan jam mengantar anak ke sekolah, saya duduk di meja makan dengan secangkir kopi arabika Banyuwangi honey. Aromanya manis, ada rasa floral yang lembut, semacam bujuk rayu yang membuat kita percaya bahwa hidup masih baik-baik saja. 

Jari tangan saya lincah menggulir Instagram. Sampai tiba-tiba berhenti di satu unggahan dari sayan @junaydfloyd Mas Ahmad Junaidi, dosen di UnRam yang sekilas mirip vokalis Dewa 19, Marcello Tahitoe alias Ello. Saya dan beliau, sesama dosen atau buruh akademik, kenal dari jauh. Namun, kami terasa dekat karena profesi ini memang lebih banyak cerita sedih dan rintihan.

Isi postingannya membuat saya ingin mengelus dada pelan-pelan, tanpa irama. Hanya untuk meyakinkan diri bahwa saya masih punya dada yang bisa dielus. 

https://t.co/vRIeVUvh8N pic.twitter.com/MKH4HvbO7D

— IG @burhanuddinmuhtadi (@BurhanMuhtadi) November 6, 2025

Ceritanya sederhana, tapi pedih. Seorang dosen diundang menjadi pembicara sebuah acara mahasiswa. Acara itu berbayar, dengan ratusan peserta, dan ada influencer yang diundang dengan riders, hotel, dan honor belasan juta.

Sementara beliau, dosen dengan gelar Ph.D., “sang” yang bertahun-tahun kuliah di Monash University Australia, riset, publikasi, mengabdi, sebagai bonus punya follower yang banyak juga! Setelah acara tersebut, dia pulang membawa 300 ribu rupiah.

Tiga. Ratus. Ribu!

Saya sempat terdiam lama. Rasa kopi saya mendadak berubah menjadi seperti robusta paling pahit diseduh pakai mesin espresso. Sebagai sesama dosen, saya langsung tahu perasaan itu.

Bukan tentang uangnya

Kalau soal berbagi ilmu gratis, banyak dari kami sudah melaksanakannya belasan tahun. Kami mengisi KKN, pelatihan masyarakat, ceramah masjid, jadi moderator dadakan, bahkan menjadi panitia plus pembicara plus dokumentasi dalam satu tubuh. Kami sudah sangat akrab dengan kata “ikhlas”.

Tapi yang sering bikin nyesek bukan nominalnya. Yang bikin perih itu ketidaksetaraan rasa hormat.

Karena ketika seorang influencer mendapat bayaran belasan juta dengan alasan “mereka bisa menarik massa”, tapi dosen dibayar tiga lembar uang biru dengan alasan “Ini acara mahasiswa, mohon maklum ya, Pak”, ada pesan simbolik yang diam-diam ditanam:

Bahwa pengetahuan tidak dianggap punya nilai. Ilmu itu bisa dicari di Google, jadi buat apa menghargai orang yang mempelajarinya bertahun-tahun? Sertifikat kompetensi dan ijazah kalah dengan jumlah followers.

Influencer dan dosen: Hilangnya otoritas pengetahuan

Kalau Tom Nichols membaca ini, mungkin beliau akan tepuk jidat sambil menarik napas panjang. Seperti orang yang baru membaca komentar netizen di TikTok.

Iklan

Karena ini persis seperti yang dia tuliskan dalam The Death of Expertise. Bahwa kita hidup di zaman ketika orang merasa semua pendapat itu setara. Bahkan ketika satu pendapat lahir dari 10 tahun riset, dan satu lagi lahir dari 10 menit nonton YouTube.

Tidak ada lagi “otoritas pengetahuan”. Yang ada hanya “siapa yang paling rame”.

Yang ironis, acara-acara seperti ini sering mengangkat tema “pengembangan diri”, “critical thinking”, “membangun kualitas SDM unggul”, atau slogan-slogan futuristik. Yang kalau dibaca cepat terasa seperti tagline startup yang sudah tutup dua tahun lalu.

Dan di dalam ruangan itu, ada seorang dosen berdiri, menjelaskan dengan penuh hati, menjawab pertanyaan peserta dengan sabar. Dia memberi contoh konkret, menyusun narasi yang runtut, sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh influencer, orang yang hanya bermodal kemampuan memikat kamera depan.

Lalu seminggu kemudian, panitia mengirimkan dm sopan:

“Izin mengirimkan uang transport, Pak. Terima kasih banyak ya.”

Dan transport yang dimaksud adalah Rp300 ribu. Bahkan belum tentu cukup untuk transportasi jika berasal dari luar kota.

Dosen seperti badut pendidikan

Entah kenapa, rasanya seperti dosen sedang menjadi badut berpendidikan. Tapi kami bertahan.

Kami tetap bangun setiap pagi. Lalu, kami membaca, menulis, mempersiapkan materi kuliah. Tak lupa menyusun RPS, membimbing skripsi, dan ikut rapat evaluasi kurikulum yang tidak pernah selesai. Dan kami, tetap masuk kelas dengan suara yang dibuat bersemangat meskipun jiwa kadang ingin diam saja.

Kenapa?

Karena ada momen-momen kecil yang anehnya mampu membuat semua kelelahan itu terasa berarti. Misalnya:

Seorang mahasiswa yang akhirnya menemukan topik skripsi yang dia cintai.

Seorang alumni yang tiba-tiba kembali hanya untuk bilang, “Terima kasih, dulu Bapak/Ibu pernah bilang sesuatu yang mengubah cara saya melihat hidup.”

Seorang mahasiswa yang pada minggu pertama tidak berani bicara, tapi minggu ke-14 tiba-tiba bisa presentasi dengan percaya diri.

Itu tidak bisa dibayar. Tidak ada invoice-nya. Tidak bisa dihitung dalam e-Money.

Negara yang kurang menghargai pengetahuan

Momen-momen itu semacam rapalan mantra yang membuat dosen tetap bertahan. Yah, meski kadang rasanya seperti hidup di negeri yang tidak benar-benar ingin menghargai pengetahuan.

Tapi bukan berarti kita tidak boleh marah. Justru harus, karena penghargaan pada dosen bukan hanya soal uang tapi soal martabat.

Dan mahasiswa harus belajar bahwa menghargai pengetahuan adalah bagian dari membangun peradaban. Kalau dari kampus saja mereka diajari bahwa ilmu itu murah, lalu besok ketika mereka jadi pejabat, pengusaha, manajer, atau pemimpin organisasi, kira-kira apa yang akan terjadi?

Kita tahu jawabannya. Kita sudah melihatnya di layar televisi setiap hari.

Jadi, kalau ada satu pesan yang ingin saya sampaikan kepada adik-adik penyelenggara acara kampus, dengan segala respek dan kasih sayang sebagai kakak tingkat yang sudah terlalu sering ikut rapat:

Belajarlah menghargai pengetahuan. Dan hormatilah orang yang mengabdikan hidupnya untuk itu.

Kalau kamu bisa bayar influencer belasan juta, kamu pasti bisa menghargai dosen lebih layak dari Rp300 ribu. Kalau kamu tidak bisa bayar, tidak apa-apa katakan dari awal, terang-terangan. Jangan bungkus dengan kalimat manis yang ujung-ujungnya bikin luka.

Karena kami para dosen sudah terlalu sering ikhlas.

Tapi jangan sampai kami terbiasa kecewa.

Penulis: Fuadi Afif

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Derita Jadi Dosen Muda, Disepelekan Mahasiswa dan Dosen Tua dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 7 November 2025 oleh

Tags: Dosengaji dosenhonor influencerinfluencerriders influencer
Fuadi Afif

Fuadi Afif

Seorang praktisi fotografi dan pengkaji pariwisata.

Artikel Terkait

Sisi Gelap PTN yang Bikin Dosen Menderita. MOJOK.CO
Mendalam

Sisi Gelap PTN yang Bikin Dosen Menderita, Sibuk Mengejar Akreditasi tapi Kesejahteraan Dosen Jauh Panggang dari Api

21 November 2025
Guru Besar Abal-Abal: Gelarnya Diperebutkan dengan Penuh Kecurangan.MOJOK.CO
Mendalam

Guru Besar Abal-Abal: Gelarnya Diperebutkan dengan Penuh Kecurangan

23 Oktober 2025
Jadi dosen non PNS (honorer) di kampus swasta dapat gaji yang bikin nelangsa. Nyesel kuliah sampai S2 MOJOK.CO
Ragam

Berambisi Jadi Dosen biar Terpandang dan Gaji Sejahtera, Pas Keturutan Malah Hidup Nelangsa

18 Oktober 2025
Universitas Halu Oleo di Sulawesi Tenggara. MOJOK.CO
Kampus

Ditentang Ortu Kuliah karena Cuman Ngabisin Duit dan Bodoh, Kini Malah Bisa Berkarier Jadi Dosen

2 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
ump diy.MOJOK.CO

Working Poor dalam Bayang-Bayang UMP DIY 2026 dan Biaya Hidup yang Semakin Tinggi

28 November 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.