MOJOK.CO – Tan Malaka punya tempat spesial bagi muda-mudi kekirian maupun mereka yang agak konservatif di grup Indonesia Tanpa Pacaran.
Oke. Tanggal 21 Februari kemarin, kita seharusnya memperingati hari gugurnya Tan Malaka. Pantas disebut “gugur” karena sang bapak republik ini ditembak mati oleh tentara. Bukan tentara Belanda ya, melainkan tentara Indonesia.
Apa boleh bikin, banjir Jakarta dan kasus perselingkuhan telah mengalihkan isu penting soal haul Tan Malaka di republik ini.
Bukan apa-apa, memperingati haul ini penting. Sebab Tan Malaka adalah tumbal dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh yang dulu pernah “dititipi Indonesia” oleh Sukarno ini harus tewas di tangan bangsa yang dia perjuangkan sendiri.
Sudah 72 tahun berselang, seruan Tan Malaka, “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi,” menjadi kenyataan.
Hari ini, banyak muda-mudi yang menjadikan blio sebagai idol. Foto wajah datuk yang kurang gizi ini bersanding dengan wajah revolusioner seperti Che Guevara dan Widji Thukul. Madilog, opus magnum Tan Malaka, kini seperti buku wajib muda-mudi revolusioner.
Pokoknya harus dibaca, urusan paham belakangan.
Ini menarik perhatian saya. Tan Malaka seperti lebih diidolakan daripada sosok kekirian lain. Padahal, Indonesia tidak kekurangan tokoh kiri. Apa mungkin karena blio ini dianggap “babon”-nya kalau soal republik ya?
Ya maklum, banyak tokoh berpandangan kiri yang tampil dalam panggung perjuangan Indonesia. Tapi, Tan Malaka tetap punya tempat spesial bagi muda-mudi kekirian yang (pengen) progresif sekaligus yang agak konservatif.
Tentu ada alasannya. Jika tidak, mana mungkin Tan Malaka cuma berakhir sebagai catatan kaki sejarah dan selalu jadi bahan ghibah?
Dibandingkan Aidit dan Musso, mengidolakan Tan Malaka lebih suci dari dosa negara
Berbeda dengan tokoh kiri sekelas Musso atau Aidit, Tan Malaka adalah tokoh paling suci. Suci di sini bukan urusan religi, tapi “dosa” kenegaraan.
Kedua tokoh sebelumnya erat dengan PKI. Dan kita tahu bagaimana posisi PKI dalam percaturan politik Indonesia. Bersama partai palu arit ini, Musso dan Aidit sudah telak jadi kambing hitam.
Sedangkan Tan Malaka terbebas dari jeratan tapol ini. Ketika dituduh komunis, para pemujanya hanya tinggal bilang, “Tan Malaka dipecat PKI karena menolak pemberontakan.”
Nah, posisi Tan Malaka yang kiri tapi berseberangan dengan PKI menjadi alasan kuat untuk memujanya. Minimal, kamu bisa mengelak dari tuduhan PKI ketika memakai kaos Tan Malaka.
Kalau perkara tetep diciduk karena aparatnya nggak baca sejarah sih, ya itu urusan lain.
Tan Malaka adalah penulis meski tulisannya nggak pernah tembus di Mojok.co
Sebagai orang yang hobi travelling (baca: jadi buruan interpol), Tan Malaka tetap menjadi penulis yang produktif. Tidak kurang 27 buku dan karya tulis yang telah dibuat.
Tentu tidak terlupa 3 karya yang jadi “kitab suci” kaum kekirian: Madilog, Gerpolek, dan Aksi Masa. Dan bagi muda-mudi nasionalis, tentu mereka mengenal “Menuju Republik Indonesia” yang konon menjadi panduan para pendiri bangsa.
Ini juga menjadi alasan Tan Malaka menjadi idola. Meski tulisan Tan Malaka tak pernah sekalipun nonggol di Mojok.co, tapi ngoleksi buku karya blio menjadi syarat wajib muda-mudi yang sedang gandrung literasi.
Apalagi karya Tan Malaka pernah dibredel Orde Baru. Makin keren nan seksi lagi dah karya bapak republik satu ini.
Tan Malaka layak jadi tokoh inspirasi aktivis gerakan Indonesia Tanpa Pacaran
Untuk golongan kiri yang susah mendapat jodoh, Tan Malaka adalah simbol yang keren paripurna. Menumbalkan asmara dan hidup rumah tangga demi kemerdekaan. Nah lho kurang seksi apa coba?
Sedangkan bagi golongan kanan yang menjaga diri untuk tidak pacaran, Tan Malaka bisa saja dijadikan contoh pula. Menjaga hati untuk menjauh dari zina dengan cara menghabiskan waktu untuk memikirkan bangsa. Tuh, kurang agamis dan nasionalis apa coba?
Tentu mereka yang ngefans pada Tan Malaka bisa memanfaatkan kisah blio sebagai alibi ketika menjadi tuna asmara. Atau ketika dianggap konservatif karena dianggap patuh sekali sama perintah agama.
Ketika dirundung perkara cinta seperti ini, kaliyan tinggal jawab, “Sebenarnya aku menghidupi takdir Tan Malaka.”
Bahkan, bagi kaum tuna asmara atau aktivis gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, Tan Malaka ini bisa jadi contoh. Bahwa pacaran itu selain dosa, juga banyak nggak enaknya. Sebab, selain perkara jomblo, Tan Malaka pernah jadi korban tikung juga.
Cinta pertamanya direbut oleh priyayi yang menjadi gedibal Belanda. Patah hati semacam ini bisa menginspirasi kaliyan yang mengalami takdir cinta se-nggerus itu agar tetap bangkit.
Oleh karena itu, jika Didi Kempot adalah the godfather of broken heart Indonesia maka pantaslah kalau Tan Malaka disebut sebagai крестный отец разбитого сердца bangsa.
Tan Malaka idola kaum kismin mahasiswa
Sukarno terkenal dengan glamornya. Aidit masyhur karena ulang tahun PKI pernah dirayakan dengan penuh kebyar-kebyar. Lalu, bagaimana dengan Tan Malaka?
Om-om ceking ini tidak pernah diidentifikasi sebagai sosok bergelimang harta, berjubel tahta, maupun kisah sinetron ikatan cinta. Dibanding tokoh nasional lain yang punya kegagahan tersendiri, Tan Malaka hadir sebagai sosok pertapa miskin harta.
Tan Malaka pantas mewakili mereka yang mengaduk kopi pakai saset bekas, kaum pengisi botol sampo pakai air supaya dapat busanya, umat pagi-kuliah-malam-jaga-warung-kopi-senja, sampai golongan penghuni gelap kontrakan temen.
Yaktul, Tan Malaka adalah wakil dari golongan-golongan yang miskinnya struktural, kultural, atau kelewatan.
Dan oleh sebab itu, Tan Malaka bakal selalu dicintai. Sebab, selain Indonesia adalah negara swa-sembada kaum kismin, celetukan-celetukan Tan Malaka memang sangat quotable, jalan hidupnya penuh kisah roman picisan, serta akhir hidup dan kisah asmaranya penuh pengkhianatan.
Tapi ya bakal segitu saja dia akan dikagumi dan diperingati haul-nya yang ke-72 tahun oleh pemuda-pemudi tanggung Nusantara. Nggak usah dan nggak perlu ada perayaan yang lebih keren dari itu.
Karena sejarah, selalu bicara dari mereka-mereka yang menang.
Karena sejarah pula, suara Tan Malaka akan tidak begitu lantang dari dalam kubur, tapi berbisik lirih ke sejarah Indonesia.
Berbisik lewat sekelabat patch, sablon, poster, totebag, buku-buku bajakan, maupun artikel dari WiFi colongan di layar smartphone Anda.
BACA JUGA Tidak Semua Mahasiswa yang Tidur di Kampus itu Aktivis dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.