Suatu hari, tanpa sengaja saya menemukan alasan ditutupnya toko kelontong milik keluarga teman saya yang menjajakan berbagai kebutuhan karena mereka menggantinya dengan warung pempek. Alasannya, bukan karena mereka berasal dari Palembang sehingga muncul idealisme untuk menyebarkan panganan khas dari daerah asal mereka. Toh keluarga teman saya ini berasal dari Ciamis.
“Kalau masih jualan kelontongan, nggak enak sama keluarga depan yang buka toko kelontongan juga, Gus.”
“Lah kok gitu, Mama Ajie. Nanti kalau misalnya ada yang biasa beli rokok di sini pada beli ke mana kalau gitu?” Nama teman saya itu Ajie Rahayu sehingga kami memanggil ibunya “Mama Ajie”.
“Ya tinggal diunjukin warung depan aja lah, kan dia jualan.”
“Lah kan Mama Ajie nantinya rugi kalo pelanggannya pada pergi.” Saya tetap mengejar penjelasan tentang berubahnya toko kelontong menjadi warung pempek.
“Atuh rejeki mah nggak bakalan ke mana-mana, Gus.”
Saya yang mendengar alasan ibunya si Ajie menutup lapak toko kelontongnya hanya bisa meringis. Di zaman begini, masih ada yang membuang rezekinya demi rasa sungkan pada tetangga. Mungkin akan ada orang yang mempertanyakan kewarasan mamanya Ajie.
Sebenarnya, ada yang bisa menjelaskan apakah Mama Ajie gila atau tidak. Michael Sandel, seorang filsuf ekonomi asal Amerika Serikat, pernah mengisahkan sebuah cerita tentang bagaimana sebuah masyarakat ternyata mendahulukan moralitas ketimbang logika ekonomi dan kaitannya pada kecenderungan masyarakat sekarang yang tidak ingin tergiring menjadi masyarakat pasar.
Kisah ini terjadi di satu desa di kaki pegunungan di Swiss. Suatu ketika, warga desa diberi tahu oleh pemerintah bahwa desa mereka akan menjadi tempat pembuangan sampah nuklir sehingga mereka harus dipindahkan. Ketika parlemen menyelenggarakan voting, 51% warga setuju untuk meninggalkan desa. Namun, ketika parlemen memunculkan wacana mengenai “uang kompensasi” dan diadakan voting ulang–mungkin tujuannya agar 49% warga yang belum menyatakan setuju bisa dirayu–justru persentase warga yang tidak setuju naik menjadi 90%. Menurut Sandel, ketidaksetujuan tersebut karena warga tidak ingin pengorbanan mereka direduksi menjadi perkara uang alih-alih demi pengorbanan diri untuk kebaikan bersama.
Saya akan meloncat sedikit.
Ketika Harbolnas alias Hari Belanja Online Nasional dimulai sejak kemarin dan akan berlangsung hingga besok, saya menyimak penawaran Mojok Store dan Buku Mojok yang kali ini memang mengasyikkan. Dengan bermodal uang 80 ribu, kita bisa mendapatkan empat buku. Sayangnya, dua buku di antaranya, yakni Kesetrum Cinta dan Tamasya Bola sudah berada dalam lemari buku saya. Dengan tagline promo #Harbolnas, #1212sale, #72%off, dan #gakniatjualan, setahu saya, iklan mereka tidak sampai berada di kanal YouTube yang kita harus menunggu lima detik untuk skip iklan sebelum menonton video seperti pada lagu terbaru AwKarin, lalu mem-pause lagu tersebut dan scrolling ke kanal komentar untuk mengetahui komentar-komentar yang asyik untuk direnungi ketika mendengar lagu tersebut *sayang sekarang lagu tersebut sudah disabled for comment*.
Ketika menanti untuk bisa menyimak video AwKarin tersebut, saya menyimak iklan baru kanal BukaLapak. Kali ini tidak saya skip. Iklan itu bertema “gilanya belanja di BukaLapak”. Dengan menggunakan talent dari salah seorang personil band Netral, yang saya ingat muncul kata-kata “harga gila”, “BukaLapak gila”, “sakit jiwa”, dan “bikin gila” di iklan tersebut. Kata-kata tersebut mungkin karena kesesuaian salah satu lagu Netral, yakni “Cinta Gila”, dengan tagline promo yang mereka usung.
Promo iklan BukaLapak demi Harbolnas ini ternyata membuat KPSI, Komunitas Peduli Skizofrenia, meradang dengan digunakannya istilah “sakit jiwa” dan “orang gila”.
“Kami Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia protes tagline bukalapak yg menyinggung Orang Dengan Gangguan Jiwa dan keluarga, mengalami gangguan atau sakit jiwa adalah penderitaan human suffering yg sangat dahsyat yang tidak dapat anda bayangkan jangan nambah stigma negatif terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa! Tunjukkan simpati dong Mohon segera diganti promonya yang menstigma Orang Dengan Gangguan Jiwa.” Begitulah cuitan KPSI di akun twitter resmi KPSI pada tanggal 6 Desember. Dan
Alhamdulillah, setelah audiensi yang telah dilakukan oleh tim marketing BukaLapak dengan Mas Bagus Hutomo selaku Ketua KPSI, BukaLapak mengganti tagline iklan mereka menjadi “Diskon Jumbo Harga Nego” di koran Kompas pada tanggal 10 Desember 2016, walau sayangnya konten iklan yang mengandung kata-kata “sakit jiwa” atau “gila” masih bisa dilihat di kanal televisi dan YouTube dan belum dapat diturunkan karena terkait dengan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati.
Tentu kita tidak akan melihat seruan boikot terhadap BukaLapak sebagaimana gencarnya seruan boikot terhadap Sari Roti karena isu ini hanya segelintir orang yang tahu. Tetapi, seandainya saja menistakan orang lain yang mengalami gangguan kejiwaan juga bisa dianggap menistakan agama karena mereka pun hamba Allah, CEO BukaLapak mungkin akan segera terseret ke pengadilan dan didemo besar-besaran karena perbuatannya. Ia juga akan terpaksa menutup lapak BukaLapak karena sudah diboikot dan kehilangan kepercayaan masyarakat luas atas apa yang baru ia ketahui dari KPSI sebagai “penghinaan”.
Dan bisa jadi, seandainya saya tidak diberi tahu teman saya yang kuliah psikologi tentang betapa tidak etisnya kata-kata “gila” atau “sakit jiwa”, saya yang akan dijerat oleh Anda-Anda sekalian jam’iyah mojokiyah yang pernah mendengar saya mengucapkan kata “gila” atau “sakit jiwa”.
Jika demikian, rasa-rasanya akan banyak orang lainnya yang juga pantas diseret ke meja hijau karena menista kata-kata yang menghina akal sehat karena jadi jargon dan kosmetik belaka, seperti “pembangunan”, “daerah tertinggal”, “reformasi”, “nawacita”, “relokasi”, “revitalisasi”, dan “reklamasi”.
Itu kalau mendahulukan moral daripada logika ekonomi, ya.