Kalau Ente termasuk orang yang memiliki enam jari tangan—lantaran ketambahan satu lagi berupa gajet, dan saking nggak bisanya hidup tanpa gajet kecuali saat cebok—pasti nggak asing dengan tren terbaru di kalangan generasi muslim kita: haram-mengharamkan, sesat-menyesatkan, hingga kafir-mengkafirkan. Mulai urusan yang-yangan alias pacaran, tahun baru, valentine, ulang tahun, selfie, parfum, hingga natalan.
Puncak despotisme wacana ini terwakili oleh pekikan: bid’ah, liberal, sesat, kafir, dan ahlu-n-naar. Inilah gaya beragama generasi muslim internet; alumni dari pesantren akun-akun, dari akun yang beneran riil orangnya, sampai yang sekadar diadmini oleh orang-orang yang nyaplok label keislaman, seperti SabdaRasul, TeladanRasul, atau Qur’anHadits. Kelak, bila followernya banyak, bikinlah buku, niscaya bestseller.
Coba tanya ke seseorang yang nulis status haram hukumnya bagi muslimah memakai parfum: “Itu kata siapa, ya?” Niscaya ia akan menjawab: “Kata akun SabdaRasul.” Lalu tanyakan lagi, “Emangnya itu siapa?” “Nggak tau Ane. Ya anonimlah.” “Ooo, berarti alumnus Pesantren Anonim? Baiklah…” Sanad ilmu! Ini dia biang kerok penyebab generasi serba-haram ini menelan serbuan pandangan, label-melabeli, pengkotakan hingga pesudo-fatwa, dengan hanya berdasarkan celoteh sebuah akun—yang tentu saja tidak tuntas dan detail dalam menjelaskan.
Ya, memang sih, tidak semua anak muda masa kini bertahun-tahun ngendon di pesantren beneran. Sebagian besar mencukupkan diri dengan nyantri pada akun-akun itu, pada Mbah Google, lalu merasa diri sudah punya bekal memadai untuk berdakwah ke mana-mana, seolah-olah sudah paling sip keislamannya lantas mengkafir-kafirkan yang berbeda. Baiklah, buat yang belum sempat nyantri atau kuliah Islamic Studies secara intensif, Antum cuma butuh sedikit kebijaksanaan ini saja agar tidak menjadi bagian dari generasi serba-sesat yang memualkan itu:
Bedakan Islam dengan Pandangan Orang Islam
Syariat itu teks Al-Quran dan Hadits. Sementara fiqh, sebagai panduan praktis pelaksanaan keduanya, adalah pandangan para ulama, kiai, akademisi, atau siapa pun tentangnya. Pandangan seseorang bahwa parfum itu haram, misalnya, tidak perlu diyakini sebagai “kebenaran syariat” itu sendiri. Tetapi letakkan ia secara proporsional sebagai pandangan “orang Islam” tentang hukum parfum. Karena ia sekadar pandangan, boleh diamini boleh tidak. Kayak Ente boleh setuju atau mecucu sama saya. Sah-sah saja. Lha wong mazhab besar aja ada empat itu, lho. Kitabnya tebal-tebal kayak bantal, dari zaman dulu hurufnya gundul semua pula.
Kalau beneran mau belajar, mulai dari itu. Gali sampai ke akar-akarnya. Susah? Ya memang susah, makanya jangan mudah mengkafirkan. Kok ya Ente malah fanatik buta sama kultwit Felix Siauw, atau postingan tak berkonteks ala Arrahmah-Online? Logis dikitlah, Bro. Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Islam dari Mesir, pernah berkata: “Islam itu satu hal dan orang Islam itu hal lain.” Kalau kata Nurcholis Madjid: “Agama itu jangan disamakan dengan pandangan orang terhadap agama.”
Cari perbandingan pendapat
Kalau Ente gak mampu belajar langsung dari kitab yang tulisannya Arab gundul itu, cobalah sedikit berusaha dengan mencari perbandingan pendapat. Follow sebanyak mungkin akun yang direkomendasikan orang, dengan harapan Ente akan mendapatkan informasi berimbang tentang hukum dan posisi suatu hal. Nah, dari situ Ente baru bisa menilai sendiri. Biasanya, level ekstrem pandangan seseorang selalu berbanding lurus dengan level kedunguannya. Semakin esktrem, semakin dangkal pengetahuannya. Kalau dia tahunya hijab syar’i itu modelnya kayak daster Arab saja, dia pasti akan bersikap esktrem melihat muslimah lain yang memakai hijab tidak sama dengannya. Kemudian dengan gampang dia mengkafirkan, padahal itu hanya pandangan sepihak belaka.
Berlakulah adil pada dalil
Di zaman Rasul, memang ndak ada valentine. Wajar ndak ada hadits tentangnya. Dan sekarang, sambil merem Antum mengharamkan valentine secara mutlak atas dasar hadits “tasyabuh” (menyerupai). “Itu produk Barat, budaya kaum kafir, haram bagi umat Islam meniru orang kafir!” Ndyasmu ambyar, Akhiy! Mbok ya adil sama dalil, seadil-adilnya. Teriak-teriak tasyabuh haram kok di Facebook. Dikira Facebook itu bikinan Syaikh Abdul Zukerberg dari Arab Saudi apa? Ini benar-benar split personality lho: sakit jiwa, ngambil enaknya dan enggan enegnya. Jika meyakini konteks tasyabuh sesempit itu hukumnya, matiin dong semua akun Ente. Jangan berperilaku kayak jomblo putus asa yang lari ke bemper pemaknaan dalil dangkal dengan nulis status: yang-yangan itu haram mutlak tanpa pengecualian! Eh, tapi tiap malam malah ngepoin foto-foto Duo Srigala sambil berharap kelak dapat pasangan kayak mereka. Dua sekaligus!
Pahami konteks
Pahami selalu bahwa semua penafsir yang bertampang seperti Felix Siauw, atau Iqbal Daryono sekalipun, tidak sepi dari kepentingan. Nggak ada satu penafsir pun yang steril dari background; dari latar ilmu, kultur, hingga kepentingan—baik yang ideologis maupun bisnis.
Mau sampai Ente yakin jodoh Ente sudah keburu wafat dalam kandungan ibunya—sebab tak kunjung hadir, Mas Felix tetap akan ngomong bahwa khilafah Islamiyah (Negara Islam) itu wajib hukumnya. Mau disodorin bukti historis Piagam Madinah pasal 25-35 yang jelas-jelas Nabi Muhammad melindungi kaum Yahudi di Madinah, ya tetap akan ditolaknya. Mau diberitahu bahwa kitab klasik al-Ahkam al-Sulthaniyyah karangan Abu Hasan Ali al-Mawardi itu pesanan politis Khalifah Al-Qadir Billah untuk meredam kelompok Buwayhid yang merongrong imperium Abbasiyah, plus bantahan Imam al-Juwayni—guru Imam Ghazali yang bergelar Imam Haramain—ya Mas Felix tetap akan teriak-teriak khilafah. Diajak diskusi kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah Ibnu Taimiyah yang tidak mewajibkan khilafah legal-formal, juga, tetap saja beliaunya akan keukueh.
Di situ kadang saya merasa wakwaw. Ya, harap maklum. Mas Felix kan kader populer Hizbut Tahrir Indonesia, yang we-know-lah-nggih-cen-ngoten. Lantaran aslinya ini hanya wacana alias pandangan menurut A atau B tentang sebuah syariat, yang jelas-jelas ndak ada yang tahu yang manakah yang disetujui Gusti Allah, mbok ya kalem saja to. Ndak usah garang begitu, ngafir-ngafirin orang yang ndak sama denganmu secara fiqh atau bahkan agama.
Jangan sampailah Ente jadi orang yang mati-matian berteriak isi kaleng berlabel onta itu pasti halal, padahal isinya ternyata minyak babi. Teliti dulu semua kulit dan isi, baru deh ambil yang cocok bin kontekstual di sini. Kan kasihan Ente juga, yang dibela apa—cuma kata satu akun yang nggak jelas sanad ilmunya—tapi gaya militan Ente udah kayak prajurit ISIS yang kabarnya dijanjiin surga beserta 70 bidadarinya. Monggo, sana berangkat ke Suriah kalau Ente yakin itu jalan jihad menuju surgaNya. Sak karepmu, wis, di sana. Tapi tolong, jangan pernah kembali lagi ke sini, sebab di sini ndak sama dengan di sana.