Pekan lalu, nama Muhammad Arsyad si tukang sate mendadak ngetop. Ia ditahan polisi dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri. Di dinding facebooknya, Arsyad menyebar gambar porno kedua petinggi partai banteng itu.
Meski foto-foto yang disebar merupakan hasil rekayasa dan persebarannya tidak terlalu luas, isu Jokowi porno ini tak urung menggelinding cepat menjadi bola liar. Pro-kontra di media sosial terjadi seputar penangkapan Arsyad.
Lawan-lawan politik Jokowi pun tak mau kalah menunggangi isu ini, baik yang iseng-iseng cari perhatian maupun yang serius. Yang iseng-iseng berhadiah misalnya Farhat Abbas. Sambil menuntut Arsyad dibebaskan, Duda Nia Daniaty ini sekali lagi meminta keadilan: “Kalau mau bicara porno dan memenjarakan pornografi, tangkap tuh artis Luna Maya yang jelas-jelas difilmkan video bokepnya dengan Ariel Noah,” katanya di twitter. Sementara yang serius, contohnya satu dan satu-satunya Fadli Zon.
Pada suatu masa, saat ponsel pintar masih coba dibayang-bayangkan dan ide tentang facebook entah ada di tatasurya mana, presiden terbesar kita, Insinyur Sukarno, pernah digoyang kekuasaannya dengan film porno murahan. Biang keladinya? Siapa lagi kalau bukan Amerika.
Seperti diketahui, pertengahan tahun ‘50-an, politik Indonesia di bawah Presiden Sukarno dianggap cenderung ke arah sosialis-komunis. Hal itu sangat mengkhawatirkan para pemimpin Amerika Serikat. Lebih-lebih setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pemenang ke-4 dalam Pemilu 1955. Amerika, seperti biasa, merasa terpanggil untuk menuntun negara baru ini “kembali ke jalan yang benar”—sebagaimana yang sampai sekarang masih mereka lakukan.
Ketika upaya-upaya diplomasi lewat Kedubes AS di Jakarta dirasa tak cukup, maka Pemerintah AS, lewat Menteri Luar Negerinya, John Foster Dulles—yang bersemangat itu—merasa perlu menempuh cara lain yang lebih “kasar”. Maka, agen-agen CIA pun dikerahkan untuk mencari (lebih tepatnya, membuat) celah masuknya intervensi Amerika ke Indonesia.
CIA, di bawah kepemimpinan Allen Dulles, yang tak lain adalah saudara John Dulles, tak kalah semangatnya. Menganggap bahwa pangkal masalahnya ada pada Sukarno, CIA menyimpulkan bahwa cara yang paling ampuh untuk menghalau komunisme di Indonesia adalah dengan mendongkel Sukarno. Namun, karena Sukarno adalah sosok yang sangat populer (di mata rakyat Indonesia maupun di mata dunia), maka tak ada jalan lain kecuali membuat Sukarno tampak sebagai “tokoh yang paling tidak baik dan paling tidak simpatik”, paling tidak di mata Pemerintah Amerika sendiri.
Memanfaatkan sentimen sang Menteri Luar Negeri yang atas alasan moral sangat tidak menyukai keflamboyanan Sukarno, CIA berusaha mempertegas “ketidakbaikan” Sukarno menjadi “kebejatan”. Mereka merekayasa sebuah film dokumenter palsu yang memperlihatkan adegan cabul seorang laki-laki yang mirip Sukarno dengan seorang perempuan yang dikesankan sebagai agen Soviet.
Jangankan menggoyahkan kekuasaan Sukarno, film lucah kodian yang boleh jadi diilhami oleh kisah-kisah detektif ala Ian Flamming itu malah bikin malu jajaran diplomat Amerika. Dulles bersaudara dan para anakbuahnya merusaha melupakannya, sementara rakyat Indonesia sendiri hanya mendengar sayup-sayup soal film itu. Dan Presiden Sukarno tetap kokoh dengan kekuasaanya hingga satu dasawarsa kemudian Letkol Soeharto menggulingkannya.
Karena dirasa-rasa sangat tidak menyakinkan, film cabul palsu itu tak pernah diperlihatkan kepada Kementerian Luar Negeri AS. AS, akhirnya, memilih menunggangi para kolonel yang memberontak pada peristiwa PRRI/Permesta.
(diolah dari Audrey dan Goerge McT. Kahin, 1997)