MOJOK.CO – Kali ini, giliran film “Dua Garis Biru” yang dibuatkan petisi penolakan karena dianggap membahayakan generasi muda. Halah, kata siapa?
Setelah kemarin ramai dengan petisi penolakan film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho, kini muncul petisi menolak film terbarunya Zara JKT48: “Dua Garis Biru”. Waduh, perkara petisi memang seperti nggak ada habis-habisnya, ya?
FYI aja sih, orang bikin karya itu, kan, bukan untuk dijadikan bahan petisi, tapi untuk dinikmati. Lama-lama, kalau orang malas bikin film di Indonesia, gimana coba? Lagian, bukannya laku ditonton, malah laku ditandatangani jadi petisi penolakan!
Saya bisa paham apabila yang menyerukan pemboikotan film itu adalah fans JKT48. Misal, alasannya cemburu karena si oshi bermesraan dengan lawan mainnya di film.
“Tolak film terbaru Zara JKT48! Kami nggak rela oshi kami disentuh tangannya oleh cowok. Apalagi ceritanya sampai hamil!”
Namun ternyata, para fans yang kerap mengaku sebagai pacar online-nya Dik Zara tidak seposesif itu. Nggak tau kalau Dilan. Pasalnya, Zara pernah jadi Disa, adiknya Dilan. Mungkin kalau sampai tahu, Dilan akan marah dan berkata:
“Disa, jangan pernah bilang ke aku, ada yang menghamilimu. Nanti, besoknya, cowok itu akan kutemukan.”
“Ya iya lah, masa mau dibikin hilang? Nanti anakku cari-cari bapaknya kayak Soni Wakwaw,” sahut Disa.
Yang bersungut-sungut menolak film ini adalah mereka yang takut dan khawatir dengan generasi muda penerus bangsa. Alasannya, film “Dua Garis Biru” sudah harus disensor sejak dalam pemilihan judul. Mereka paham yang dimaksud “Dua Garis Biru” di sini adalah hasil test pack. Lain soal kalau judulnya “Segitiga Biru”, pasti ceritanya tentang penjual tepung terigu. Aman dan mengenyangkan.
Mereka ketakutan karena film ini mengangkat tema pergaulan bebas yang berujung hamil di luar nikah. Narasi yang mendukung penolakan film ini: penonton bisa meniru apa yang ditontonnya. Terus, khawatirnya kalau nonton film tentang anak SMA yang hamil di luar nikah, nanti selesai nonton, auto hamil juga. Padahal kan nggak begitu, Steven.
Saya nilai, “Dua Garis Biru” berusaha memberi gambaran mengenai apa yang terjadi di lapangan saat ini. Pastilah amanat ceritanya bukan untuk menganjurkan seks bebas, tapi mempertontonkan rentetan risiko akibat seks bebas itu sendiri. Salah satunya, hamil di saat kondisi pihak perempuan belum siap dan cowoknya masih sekolah.
Sewaktu masih belia, saya pernah menonton sinetron “Pernikahan Dini” yang kurang lebih temanya tentang MBA (Married by Accident) juga. Tokoh utamanya bernama Dini yang diperankan oleh Agnes Monica sebelum go international dan jadi Agnez Mo. Lawan mainnya Sahrul Gunawan sebelum ketemu Om Jin. Hehe.
Untung, waktu itu belum ada petisi kagetan kayak sekarang, jadi saya masih bisa nonton sinetron tersebut. Gara-gara sinetron ini, saya jadi tahu betapa mengerikannya akibat dari pacaran kelewat batas. Efeknya? Saya jadi takut. Tidak lantas bikin pengin menirukan adegan yang dilakukan Dini dan Gunawan atau Surti dan Tejo di pematang sawah.
Dari trailer dan sinopsisnya, “Dua Garis Biru” pun berfokus tentang cara Bima dan Dara menghadapi konflik hidup yang belum seharusnya mereka lalui. Hal ini diakibatkan dari perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan ketika masih pakai seragam OSIS.
Akhirnya, sepasang anak SMA yang sepertinya kurang pendidikan seks itu harus belajar menjadi orang tua. Tentu isu ini perlu dan penting dibahas.
Ada satu dialog di trailer filmnya yang sangat saya suka. Tokoh ibu di sana menasehati anaknya yang juga coming soon jadi ibu:
“Jadi orang tua itu bukan hanya 9 bulan 10 hari. Itu pekerjaan seumur hidup.”
Rasanya kita nggak perlu punya anak dulu untuk tahu betul besarnya tanggung-jawab tersebut. Ketika seorang manusia memutuskan beranak-pinak, dari situlah tugasnya sebagai orang tua dimulai.
Ketika seseorang yang belum siap untuk punya anak (untuk kasus ini pelajar sekolah seperti Dara dan Bima), lalu menahan diri sampai benar-benar siap, bagi saya, itu seperti sebuah bentuk kasih sayang yang lain kepada anak-anaknya yang belum terlahir. Untuk mendukung ide tersebut, saya jadi ingin mengutip dialog di serial Netflix “Sex Education”:
“Lebih baik tidak jadi orang tua (dulu) daripada jadi orang tua yang buruk.”
Sebelum menjadi perantara untuk mendatangkan manusia baru ke dunia ini, alangkah bijaknya menjadi manusia yang baik terlebih dahulu. Terutama jadi manusia yang ashiap!
Film “Dua Garis Biru” bukanlah film fantasi seperti “Harry Potter”, yang mana setelah menontonnya, kita jadi ingin bersekolah di Hogwarts dan menjadi atlet yang olahraganya naik sapu terbang.
Film “Dua Garis Biru” lebih cocok disebut film horor. Demi menyaksikannya, penonton tidak ingin meniru perbuatan karakter utamanya, apalagi merasakan nasib yang sama. Sebab, filmnya memaparkan teror-teror yang dialami oleh Dara sebagai calon ibu muda. Perasaan bersalah juga digambarkan merundung Bima karena jadi pemicu kehamilan dini orang yang ia sayang.
Film seperti “Dua Garis Biru” ini tidak bisa disamakan dengan film biru lainnya. Kalau film biru memicu penontonnya untuk meniru, film “Dua Garis Biru” ini menunjukkan gambar besar yang lebih utuh. Sebab dan akibat. Ia mengangkat unsur-unsur penting yang tidak diperingatkan dari film-film biru.
Sebaiknya, sebelum berseru dan berseteru untuk menolak, kita tonton filmnya terlebih dahulu. Rasanya tidak adil menghakimi sebelum mengenali, bukan? Kalau ternyata film ini justru bisa menyadarkan generasi muda untuk lebih mengerti tentang tubuhnya, tentu kita yang rugi karena melewatkan kesempatan baik itu.
Lagian, hobi amat, sih, bikin petisi lemah urgensi di Change.org? Saya kok takut, lama-lama nanti orang-orang yang gerah dengan petisi-petisian ini, kompakan bikin petisi tandingan.
Isinya? Tentu saja menolak Change.org itu sendiri yang sering disalahgunakan. Terus, Change.org bakal ditutup dengan segera. Nah, kalau sudah begitu, kita mau bikin petisi di mana, coba?