MOJOK.CO – Meneladani Fatimah az-Zahra putri dari Nabi Muhammad adalah solusi cerdas di tengah krisis budaya ramah kepada perempuan.
Isu keperempuanan adalah salah topik yang tidak pernah surut. Selama perempuan belum mendapatkan keadilan dalam kehidupan sosial sebuah bangsa, dipastikan negeri itu belum dapat disebut Baldatun Toyibatun waRobun Ghofur.
Jika kita amati, nyaris tak ada tempat aman dan ramah perempuan. Semua tempat menjadi horor. Kampus sebagai lembaga perguruan tinggi yang diklaim sebagai pusat pendidikan dan tempat berkumpulnya orang-orang intelek, juga tak memberikan jaminan keamanan untuk perempuan.
Penyakit dari sistem sosial yang tidak ramah
Kezaliman yang dialami perempuan adalah penyakit yang lahir dari sistem sosial serta lingkungan yang tidak ramah. Penyakit semacam ini tak ubahnya seperti kanker yang akan terus merusak dan menggerogoti tubuh peradaban. Generasi yang hidup dan lahir pada sistem sosial semacam ini akan terus menerus menjadi korban. Amit-amit jabang bayi jika pada akhirnya diri, keluarga, teman, atau orang terdekat kita harus menjadi pelaku atau korban.
Problem sosial dan budaya tidak ramah perempuan bukan perkara sederhana yang akan tuntas hanya dengan penegakkan aturan dan hukum. Pertama-tama kita harus secara jujur mengakui, bahwa sebagai sebuah masyarakat, masih belum dapat memberikan tempat aman dan ramah bagi perempuan. Budaya patriarki yang kental memang menjadi momok yang membuat perempuan terus menerus ada dalam ketakutan dan penindasan.
Kekerasan kepada perempuan sejak zaman awal Islam
Dalam sejarah Islam, budaya tidak ramah perempuan juga pernah terjadi. Kampung halaman, tempat lahir, dan lingkungan hidup Nabi Muhammad, punya budaya yang amat barbar terhadap perempuan. Jangankan memuliakan dan menghargai perempuan, masyarakat Arab jahiliah memandang perempuan sebagai aib dan kehinaan.
Dikenal di kalangan Arab jahiliyah tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Bagi mereka, membesarkan anak perempuan nggak worth it banget. Selain karena simbol kegagahan dan keperkasaan ada pada laki-laki, jika sebuah keluarga hanya punya anak perempuan, keturunannya dianggap terputus. Punya anak perempuan dianggap kesialan. Pilihan terakhir dikuburlah selagi bayi, agar tidak membawa nasib buruk lebih banyak lagi.
Anak-anak perempuan yang cukup beruntung dan tidak berakhir di kuburan, akhirnya dibesarkan dan hidup jadi manusia kelas dua. Mereka hadir hanya untuk melengkapi, melayani, dan memuaskan laki-laki.
Nabi Muhammad datang membawa pencerahan
Di tengah-tengah masyarakat jahiliah yang begitu jahat dan zalim terhadap perempuan, Nabi Muhammad hadir membawa paradigma baru. Nabi Muhammad jauh sebelum mendapat wahyu, sudah dikenal selalu membawa pencerahan dan perubahan. Selain dikenal berkepribadian luhur (baca: sidik, amanah, tabligh, fathonah) beliau juga tampil out of the box melawan arus budaya tidak ramah perempuan.
Gerakkan sosial yang Nabi Muhammad perjuangkan adalah melawan penindasan terhadap mustadh’afin golongan lemah (termasuk perempuan pada masa itu). Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah, seorang perempuan langka yang punya temperamen dan kepribadian luhur, kontras berbeda dengan perempuan lainnya saat itu.
Khadijah lahir dan tumbuh dalam keluarga yang senantiasa menjaga kesucian di tengah arus masyarakat jahiliah tak bermoral. Dari pernikahannya, lahir seorang gadis yang menjadi antitesis dari kebudayaan zalim terhadap perempuan. Kelahiran Fatimah az-Zahra ini menjadi titik tolak paradigma baru bagi kehidupan perempuan yang gemilang.
Sosok perempuan sempurna
Ada hal menarik dari pernikahan ini. Nabi Muhammad memilih monogami hanya dengan Khadijah seorang. Hingga istrinya wafat. Padahal, dalam budaya Quraisy masa itu, punya banyak bini adalah hal lumrah sekaligus ukuran status kejantanan pria. Namun, Rasulullah ingin memperlihatkan bagaimana perempuan seharusnya dimuliakan.
Upaya Nabi Muhammad membangun lingkungan sosial yang ramah perempuan bukannya tanpa hambatan. Selain Fatimah az-Zahra, Nabi punya satu orang anak laki-laki yang meninggal di usia belia.
Meninggalnya putra Nabi Muhammad ini mengundang olok-olok masyarakat. Nabi dianggap abtar, atau terputus keturunannya. Namun siapa sangka, justru putri perempuan Rasulullah yang menjadi cikal bakal lahirnya para habib dan syarifah sebagai keturunan yang tersebar luas ke seluruh penjuru bumi. Dari rahimnya lahir keturunan hebat yang membumikan ajaran rahmah untuk alam semesta (Rahmatan Lil ‘Alamin).
Fatimah Az-Zahra adalah sosok manusia sempurna dari kalangan perempuan. Dia punya kecantikan luar dan dalam. Ayahnya, Nabi Muhammad, menyebut putrinya sebagai Haura Al-Insiyyah, atau jelmaan bidadari di bumi. Fatimah az-Zahra menjadi teladan perempuan yang sempurna dan nyata. Sebagai anak Nabi Muhammad, Fatimah az-Zahra turut memikul dan mengemban tanggung jawab dakwah ayahnya.
Islam punya perhatian spesial terhadap perempuan
Salah satu nama surat dalam Al-Qur.’an adalah surah An-Nisa yang berarti perempuan. Kehadiran Fatimah az-Zahra sebagai anak perempuan Nabi Muhammad menjadi cara Allah memberikan modeling pada umat manusia bahwa perempuan itu berharga, sekaligus memberikan tuntunan bagaimana menjadi perempuan berharga. Beberapa ayat dalam Al-Qur.’an turun menceritakan bagaimana selayaknya hidup menjadi seorang perempuan lewat keteladanan Fatimah az-Zahra.
Fatimah az-Zahra, dalam sejarah Islam, memberikan banyak pelajaran keperempuanan, baik tersurat maupun tersirat. Fatimah mengajak semua perempuan menjadi cerdas dan terpelajar, berani dan tangguh, suci dan terhormat.
Fatimah az-Zahra juga mewarisi ilmu dan ketakwaan Nabi Muhammad. Dia berperan sebagai seorang putri Kanjeng Nabi Muhammad, istri Sayyidina Ali, ibu dari Hasan, Husein, dan Zainab, sekaligus menjadi aktivis perempuan yang membimbing perempuan lain di masa itu untuk bangkit dan berdaya. Fatimah az-Zahra juga meninggalkan pelajaran-pelajaran penting untuk perempuan sekarang dan perempuan masa depan.
Fatimah az-Zahra dalam umurnya yang tak panjang memberikan pengaruh luar biasa untuk umat manusia. Beliau tumbuh menjadi perempuan baru yang berbeda dengan perempuan pada umumnya. Fatimah menjadi simbol perlawanan terhadap sistem jahiliah yang zalim dan semena-mena. Makam sayyidah Fatimah hingga kini tak pernah diketahui secara pasti, memberikan isyarat bahwa perjuangan masih harus terus dilanjutkan dan misteri harus diungkapkan.
Perempuan serba bisa
Fatimah az-Zahra sebagai perempuan muda bukan hanya piawai mengelola keuangan skala rumah tangga. Fatimah juga adalah seorang komisaris sekaligus manajer ulung yang mampu mengelola sebuah ladang besar dan subur bernama Kebun Fadak (hadiah pemberian Rasulullah) untuk kepentingan ekonomi umat Islam masa itu. Oleh sebab itu, Fatimah az-Zahra adalah seorang Wonder Woman sungguhan yang menjadi teladan untuk semua perempuan di dunia. Sungguh tepat sekali Nabi Muhammad menyebut putrinya Fatimah dengan gelar Sayidatu Nisa al-Alamin atau penghulu perempuan alam semesta.
Optimisme terwujudnya bangsa yang gemah ripah loh jinawi di masa depan, tentu adalah masa di mana perempuan mendapatkan keadilan. Perempuan merupakan instrumen penting dalam kemajuan peradaban. Sebagaimana peran penting yang dilakukan Fatimah az-Zahra dalam kemajuan dan keberlangsungan peradaban Islam. Fatimah tidak hanya mendidik anak-anak perempuan di masanya. Dia juga memberdayakan perempuan agar dapat mengaktualkan potensi luar biasa dan memaksimalkan perannya dalam keluarga dan masyarakat.
Laki-laki atau perempuan sangatlah perlu mengenal sosok Fatimah az-Zahra binti Rasulullah. Dari putri Nabi Muhammad manusia dapat mengambil pelajaran, meneladani, menjadikannya idola dan figur perempuan ideal. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa, kita harus memiliki spirit dan kekuatan untuk menciptakan budaya ramah perempuan dan mewujudkan keadilan gender.
BACA JUGA Maulid Nabi Muhammad: Meneladani Nabi yang Nggak Hobi Menyalahkan dan kisah inspiratif lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Mursyid Al Haq
Editor: Yamadipati Seno