MOJOK.CO – Saat mulai menonton drakor dan terasa seru di episode pertama, hal pertama yang mengalami evolusi adalah pantatmu.
Beberapa waktu lalu di Twitter, seorang ibu membagikan cerita soal kebiasaannya menonton drama Korea (Drakor). Kebiasaan ini ternyata menimbulkan efek buruk. Bukan pada dirinya, tapi pada sang anak.
Singkatnya, sang anak mengalami speech delay alias terlambat bicara. Dan itu semua gara-gara si ibu jarang mengajak anaknya ngobrol. Si anak lebih sering diberi gawai biar si ibu bisa menonton Drakor dengan tenang.
Sebagai pecinta Drakor—walau tidak kecanduan-kecanduan amat—sedikit banyak saya bisa paham kenapa si ibu bisa sampai segitunya. Karena menonton Drakor tanpa kendali memang bisa mengubahmu sih.
Saat mulai menonton Drakor dan terasa seru di episode pertama, hal pertama yang mengalami evolusi adalah pantatmu. Bukan, bukan jadi kencang atau tepos. Pantatmu akan berubah jadi lebih “pendiam”.
Jika biasanya ia lincah bergerak ke sana dan ke mari, saat diberi Drakor ia akan diam seperti kena lem. Kamu tidak bisa ke mana-mana selain terus menonton Drakor sampai beres. Ya, minimal beres episode pertama lah.
Sialnya, setelah beres episode pertama, sebuah bisikan gaib itu segera muncul, “Satu episode lagi aja, tanggung!”
Begitu seterusnya sampai kamu tidak sadar sudah melahap tiga episode berturut-turut. Padahal satu episodenya saja durasinya ada yang sampai 1,5 jam.
Sebagai pecinta Drakor semenjak masa awal gelombang Hallyu sampai ke Indonesia, hal ini sudah saya rasakan dari dulu. Misalnya, setiap kali serial Full House tayang di Indosiar, pantat ini rasanya tidak bisa diapa-apakan.
Jika ada hal yang mendesak seperti ingin boker pun, hanya akan dilakukan saat iklan. Semata karena tidak ingin ketinggalan sedetik pun adegan-adegan lucu antara Han Ji-eun dan Lee Yeong-jae.
Begitu juga saat Drakor kolosal Jewel in the Palace tayang. Tidak peduli emak sudah screaming minta dibelikan beras ke warung misalnya, rasanya lebih baik gelut daripada kehilangan momen berharga saat Jang Geum dan Dayang Han menemukan jati diri satu sama lain.
Bahkan, saat Drakor ini sudah selesai, lagu yang mengiringi credit title-nya pun tidak akan dilewatkan begitu saja. Semua ditonton sampai tidak tersisa.
Alhasil, lirik lagunya menempel terus sampai sekarang. Itu lho, yang liriknya: onara onara aju ona… gadara gadara aju gana (nggak perlu dinyanyikan juga ya, Lisa Manoban).
Menonton Drakor, baik dulu di Indosiar atau sekarang di Netflix, juga bisa mengubah lidahmu jadi lebih latah.
Latah ini mirip anak-anak yang suka menonton serial Upin & Ipin. Saat berbicara, satu atau dua kata bahasa Melayu pasti akan mereka tirukan. Entah itu sekadar bilang “tak nak” untuk mengganti kata “aku nggak mau” atau melengos sambil bilang “yeuuulaah!” saat diminta membuang bungkus Chiki ke keranjang sampah.
Begitu juga dengan orang dewasa pecinta Drakor. Saat tokohnya berkata “aigoo”, “gomawo”, “arraseo”, “ottoke”, “jin-jja”, hingga “michoso” lidahmu bakal meronta-ronta ingin mengatakannya juga.
Bedanya, orang dewasa pecinta Drakor kadang menggunakannya secara random atau sengaja menggunakannya dalam konteks yang tidak tepat. Ya, entah karena memang tidak tahu artinya atau mungkin karena hanya digunakan buat lucu-lucuan.
Contohnya terpampang di dunia per-Twitter-an. Di sana kita bisa melihat sapaan Hyung dipakai siapa saja. Tidak peduli siapa yang bicara dan yang diajak bicara, semua serba di-Hyung-kan. Yang penting mah lucu aja bisa kokoreaan. Dikit.
Kakak laki-laki saya sendiri pun ketika menelepon misalnya, dengan penuh kegaringan sering memanggil saya “eomeoni”, “ahjumma”, hingga “ahjussi”.
Saya balas memanggilnya “agassi” atau “seonsaengnim”. Hassshhh… ikan hiu makan tomat!
Lebih dari itu, menonton Drakor juga bisa mengubah preferensimu dalam menentukan alat makan hingga pasangan.
Contoh paling sederhana untuk yang pertama sih, caramu ketika makan Indomie. Ia akan berubah dari yang asalnya pakai garpu, tiba-tiba ganti jadi pakai sumpit. Sesederhana hanya karena para tokoh di dalam Drakor melakukannya.
Celaka jika kamu pecinta Drakor sekaligus seorang Wibu di saat bersamaan. Hmmm… bisa-bisa makan pilus pun disumpitin, Gaes.
Dalam kasus yang ekstrem, yang berubah bahkan bukan hanya alat makannya. Tapi hingga pilihan makanannya itu sendiri. Entah itu jadi sering ingin makan jajangmyeon, jjampong, tteokbokki, bibimbap, hingga ingin coba soju—jangan lupa di-bismillah-in dulu ya, Bun!
Terakhir soal pasangan. Gara-gara menonton Drakor yang dibintangi Park Bo-gum misalnya, memang ada yang sampai tipe idealnya berubah jadi oppa-oppa-look gitu, lho.
Ya, walaupun cuma sebatas halu. Dan walaupun look yang miripnya boleh di bagian mata saja, rambut saja, ketek saja, jempol saja, atau bahkan namanya saja.
Kalau mau cari nama pacar yang agak ke-Korea-Korea-an mah, di Bandung juga banyak sih. Kang Daniel orang Cicaheum misalnya. Itu namanya Korea banget, lho. Ada marga Kang-nya. Baiq, retceh.
Eh, atau mau cari yang oppa-oppa-look hingga ahjussi rasa oppa? Ke Bandung juga saja. Nanti main ke daerah Kosambi. Biar ketemu Mang-Oppa Ade Londok yang beberapa hari kemarin viral dengan Odading Mang Olehnya. Ih hapunten nya Mang Ade. Heureuy abi mah. Sumpah.
BACA JUGA Di Dunia Drama Korea, Wajah Tampan Saja Tidak Cukup dan tulisan Nurjanah lainnya.