Dolar ke Rupiah Tembus 17 Ribu: Penyebab, Risiko, dan Strategi Menghadapi Potensi Krisis Ekonomi

Dolar ke Rupiah Tembus 17 Ribu Krisis Ekonomi di Depan Mata? MOJOK.CO

Ilustrasi Dolar ke Rupiah Tembus 17 Ribu Krisis Ekonomi di Depan Mata? (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CONilai dolar ke rupiah sempat tembus 17 ribu. Kekhawatiran akan krisis semakin besar. Berikut beberapa strategi yang perlu kamu catat.

Pagi hari 7 April 2025, nilai dolar ke rupiah sempat tembus di angka 17.261 dan mencatatkan posisi terendah. Mengutip Tempo, pada pukul 14:35, rupiah berada di angka 16.883. Angka-angka ini tentu menggambarkan keadaan negara yang sedang tidak baik-baik saja.

Jadi, nilai mata uang, dalam hal ini nilai dolar ke rupiah, merupakan salah satu indikator. Ia menggambarkan kondisi makro ekonomi sebuah negara. Apakah sedang baik-baik saja atau malah sebaliknya, sedang sakit dan sekarat. Secara kausalitas, nilai mata uang ini juga punya peran yang erat kaitannya dengan tinggi rendahnya inflasi atau deflasi di sebuah negara. 

Nah sekarang pertanyaannya, kenapa rupiah sangat sensitif? Sebelum menjawab kenapa bisa sesensitif itu, supaya kita punya gambaran yang komprehensif, saya mulai dengan istilah yang disebut dengan Impossible Trinity atau bahasa ekonominya Trilemma Mundell-Fleming.

Mengenal konsep 3 pilihan kebijakan

Jadi begini, di kancah internasional, sebuah negara dalam kepentingan ekonominya dihadapkan pada 3 pilihan kebijakan. Mereka adalah stabilitas nilai tukar uang, kebijakan moneter independen, dan mobilitas arus modal masuk. 

Masalahnya, dari 3 kebijakan itu, sebuah negara hanya bisa menempuh 2 saja dan harus mengorbankan 1 di antaranya. Sebuah negara tidak bisa menerapkan ketiganya secara bersama-sama.

Skema pertama, ketika menginginkan stabilitas nilai tukar dan independensi moneter, sebuah negara harus mengorbankan mobilitas arus modal asing masuk. Hal itu karena ketika modal asing tetap dibiarkan masuk, keinginan untuk mencapai stabilitas nilai tukarnya terganggu. 

Pasalnya, uang di negara tersebut mau nggak mau harus disandingkan dengan uang dari negara lain. Kondisi ini, secara otomatis, akan membuat nilai tukarnya jadi nggak stabil. Sebabnya adalah karena ada supply and demand di sisi masing-masing mata uang dari negara yang melakukan transaksi. Kebijakan seperti ini biasanya diterapkan oleh negara tertutup, contohnya adalah Korea Utara.

Kedua, apabila sebuah negara ingin mobilitas modal asing bebas masuk dan nilai tukar tetap. Tapi, konsekuensinya ya negara tersebut tidak bisa mewujudkan independensi moneternya. 

Penyebabnya karena kebijakan ini mengharuskan setiap transaksi internasional sebuah negara dengan negara lain menggunakan mata uang yang sama. Makanya, mereka menyepakati keberadaan otoritas moneter yang sama. 

Contoh nyatanya itu negara-negara di dalam Uni Eropa. Negara yang tergabung di dalamnya menyepakati Euro sebagai alat transaksi dan European Central Bank sebagai otoritas moneter. 

Terakhir adalah ketika negara ingin arus modal asing bebas masuk dan punya independensi moneter. Sayangnya, negara harus mengorbankan stabilitas nilai tukar mata uangnya. 

Nah, Indonesia adalah salah satu negara yang berada dalam posisi menerapkan kebijakan tersebut. Alasannya ya karena Indonesia ingin modal asing masuk dengan bebas supaya menumbuhkan sektor perekonomian dalam negeri. Namun, di sisi lain, tetap bisa mengatur kondisi moneternya dengan fleksibel tanpa terikat secara pakem dengan otoritas moneter internasional seperti World Bank.

Nilai dolar ke rupiah dan sensitivitas rupiah

Sekarang kembali ke pertanyaan mengapa rupiah sangat sensitif dan nilai dolar ke rupiah naik? Analoginya begini. Pilihan yang diambil Indonesia atas situasi impossible trinity ini membuat kondisinya seperti sebuah rumah di pantai yang pintu dan jendelanya dibiarkan terbuka.

Harapannya supaya siapa saja bisa masuk. Sejalan dengan itu, pemilik rumah punya otoritas untuk mengatur bagaimana suasana dan konsep dari rumah tersebut.

Tapi persoalannya, rumah yang berada di tepi pantai akan rentan menghadapi cuaca buruk. Misalnya seperti badai, hujan, dan angin ribut yang membuat kenyamanan di dalam rumah bisa terganggu. 

Pemilik rumah mungkin bisa mengatur letak kursi, memindahkan posisi televisi, dan mengamankan meja makan. Tapi, pintu dan jendela yang terbuka akan tetap membuat angin masuk dan isi rumah jadi berantakan. 

Nah, itulah gambaran sederhana mengenai kurs dolar ke rupiah saat ini. Ketika dunia bergejolak, rupiah tentu jadi terpengaruh. Meski Bank Indonesia mau utak-atik instrumen moneter, dampaknya nggak signifikan.

Baca halaman selanjutnya: Persiapan menjelang krisis.

Penyebab nilai dolar ke rupiah tembus 17 ribu

Nah, pemicu utama kondisi ekonomi dunia saat ini nggak baik-baik saja sehingga berpengaruh pada nilai dolar ke rupiah itu ada beberapa hal. Pertama, kebijakan Amerika Serikat yang melakukan pengetatan makro ekonominya. 

Mulai dari The Fed menaikan suku bunga supaya orang-orang dari seluruh dunia menarik USD-nya untuk dimasukan ke instrumen keuangan di Amerika. Akibatnya, peningkatan tarif impor Amerika Serikat yang membuat permintaan USD di Amerika Serikat sendiri jadi makin tinggi.

Lah, orang-orang Amerika Serikat butuh USD lebih banyak karena tarif impor dari beberapa negara ke negara mereka sendiri naik karena Trump. Kondisi itu membuat USD jadi menguat nilainya. Ia dianggap aset yang aman dan menjanjikan. Efeknya, permintaan USD jadi tinggi dan nilai dolar ke rupiah menguat.

Penyebab dari internal Indonesia

Saat ini, kondisi neraca perdagangan dan transaksi berjalan terbilang mengkhawatirkan. Harga produk unggulan ekspor seperti batu bara, minyak kelapa sawit (CPO), dan nikel lagi turun-turunnya. 

Secara bersamaan, impor negara kita justru meningkat. Terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi menjelang Lebaran serta kebutuhan bahan baku dan barang modal bagi sektor industri. Kalau sudah bicara impor, tentu negara ini membutuhkan USD, kan? Makanya, nilai dolar ke rupiah naik.

Selain itu, tekanan terhadap rupiah juga datang dari sisi korporasi. Menjelang akhir kuartal, banyak perusahaan melakukan pembayaran utang luar negeri atau pembagian dividen kepada investor asing. Tentu, mayoritas menggunakan USD.

Nggak lupa juga adanya perkara stabilitas politik dan ketidakjelasan regulasi. Ada istilah country risk atau sovereign risk. Istilah ini menggambarkan sejauh mana sebuah negara bisa dipercaya untuk menjaga kepastian dan stabilitas dalam jangka panjang.

Investor asing, tidak hanya fokus kepada pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tetapi juga memperhatikan sinyal lain. Mulai dari regulasi yang berubah-ubah, kebijakan ekonomi tidak terprediksi, hingga lembaga independen seperti bank sentral dan pengadilan terintervensi. 

Maka, kepercayaan investor mulai goyah. Ini juga bisa memicu naiknya nilai dolar ke rupiah.

Semakin tinggi risiko inkonsistensi dan intervensi politik, semakin besar risk premium yang diminta. Bahkan bisa mendorong arus modal keluar. Bukan karena lemahnya ekonomi, tetapi karena hilangnya kepercayaan terhadap sistem. Kombinasi semua itu mengakibatkan nilai dolar ke rupiah menguat. Sementara nilai tukar rupiah jadi makin melemah.

Inflasi?

Kalau situasinya berlanjut, tentu akan memicu inflasi. Nah, Inflasi yang makin tinggi membuat Bank Indonesia menaikan suku bunga untuk menekan uang beredar. 

Efeknya tentu bunga kredit jadi naik, konsumsi masyarakat melemah, dan investasi di sektor riil jadi lesu. Di sisi lain, utang luar negeri, baik milik pemerintah maupun swasta dalam bentuk USD harus dibayar lebih mahal dalam rupiah. Otomatis, nilai dolar ke rupiah naik.

Belum lagi kalau pasar keuangan ikut panik. Kita sudah diperlihatkan tuh, investor asing buru-buru cabut dari pasar saham, bikin IHSG turun drastis.

Sekarang, masyarakat harus ngapain nih? 

Saya coba himpun beberapa saran dari para ekonom dan perencana keuangan terkait antisipasi menghadapi krisis ekonomi. Sebuah kekhawatiran setelah nilai dolar ke rupiah setinggi ini.

Pertama, memperkuat dana darurat, khususnya di momen naiknya nilai dolar ke rupiah kayak saat ini. Kalau belum punya, segera mulai dari sekarang.

Kedua, mengurangi keinginan dan utang konsumtif. Udah, tahan dulu beli barang mewah, apalagi yang produksi luar negeri. Nilai dolar ke rupiah lagi tinggi.

Jangan memaksa utang demi gengsi. Ketika krisis, kamu nggak bisa bergantung ke orang lain. Diri sendiri yang jadi tumpuan.

Ketiga, memperbanyak keterampilan untuk mendorong diversifikasi pendapatan. Silakan tambah skill baru supaya ada side job demi tambahan pendapatan. Nambah skill juga membuat kita jadi lebih kreatif. Kalau sumber pendapatan bertambah, uang untuk investasi atau dana darurat juga bertambah, kan?

Keempat, hindari instrumen investasi berisiko tinggi. Nggak usah coba-coba cryptocurrency. Kalau uang terbatas, sebaiknya hindari juga saham dalam negeri. 

Kalau tren ekonomi dalam negeri sudah membaik, barulah kamu bisa mencoba untuk investasi saham. Saya pribadi lebih merekomendasikan emas atau reksadana (pasar uang dan pendapatan tetap) untuk melindungi harta kita.

Kelima, membangun portofolio sosial. Fokus pada membangun reputasi dan kontribusi sosial di masyarakat. Pasalnya, orang yang punya posisi sosial kuat dan bagus, biasanya lebih dulu dapat akses bantuan atau kolaborasi saat krisis.

Selain itu, yang perlu kita perhatikan adalah bertahan hidup saat krisis bukan cuma perkara uang. Ini soal ketahanan sosial, kreativitas, dan kemampuan adaptasi. 

Mereka yang bisa “berpikir lateral” dan membangun kekuatan mikro (jaringan, keterampilan, reputasi sosial) akan lebih tahan daripada yang hanya fokus simpan uang.

Uang bisa lari, tapi ketahanan mental dan sosial kita yang jadi penentu, bertahan atau tumbang. Dan ingat, jangan lupa berdoa.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Naiknya Kurs Dolar Bikin Utang Numpuk dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version