MOJOK.CO – Harusnya bukan cuma Vanessa Angel yang diberitakan. Harusnya pemakai jasa dan penyedianya juga. Harusnya. Idealnya. Sayangnya ini bukan dunia yang ideal, Darling.
Praktik prostitusi online pada dasarnya sama dengan prostitusi biasa. Nggak sama persis, sih. Perbedaannya hanya terletak di metode penawaran dan media untuk menawarkannya.
Kalau prostitusi konvensional atau offline, Pekerja Seks Komersial (PSK) menawarkan dirinya sendiri di jalan atau di lokalisasi. Level yang lebih tinggi, mucikari menawarkannya via telepon ke orang yang berpotensi atau punya demand cukup menarik, misalnya pejabat atau pengusaha.
Kemajuan zaman, dalam hal ini teknologi mengizinkan pedagang yang dulunya harus punya toko untuk menjual dagangannya tak perlu repot-repot lagi. Hanya dengan membuat akun Instagram dan memiliki akun Whatsapp, seseorang bisa berjualan dengan laba yang lebih besar dibanding mereka yang memiliki toko fisik.
Nah, para mucikari itu juga pedagang. Apa yang dijual? Jasa prostitusi. Daripada repot-repot bikin rumah bordil dan menawarkan PSK dengan cara tutur tinular, mending ambil foto, bikin katalog, blast di media sosial atau langsung japri ke yang berminat.
Logika sederhananya begitu. Praktik sesungguhnya di lapangan, saya kurang tahu karena belum dimintai foto untuk katalog.
Jadi sebenarnya prostitusi online itu bukan hal baru. Metodenya saja yang baru. Lalu mengapa kasus terakhir ini heboh? Jelas, karena membawa nama artis yakni Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila yang tidak banyak disoroti karena kurang tenar.
Coba kalau yang terlibat itu Surti disewa Tedjo. Tentu masyarakat nggak akan seheboh ini menanggapinya.
Sebagaimana kita semua tahu, di Indonesia, masyarakat begitu ingin mengetahui seluk beluk kehidupan orang lain, baik yang dikenal (tetangga dan saudara) maupun yang tidak dikenal (temannya teman, tetangganya saudara, dan selebritis).
Media sosial menjembatani semua ini. Lewat kolom komentar, semua orang bisa jadi peduli lalu menjadi polisi moral dan berharap masuk surga karena sudah “maaf, sekadar mengingatkan”.
Keinginan masyarakat untuk mengetahui semua itu dipenuhi oleh media massa, khususnya online, terutama yang khusus sejak awal membahas dunia hiburan, selanjutnya sebut saja media entertainment.
Di Indonesia, media entertainment ada ratusan bahkan mungkin ribuan jumlahnya. Ada yang sudah tergabung dalam jaringan media besar, ada yang start up. Ada yang liputan, ada yang nggak liputan.
Jangan dikira semua reporter ditugaskan meliput artis secara langsung ke lapangan. Dalam media entertainment, ada reporter lapangan dan non-lapangan.
Lalu apa tugas yang kedua? Membuat berita berdasarkan pernyataan di media sosial baik Facebook, Twitter, Instagram maupun YouTube. Lha, emang bisa? Bisa, namanya kurasi dan kompilasi. Agar lebih terpercaya, diambil kutipan wawancara langsung (dari reporter lapangan) media itu sendiri maupun dari media yang lebih besar tapi masih dalam satu jaringan.
Kalau reporter lapangan artikelnya pendek-pendek dan berisi lebih banyak kutipan langsung, reporter non-lapangan biasanya membuat artikel lebih panjang dengan framing yang berbeda.
Contoh:
Reporter lapangan: Vanessa Angel Ungkap Dirinya Merasa Dijebak oleh Rekan Sesama Artis
Reporter non-lapangan: 5 Fakta Kasus Prostitusi Online yang Libatkan Vanessa Angel, blablablabla
Kelihatan kan bedanya?
Bukannya kami, reporter media entertainment terutama yang non-lapangan, tidak tahu bahwa kasus ini dibesar-besarkan hanya karena melibatkan seorang artis. Kami tahu, kok.
Saya juga tahu bahwa ini tidak adil untuk Vanessa Angel hanya karena dia perempuan dan selebriti, tapi juga karena tidak ada pasal untuk menjerat PSK baik online maupun offline, kecuali ia terlibat juga sebagai mucikari.
Harusnya yang disoroti itu yang menyewa, si pengusaha tambang pasir itu dan dua mucikari yang memasarkan jasa melalui media sosial. Sebab merekalah yang dapat dijerat pasal-pasal dan layak mendapatkan hukuman.
Harusnya mereka itu diberitakan sama hebohnya, atau Vanessa Angel diberitakan sama sedikitnya dengan mereka. Harusnya mereka juga disebut namanya sejak awal, tak perlu pakai inisial dan mukanya tak usah ditutupi. Harusnya. Idealnya.
Sayangnya ini bukan dunia yang ideal, Darling.
Seberapapun kami para pekerja media entertainment ingin memberitakan dengan seimbang, kami masih punya atasan. Mereka tidak mungkin memberi tugas pada kami untuk menulis artikel soal undang-undang yang dapat dipakai untuk menjerat mucikarinya.
Selain karena memang media entertainment yang sesuai namanya, menyoroti dunia hiburan, bahasan soal hukum seharusnya diambil oleh media news—yang sayangnya, kini juga lebih banyak menyoroti Vanessa Angel dari sisi personalnya, bukan dari sisi hukum.
Kenapa bisa begitu?
Ya karena media online, seperti yang kalian juga tahu, butuh klik, pageviews, traffic yang besar. Apalah arti sebuah nama sebuah media yang besar kalau kliknya kecil, begitu kata seseorang kepada saya.
Kalau saya tidak salah ingat, Puthut EA dalam salah satu esainya di buku Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok bahkan menutup tulisannya—dengan bercanda—seperti ini: ….ya, saya nggak peduli. Saya hanya peduli pada ranking Mojok di Alexa.
Alexa itu situs gratis untuk melihat peringkat media di seluruh dunia. Jadi Mojok yang tampak idealis saja juga peduli pada ranking di Alexa, apalagi media-media arus utama dan media entertainment yang memang murni diciptakan untuk mengejar ranking itu?
Makanya, kami para pekerja entertainment, mau tidak mau harus menulis tentang Vanessa Angel, dari semua yang berhubungan dengan kasus terbarunya hingga yang sama sekali nggak berhubungan.
Apa? Kamu minta contoh lagi? Baiklah, yang berhubungan dengan kasusnya, contoh yang tadi di atas. Yang tidak berhubungan selain kamu dan dia:
Deretan Mantan Kekasih Vanessa Angel Sebelum Terlibat Kasus Prostitusi Online
Apa? Kamu ingin judul yang clickbait? Baiklah.
Sebelum Terjerat Kasus Prostitusi Online, Ternyata Vanessa Angel Pernah Lakukan Ini!
“Ini” bisa merujuk kepada apa saja: liburan ke Bali, beli baju baru, naik pesawat, koprol, you name it, anything.
Oh iya, sekalian nih meskipun agak melenceng. Kami Saya juga sebenarnya males banget bikin judul yang clickbait. Apalagi kalau sampai masuk ke Twitter @ClickUnbait. Alhamdulillah, tulisan saya belum pernah masuk karena saya benar-benar menghindari judul clickbait.
Konsekuensinya, perolehan pageviews saya lebih sedikit dibandingkan teman-teman yang lain yang artikelnya pernah masuk @ClickUnbait. Ini juga pernah saya bahas di tulisan yang tayang di Mojok: Serba Salahnya Melakoni Pekerjaan yang Tidak Mantu-able.
Konsekuensi lanjutannya, disuruh bikin judul clickbait atau kejar yang lagi viral. Sekarang, yang lagi viral ya siapa lagi kalau bukan Vanessa Angel?
Kalau buat para aktivis media dan perempuan, kami dianggap salah dan berdosa karena memojokkan Vanessa Angel dengan pemberitaan yang berlebihan demi jumlah klik semata, itu belum apa-apa.
Kami akan dianggap salah dan berdosa oleh atasan jika tidak menulis artikel soal Vanessa Angel. Sudah lihat, kan, dilemanya?
Bisa-bisa sampai ditegur langsung, lho, kalau nggak menulis soal Vanessa Angel.
Teman saya, seorang lulusan Jurnalistik pernah mengatakan bahwa dosennya semasa kuliah sudah mewanti-wanti kepada mahasiswanya, “Jika nanti setelah lulus, kalian bekerja di media entertainment, jangan berani-berani menyebut diri kalian ‘jurnalis’.”
Tidak ada jurnalis yang bekerja di media entertainment. Sebab, media entertainment juga bukan media. Apalagi yang sumbernya bukan liputan langsung. Kata dosen itu.
Sampai detik ini, teman saya selalu menghindari acara alumni atau pertemuan dengan dosennya, karena rasanya “nggak punya muka” kalau harus bertemu dengan dosen atau teman-temannya yang bekerja sebagai jurnalis betulan.
Sementara di tempatnya bekerja, ia sudah membuat judul-judul canggih yang memancing klik dan berita-berita yang sama sekali nggak berkiblat ke ilmu yang pernah ia pelajari di bangku kuliah.
Bagaimana nasib pekerja yang seperti saya? Yang bekerja di media entertainment, tapi ogah memberitakan Vanessa Angel dari segi manapun selain penangkapan mucikarinya? Ya, tinggal tunggu waktu evaluasi saja, atau resign sebelum waktu evaluasi tiba.
Tentu saja saya tidak bermaksud membenarkan tindakan media entertainment (termasuk penulis yang berlebihan memberitakan Vanessa Angel dan kasus prostitusi online dari kacamata selain hukum), tidak. Saya, dan mungkin pekerja media entertainment lainnya justru ingin meminta maaf karena harus menulis hal-hal seperti itu.
Maaf, belum bisa menulisnya lewat cara pandang objektif. Maaf, tulisan kami sama sekali tidak atau kurang mendidik pembaca.
Sebab, kalau tidak menulisnya dengan framing yang sesuai kemauan tempat kami bekerja, kami harus cari kerja lagi, yang kita tahu butuh waktu lama, mungkin sampai kasus prostitusi online mereda.
Sebagai penutup dan tambahan gambaran dilema yang dihadapi pekerja media entertainment di saat-saat seperti ini, saya mau menuliskan sebuah saran yang pernah diberikan seseorang kepada saya (yang menolak bikin judul bombastis atau pemberitaan yang kurang entertain):
“Idealismenya dipinggirkan dulu, ya? Idealismemu sementara dialihkan ke traffic. Karena kadang-kadang traffic itu yang bisa kasih makan idealismu.”