MOJOK.CO – Justru karena Jokowi manusia dan memiliki kesempatan berbuat salah, cebong harusnya hadir mengritik, mengingatkan, bukan malah kasih puja-puji tanpa henti.
Pesta kemenangan baru saja usai, dan sebagian cebong garis selow ternyata telah bertransformasi punya sayap di tubuhnya. Secara alamiah hal itu memang tak bisa dihindari, spontaneous mutation alias perubahan genetika semacam ini memang sedang menjangkit cebong jenis ini.
Lah masa Jokowi sang panutan ketemu Prabowo saja langsung koyak hatinya, selow boleh tapi jangan polos, dong!
Sebagian dari mereka memang memiliki hati yang benar-benar lembut dan gampang luluh, sebagian lain tidak memiliki perangkat syak wasangka ke Pakde sedikitpun. Saat kebijakan Jokowi ada yang blunder mereka akan tetap selow. Mungkin bagi cebong jenis ini, Presiden saat ini dijabat oleh manusia yang tak luput dari salah dan dosa.
Padahal, justru karena Jokowi manusia dan memiliki kesempatan berbuat salah, kita harus hadir mengingatkan dan mengetuk pintu hatinya, bukan malah abai dan bodoamat. Masa gitu aja nggak paham sih?
Saat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengumumkan bahwa telah terjadi 410 konflik agraria selama 2018, misalnya. Mereka tetap membela Jokowi sampai titik darah penghabisan dan bertahan dalam benteng “Reforma Agraria belum tuntas, selow sedikit dong”. Walau enggan membedah apakah itu pure reforma agraria.
Duh, mau sampai kapan? Selama 4 tahun Pemerintahan Presiden Jokowi telah terjadi sedikitnya 1.769 konflik agraria. Cakupannya luas pula. Bayangkan 807.177,6 hektare wilayah dan sekitar 87.568 kepala keluarga terlibat. Gini kok kalian nggak ikut-ikutan ngambek, sih?
Jangan bilang hanya karena salah satu dari kalian bukan korbannya secara langsung? Sungguh, itu adalah perbuatan selemah-lemahnya cebong.
Saat Faisol Abod Batis ditangkap atas tuduhan “mengunggah konten SARA serta ujaran kebencian” hanya karena menyebarkan rekam jejak konflik agraria tadi, kok kalian malah fokus terbang-terbangan dengan sayap baru, heh?
Kalaupun memang Pemerintahan Jokowi tidak melakukan seperti yang dituduhkan (terutama dengan data-data yang disajikan Faisal), apa susahnya sih melakukan klarifikasi?
Bahkan gara-gara ditangkapnya Faisal, saya sampai tidak berani memaparkan data-data korban kekerasan konflik agraria di era Pemerintahan Presiden Jokowi sepanjang 2015-2018.
Ya gimana dong? Kalau nanti saya memaparkan data di sini, nanti saya dianggap melakukan ujaran kebencian, dianggap menghasut rakyat, dianggap memprovokasi buat benci sama Pemerintah. Wah, bisa ditangkap saya. Ya ogah saya, cuma nulis esai honor kecil begini aja kok taruhannya kebebasan.
Tapi yang lebih bikin saya kepingin ngambek sebagai pendukung Pakde adalah, kok ya tak ada satupun cebong mau menaruh empati ke mereka yang jadi korban dari konflik agraria? Jangankan memberi sedikit empati, menolehkan pandangan saja tidak.
Duh, kalian ini padahal hanya menjadi korban ilusi atas toleransi semu. Peduli akan perdamaian cebong-kampret, itu tidak lebih toleran dari memberi welas asih kepada korban konflik agraria. Atau jangan-jangan indikator damai dan toleran kalian hanya sebatas itu?
Padahal saat musim kampanye lalu, kita—cebong garis kritis dan selow—menepuk dada begitu keras, bahwa Pakde adalah satu-satunya calon presiden yang tidak memiliki irisan dengan dosa masa lalu Orde baru. Beda dengan kubu sebelah yang aroma-aroma orde barunya sungguh menyeruak.
Kita semua sadar tuh, anak Soeharto, mulai dari Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto (Sigit), Bambang Trihatmodjo (Bambang), Siti Hediati Harijadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy) hingga Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) adalah formasi lengkap cendana di Partai Berkarya—yang adalah bagian dari koalisi kubu tetangga.
Bahkan Mbak Titiek, melalui akun twitter pribadinya, tanpa tedeng aling-aling blak-blakan saja bakal membawa Indonesia pada era keemasan seperti era bapaknya dahulu.
Tetapi ketika Pak Asrul Sani, Wakil Ketua Tim Kemenangan Nasional, tak setuju pada keinginan Mbaknya, kita turut senang dan berbahagia. Orang-orang yang hadir di Rumah Joang 45 pada akhir tahun 2018, juga turut mendeklarasikan menolak Orde baru dan Prabowo.
“Kami merasa perlu menyingsingkan lengan baju, kami ingatkan rakyat dan elite politik untuk tidak sekali-kali kembali kepada Orba,” kata Mas Bernard Haloho.
Anjay, terdengar gagah, bukan? Kalau saya hadir waktu itu, sudah barang tentu akan nyaut “Ahsiaaaaaaaaap….”
Pada titik ini kita masih satu koridor. Masa lalu yang kelam mempersatukan kita lewat cara yang begitu romantis. Betapapun, dalam pikiran kita saat itu, Jokowi—bisa dibilang—jadi satu-satunya figur yang dapat membawa iklim demokrasi menjadi lebih baik.
Padahal nih ya, tidak ada jaminan juga Pak Prabs lebih buruk, hanya karena blio pernah terlibat dan masuk dalam circle “itu” aja sih.
Tapi namanya juga jaga-jaga. Jika mendung belum tentu hujan, Prabowo belum tentu Neo-Orba, maka Pakde adalah payung yang melindungi kita berdua dari derasnya air dan totalitarianisme, Dik.
Akhirnya kita harus berselisih paham, kami memilih untuk ngambek dan kalian tetap selow.
Bagi kami, Pakde Jokowi sudah berubah. Blio tak seperti dulu. Jokowi yang nggak serius-serius amat alias cuek terhadap penanganan konflik agraria. Apalagi sampai menahan orang yang melempar sentilan kritik. Duh, sungguh membuat hati saya ini terkikis, Dik.
Padahal kita ini merupakan korban komunal yang dicuekin pas lagi sayang-sayangnya, pas lagi menang-menangnya. Kok kalian bisa sih tetap santai begitu sambil ongkang-ongkang kaki?
Di sisi lain, ketakutan kita terhadap pemerintahan yang otoriter ala-ala Orba itu, justru secara tersirat muncul pada tubuh Pakde lho belakangan ini.
Jika tak percaya, sila baca analisis Tom Power dari Australian National University (ANU) dalam sebuah tulisan berjudul Jokowi Authoritarian Turn, di situs New Mandala.
Intinya, Jokowi punya indikasi untuk mengembalikan watak pemerintahan otoriter dengan manuver politiknya selama menjabat. Tom Power menuliskan tiga alasan, yang salah satunya adalah pembatasan organisasi masyarakat sipil melalui Perppu Ormas. Salah duanya kalian baca sendiri, biar kalian nggak selow melulu.
Tapi, bukan cuma itu yang bikin saya ngambek sama Pakde. Semakin lama, orang yang kritis bisa jadi takut kalau apa-apa main lapor, main tahan, Dikit-dikit lapor, dikit-dikit ujaran kebencian, dikit-dikit UU ITE, dikit-dikit tahan.
Selain ngambek pada Pakde, saya juga ngambek sama kalian, kawan-kawan seperjuangan. Bukan, bukan karena kalian sekarang bersayap, itu bebas-bebas saja lah, toh semua orang akan senang seandainya bisa terbang tinggi ke angkasa.
Saya ngambek karena kalian sebagai pendukung Pakde Jokowi enggan introspeksi diri. Enggan untuk peka lebih tepatnya. Lalu dengan lagak polos bertanya, “Lah, memang salahku apa?”
Ya, kita akan jadi sama-sama salah kalau Pakde sampai bikin kebijakan ngawur tapi kita nggak mau bilang dia lagi ngawur.
Oleh karena itu, selagi kalian masih selow, saya secara pribadi ingin menyeru, “Cebong garis kritis sedunia, bersatulah! Kita butuh Pakde yang lebih baik lagi.”