MOJOK.CO – Jokowi menjanjikan revisi UU ITE, tapi bawahannya omongnya beda-beda. Dari pedoman interpretasi sampai minta DPR yang merevisi. Lah?
Baru-baru ini kabar yang membahagiakan diembuskan bertubi-tubi oleh Presiden Jokowi. Mula-mula blio—tanpa diduga sebelumnya—ujug-ujug meminta rakyatnya untuk mengkritik kebijakan pelayanan pemerintah yang “sembrono”.
Rakyat kemudian masih tidak yakin, dan menabrakkan hal itu dengan UU ITE. Gimana mau kritik kalau masih ada jurus auman singa pejabat dalam bentuk UU ITE?
Lalu bak seorang pemimpin yang dicintai pendukungnya, Jokowi akhirnya tak mau membuat orang kecewa atas pernyataannya sendiri. Setidaknya, supaya rakyat nggak merasa kena jebakan betmen, akhirnya Jokowi pun pengin UU ITE agar direvisi.
Hal itu disampaikan blio saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara Senin lalu, dan terpancar melalui twit di akun @jokowi.
“Belakangan ini sejumlah warga saling melapor ke polisi dengan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Saya memerintahkan Kapolri lebih selektif dalam menyikapi dan menerima laporan seperti itu. Pasal-pasal yang multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati.”
“Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika dan produktif. Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.”
Banyak orang yang menyambut baik twit itu. Paling tidak dengan revisi UU ITE, Jokowi sedikit punya cara untuk melindungi rakyatnya, terutama golongan kritikus dari jeratan hukum. Atau ya mungkin sekadar supaya pernyataan rakyat harus kritik pemerintah dari blio nggak sia-sia.
Saya tidak njug percaya dengan twit Jokowi. Akhirnya saya pun mengubek-ubek internet untuk mencari informasi. Kira-kira apakah itu sebatas pidato Jokowi, ataukah memang pemerintah serius mau merevisi UU ITE.
Ealah… saya kok nggak menemukan pernyataan Pemerintah, mulai staf kepresidenan atau menteri yang bilang serius mau merevisi UU ITE. Oke, mungkin saya yang kurang mahir googling. Tapi jujur saja, yang saya temukan itu justru konon revisi ini masih dalam pembicaraan rencana.
Dari situ saya teringat kredo yang pernah dibilang Agus Mulyadi. Begini: cara melihat kondisi negara adalah kebalikan dari apa yang dikatakan Jokowi. Buntutnya saya pun ragu dan lebih memilih untuk tidak terlalu senang atas rencana revisi UU ITE.
Syahdan, saya pun meluapkan ketidakbahagiaan saya atas rencana revisi UU ITE di sebuah tulisan di Terminal Mojok. Pagi, saat saya menulis ini, tulisan itu tayang. Belum genap 24 jam, tulisan saya yang tayang sekitar pukul 7 pagi kemarin itu terbukti.
Siang hari saya dapat informasi kalau ternyata Pemerintah belum mau merevisi UU ITE, tapi memilih untuk merepresentasikan secara resmi agar bisa jadi pedoman interpretasi.
Saya sendiri nggak mudheng ini, kenapa dari revisi berubah ke pedoman interpretasi?
Padahal dua kata ini di KBBI saja sudah berbeda jauh maknanya. Singkatnya, representasi ini semacam pedoman untuk Polri dalam menangani kasus. Katanya sih biar penafsiran dan interpretasinya jelas dan nggak sembarangan menindak pelaku.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Jhonny G. Plate, mengatakan bahwa Pemerintah menggeser isu revisi UU ITE ini ke ranah interpretasi ketentuan dalam undang-undang tersebut. Katanya, pedoman interpretasi ini akan dibuat oleh Mahkamah Agung, kepolisian, dan kejaksaan.
Btw, kalau sekadar bikin pedoman menafsirkan pasal, dan yang buat itu orang-orang Pemerintah juga, apa nggak sama aja bo’ong? Maksud saya, toh pejabat-pejabat negara itu sendiri yang kerap memanfaatkan UU ITE buat mengkriminilasasi masyarakat yang suka protes.
Masih di sumber sama, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro justru melemparkan bola tanggung jawab revisi UU ITE ini ke DPR. Mempersilakan DPR agar segera melakukan revisi UU ITE.
Lho, ini gimana sih? Kok jadi kayak main ping-pong? Yang janji siapa, yang suruh menepati janji siapa?
Jokowi bilang mau merevisi, tapi kok bawahannya malah ada yang bilang pedoman interpretasi, ada yang bilang pihak lain (baca: DPR) yang diharapkan merevisi? Apa mungkin pembantu-pembantu presiden ini nggak bisa memahami yang dimaksud Jokowi?
Ah, tapi saya rasa nggak mungkin. Hawong blio-blio ini orang dekat Jokowi. Jadi seruwet apa pun kalimat yang terlontar dari mulut Jokowi, seharusnya bisa dipahami anak buahnya. Bukan begitu, Kisanak? Lagian ini kan urusan negara, bukan urusan iuran studi tur.
Namun yang puyeng bukan Jokowi, Juri, atau Jhonny, melainkan saya dan mungkin warga se-Indonesia. Lha gimana ya, hawong dari atasnya saja sudah beda-beda gini, bagaimana rakyat mau paham gaya komunikasi yang begitu “bhineka-tunggal-ika” ini?
Pemerintah ini ibarat ayah yang janji mau membelikan laptop buat anaknya kalau rangking satu. Tapi setelah si anak rangking satu, ayahnya malah ubah janji cuma mampu beliin kalkulator. Dan di waktu kita udah nerima cuma dibeliin kalkulator, kita disuruh minta duitnya ke ibu. Ealah, nggak habis pikir saya.
Kalau misalkan alasannya undang-undang adalah produk bersama Pemerintah dan parlemen. Ya mestinya bukan cuma DPR dong yang bisa mengusulkan? Pemerintah, dalam hal ini Jokowi juga bisa kok.
Memang produk undang-undang itu setahu saya masuk Prolegnas dan itu urusannya DPR. Tapi kalau nunggu DPR yang ngusulin revisi UU ITE, ya itu boleh jadi kayak nunggu Liverpool juara Liga Ti-Phone. Udah kelamaan, agak mustahil lagi.
Toh sebelum-belumnya, Pemerintah pernah mengusulkan RUU ke DPR juga kok. Kita tentu ingat momentum awal Jokowi terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya. Pada waktu itu, Jokowi ingin sekali memangkas aturan yang merepotkan investasi.
Singkat cerita, terciptalah beberapa RUU, termasuk RUU Cilaka, yang tersusun dalam satu payung, diberi nama Omnibus Law.
Jika ingatan saya tidak berkhianat, usulan itu dari Jokowi lho—atau setidaknya dari pihak Pemerintah. Bahkan draft-nya itu dirampungkan oleh Pemerintah sendiri. Setelah itu, wushhh… DPR RI rapat, dikebut hingga malam hari.
Dan woila! Akhirnya Omnibus Law yang awalnya diusulkan Pemerintah walhasil disahkan DPR-RI.
Omnibus Law sendiri kelak terekam dalam sejarah, kumpulan RUU yang dibahas dan disahkan secara cepat, terukur, dan sistematis walaupun belum tentu akurat. Dari pengalaman Omnibus Law ini, sebenarnya kalau niat mau merevisi UU ITE, Pemerintah bisa saja memberikan usulan draft-nya kan?
Misalnya revisinya dimulai dengan menghapus pasal-pasal karet di UU ITE. Atau pasal-pasal yang di kemudian hari berpotensi membatasi kritik yang dikehendaki Jokowi. Setelah itu baru deh diusulkan ke DPR-RI.
Namun ya mau gimana lagi, Pemerintah tetaplah Pemerintah. Ke-mencla-mencle-an telah berhasil dibudidaya dengan baik dalam benak Pemerintah kita, termasuk perkara revisi UU ITE. Sudah tradisi yang cukup bisa dimaklumi rakyat karena udah kayak makanan sehari-hari.
Lalu kalian yang ambil start untuk bersuka cita menyambut revisi UU ITE, bahkan sampai bikin analisis ini-itu begitu mbulet, saya hanya mau mengucapkan satu kalimat selamat doang.
Selamat ya! Keinginan merevisi pasal karet akhirnya dikabulkan Pemerintahan Jokowi…
….
…etapi bo’ong.
Hihi.
BACA JUGA Ironi Jokowi saat Bilang Rakyat Kudu Berani Kritik, Padahal Ada UU ITE dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.