Semua orang bisa jadi liar, bukan cuma penonton dangdut koplo dan fans NDX & Guyon Waton
Untuk kasus festival di Tangerang kemarin, memang jelas tampak nyata dan tak bisa dimungkiri, bahwa penontonnya adalah mayoritas penggemar dangdut koplo. Karena sudah sangat jelas yang tampil adalah artis dangdut, NDX dan Guyon Waton.
Massa yang melakukan perusakan dapat diduga adalah mayoritas penonton dangdut koplo. Yah, entah apakah disusupi pihak lain (bukan penonton yang membeli tiket) atau oknum massa. Tapi sialnya, citra penonton dangdut koplo ngamuk terlanjur makin melekat gara-gara kasus itu.
Kendati demikian, tidak adil jika selera musik (dangdut koplo) dituduh sebagai satu-satunya penyebab kisruh, atau menjadi faktor tunggal. Sangat gegabah dan dangkal dalam pemikiran jika memfitnah bahwa, “Cah dangdut koplo kuwi nek nonton konser mesti kisruh.”
Sungguh tidak bijak menilai dan men-generalisasi bahwa penggemar dangdut koplo itu SDM-nya rendah, mabukan, cah ndeso kampungan, cah gembeng berhati rapuh tapi ngamukan. Stereotyping macam ini memang telah tertanam di kepala netizen indonesia.
Dan, mau tidak mau, jadi stigma negatif yang mesti dihadapi dengan besar hati oleh kawan-kawan musisi dangdut koplo seperti NDX dan Guyon Waton. Mengubah persepsi masyarakat itu susahnya minta ampun. Sejarah pertunjukan dangdut yang (memang harus diakui) kerap kisruh itu kemarin diperparah oleh amok di Tangerang.
Jika tuduhan bahwa konser yang ricuh cuma disematkan ke “cah dangdut koplo”, maka pendapat itu langsung dapat dipatahkan. Pada kenyataannya, beberapa konser musik genre lain juga pernah mencatatkan sejarah buruk kekacauan. Ingat kan, konser Metallica di Jakarta tahun 1993 yang berujung kisruh juga?
Collective mind yang tidak rasional
Anda mungkin masih bisa menyalahkan bahwa anak dangdut koplo dan anak metal sama-sama SDM rendah. Lantas, bagaimana dengan konser genre yang lebih “halus” seperti konser Bring Me The Horizon tahun lalu yang berakhir dengan perusakan alat-alat band dan barang-barang vendor juga?
Jika penonton dari kaum kaya (karena tiketnya lebih mahal) diasumsikan SDM-nya lebih tinggi, harusnya mereka tidak melakukan perusakan kan? Tapi, ternyata, yang terjadi sama saja dengan tuduhan kepada para penonton dangdut koplo, khususnya dalam kasus ini, fans NDX dan Guyon Waton.
Yang bermasalah itu bukan tentang genre musiknya. Tapi, barangkali memang benar teori yang mengatakan bahwa massa yang berkerumun lebih mudah melakukan tindakan irasional dan terprovokasi.
Seorang pakar psikologi kerumunan bernama Williams McDougall, mengatakan bahwa massa yang tersulut emosi kemarahan itu dihinggapi collective mind yang tidak rasional. Jika memakai teori sosiologi klasik Gustave Le Bon, dijelaskan bahwa massa bisa berperilaku seperti hewan liar.
Dalam crowd theory, Gustave mencetuskan pengaruh kelompok kerumunan akan menyebabkan individu lain memberikan reaksi yang sama. Individu akan bersikap seperti kelompoknya. Meskipun sebenarnya seseorang itu mempunyai sifat dan sikap berbeda ketika sendiri atau tidak dalam kerumunan.
Gejala sosial pengeroyokan maling
Kasus amok massa di pertunjukan musik ini mirip dengan gejala sosial pengeroyokan maling. Mungkin saja para penganiaya secara tidak sadar hanya terbawa suasana “bersama”. Ya sekadar ikut-ikutan. Padahal kalau sendirian dalam keseharian mereka jauh dari sikap brutal.
Atau mirip gejala di jalan raya saat rombongan motor pelayat yang maunya menguasai jalanan. Sama juga dengan rombongan suporter bola yang urakan konvoi. Mirip juga dengan geng klithih, yang mungkin saja mereka bila berkendara sendirian sebetulnya santun dan tertib.
Berpijak dari pemikiran itu, maka tuduhan kepada penonton dangdut koplo, khususnya fans NDX dan Guyon Waton, selalu berperangai brutal dapat disanggah. Karena siapa saja (tanpa memandang tingkat SDM) yang berada dalam kerumunan, dan terpercik oleh api kemarahan, bisa jadi berperilaku brutal.
Kita ambil saja contoh kasus tawuran antar-anggota dewan yang terjadi di ruang sidang. Sering, kan, kita lihat mereka sampai baku hantam, berperilaku liar bagai hewan. Padahal semestinya kaum ini dianggap sebagai massa terhormat, SDM tinggi, representasi kesantunan sebuah negara.
Semua orang bisa jadi perusak, bukan hanya fans dangdut koplo dan NDX & Guyon Waton
Jika masih ngotot menuduh bahwa massa yang beringas hanya terjadi di negara berkembang seperti negeri kita ini, yang sering diolok-olok sebagai bangsa IQ 78, lantas bagaimana dengan amok kerumunan suporter bola seperti hooligans di Eropa sana?
Bule, apalagi bule Eropa, sering diglorifikasi sebagai bangsa dengan peradaban paling maju di planet ini. Namun, apa yang terjadi saat mereka berkerumun? Sama saja.
Mereka mudah juga terprovokasi dan berlaku primitif. Lihat saja aksi perkelahian suporter di gelaran EURO 2024 ini. Di Jerman, yang dianggap sebagai negara maju di Eropa, ternyata kerumunan bule-bule itu gelut dan merusak juga.
Bukankah lalu dapat disimpulkan bahwa permasalahannya bukan di selera musik, bukan tentang SDM dari negara berkembang? Akan tetapi semua manusia yang berkerumun cenderung punya peluang untuk ngamuk menjadi perusak pula.
Mungkin ulasan di atas dianggap menyematkan pembelaan pada penonton dangdut koplo, NDX, dan Guyon Waton. Mereka tidak salah dalam konteks profesionalisme bisnis pertunjukan. NDX dan Guyon waton kemarin hanya sedang ketiban apes.
Apes kuwi ora nganggo kalender, bisa terjadi kapan saja. Meskipun sekali lagi, harus diakui bahwa penggemar merekalah yang kemarin dituduh masyarakat sebagai perusak. Ya, itulah konsekuensi yang mungkin pahit, tapi harus ditanggung.
Perlu mulai memikirkan komunikasi di media sosial
Saya tidak mau mengulik lebih lanjut tentang kebijakan manajemen NDX dan Guyon Waton, atau band lainnya. Khususnya yang memang punya aturan manajemen tersendiri tentang klausul “kalau belum lunas tidak mau pentas”. Itu hak setiap band untuk menerapkan sistemnya masing-masing.
Jika boleh sekadar memberikan saran, kepada band-band yang berpotensi mengalami kejadian seperti ini, jika keadaan seperti ini terjadi (semoga saja tidak lagi), alangkah baiknya strategi komunikasi di media sosial dari masing-masing band itu bahasanya “dipoles” sedemikian rupa. Ya biar tidak memancing kerusuhan penonton dangdut koplo dan genre musik lainnya.
Mungkin saja sesederhana posting imbauan ke massa pendukung agar tidak melakukan tindakan yang agresif. Jadi tidak hanya posting seolah “cuci tangan” menyatakan bahwa panitia bapuk, tapi mengkondisikan agar penggemarnya tetap tenang.
Kita harus sama-sama belajar legawa. Bahwa ternyata, dampak dari panitia yang kacau, tidak hanya merugikan band, tapi menjalar sampai ke korban lain yang berada di ekosistem seni pertunjukan.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jenis-jenis Penonton Dangdut Koplo Dari Gaya Joget Dan Goyangnya dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.