MOJOK.CO – Wacana menyewa Tanah Kas Desa menggunakan Danais seperti angin segar untuk orang miskin Jogja. Namun, wacana ini sebetulnya bermasalah.
Kurang lengkap bicara Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) kalau belum bicara masalah hunian. Apalagi dengan krisis hunian yang sedang mengancam generasi muda. Sudah harganya mahal, masih ditambah perkara legalitas yang berbenturan dengan Sultan Ground (SG). Ibarat game Minesweeper, kita harus hati-hati saat mencari dan membeli tanah. Itu saja kalau ada duitnya.
Krisis ini bukan barang baru di Jogja. Namun pandemi membuat krisis hunian makin nyata. Seperti bom waktu, ia menanti momen untuk meledakkan mimpi warga Jogja bisa hidup nyaman. Dhuar, bom itu mulai meledak dengan harga properti yang gila-gilaan. Tanah yang 10 tahun lalu seharga ratusan ribu kini sudah 2 kali upah minimum Jogja.
Akhirnya muncul berbagai desakan untuk menjawab krisis hunian ini. Bukan hanya perkara harga yang mahal, tapi perbandingan dengan daya beli masyarakat Jogja. Akhirnya Pemerintah Jogja merespon dengan satu solusi yang menarik tapi juga unik: masyarakat bisa menyewa Tanah Kas Desa menggunakan Dana Keistimewaan (Danais).
Perkara Danais dan Tanah Kas Desa di Jogja
Solusi yang ditawarkan ini memang sangat menjanjikan. Masyarakat miskin desa bisa menyewa tanah kas desa sebagai hunian tanpa perlu keluar uang. Biaya sewa ditanggung oleh Dana Keistimewaan (Danais). Solusi ini seperti menjawab 2 kritik sekaligus.
Pertama, Danais dinilai tidak pernah dirasakan masyarakat miskin. Penggunaannya berfokus pada urusan kebudayaan saja. Padahal, masyarakat juga bagian dari budaya tersebut. Sudah banyak protes yang menyoroti Danais sebagai dana pesta pora semata. Paling banter hanya jadi dana hibah untuk mempercantik pusat pariwisata.
Kedua, banyak yang memandang kalau Tanah Kas Desa juga tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Terutama setelah penyelewengan Tanah Kas Desa menjadi hunian. Selain itu, Tanah Kas Desa juga lebih banyak disewa investor demi keuntungan pribadi. Dana sewa yang masuk juga dinilai tidak maksimal dimanfaatkan bagi masyarakat.
Dengan solusi tadi, Tanah Kas Desa dan Danais bisa memberi manfaat langsung. Tentu skemanya belum dipaparkan dan sudah pasti ruwet. Namun apa benar solusi ini mampu menjawab masalah hunian warga Jogja?
Baca halaman selanjutnya: Pada akhirnya yang miskin tetap menderita di Jogja.
Status tanah di Jogja yang simpang siur
Jika membahas Tanah Kas Desa, maka kita harus membaca UU Keistimewaan. Dalam Undang-Undang yang diperjuangkan dengan ancaman referendum, Tanah Kas Desa sejatinya milik Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Karena menurut sejarah, Tanah Kas Desa sejatinya adalah tanah nggaduh yang berstatus Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PG).
Maka, status ini akan menimbulkan hal unik. Berarti masyarakat miskin Jogja bisa menyewa SG dengan Danais yang juga dikuasai Kraton? Lho, bukankah lebih mudah dengan memberikan izin penggunaan langsung daripada dengan skema ini?
Tidak perlu membayangkan konspirasi atau “jangan-jangan” yang njelimet. Karena solusi krisis hunian memang bukan dengan menyewakan Tanah Kas Desa menggunakan danais. Ibaratnya, jauh panggang dari api.
Masalahnya bukan hanya tanah
Bayangkan skenario ini. Anda adalah orang miskin Jogja dengan penghasilan Rp1 juta per bulan. Anda juga tidak memiliki hunian dan harus mengontrak. Akhirnya, skema sewa Tanah Kas Desa ini muncul dan Anda bisa menyewa tanah dengan gratis. Pertanyaannya, bagaimana Anda membangun hunian di tanah sewa tersebut?
Nah kan, tiba-tiba muncul masalah baru. Sebagai gambaran, biaya bangun rumah per meter di Jogja ada di kisaran Rp2 sampai Rp3 jutaan. Ini hanya bangunan tegak payung ya, bukan rumah siap huni. Untuk rumah tipe 36 yang juga standar rumah subsidi, Anda butuh biaya Rp72 juta. Jika menabung Rp500 ribu per bulan, butuh 12 tahun untuk punya biaya bangun rumah tadi. Itu belum menghitung inflasi atau potensi krisis moneter di Jogja.
Selain itu, skema sewa tanah dengan Danais ini juga bermasalah di masa mendatang. Berapa lama si penyewa berhak tinggal di atas tanah tersebut? Apa bedanya rumah di tanah kas desa dengan mengontrak?
Pada akhirnya, mereka harus angkat kaki dari rumah tersebut jika waktu sewa tidak diperpanjang. Si penyewa tetap dalam situasi tidak aman perkara hunian. Belum lagi masalah kepemilikan bangunan. Apakah rumah mereka ikut lenyap bersama hak sewa yang tuntas?
Jika skema yang ditawarkan hanya sewa tanah gratis, tentu masih belum menjawab masalah hunian. Apalagi jika yang disasar hanya kelompok miskin desa sesuai BPS. Bagaimana dengan mereka yang tidak dianggap miskin, namun juga tidak bisa memiliki hunian?
Missing link tetap nelangsa
Salah satu kelompok yang mengalami krisis hunian kini dikenal dengan istilah missing link. Mereka tidak cukup “miskin” menurut definisi. Namun, mereka juga tidak mampu mengakses standar hidup layak. Misalnya, mereka yang bergaji UMR, tapi tidak punya privilese semacam mendapat warisan rumah.
Kelompok ini tidak mendapat subsidi karena tidak memenuhi syarat miskin. Namun, sayangnya, mereka juga tidak bisa hidup layak. Mereka hidup dalam kesenjangan sosial dan ekonomi, meskipun sering dianggap sebagai masyarakat ekonomi menengah di Jogja.
Kelompok ini tetap akan nelangsa meskipun ada solusi sewa tanah gratis ini. Karena mereka akan kesulitan untuk mengakses bantuan Danais. Apalagi wacana ini menyasar masyarakat miskin desa sedangkan mereka berdesak-desakan di pinggiran Jogja. Sedangkan mereka bukan warga asli desa tersebut atau perantau. Sekali lagi, jauh panggang dari api kan?
Solusi krisis hunian di Jogja memang tidak sederhana
Krisis hunian di Jogja memang kompleks. Perpaduan antara upah murah, mafia tanah, harga properti yang meroket, serta status tanah. Skema sewa Tanah Kas Desa dengan Danais jelas tidak menjawab sumber masalah hunian. Belum lagi masalah rasial, fasilitas umum, persebaran ekonomi, dan tumpukan masalah njelimet lainnya.
Solusi ini juga tidak menjawab masalah kelompok missing link yang tidak diidentifikasikan sebagai masyarakat miskin di Jogja. Juga tidak menjawab penguasaan tanah gila-gilaan oleh kelompok ekonomi atas. Seperti biasa, solusi yang ditawarkan terdengar manis. Namun seperti gula, manisnya sekejap di mulut saja. Sisanya ya diabetes.
Selama tidak ada kontrol kepemilikan lahan, harga properti akan terus meroket. Selama upah minimum tidak berdasarkan Kriteria Hidup Layak (KHL) sesuai realitas, masyarakat tetap sulit mengakses hunian. Solusi setengah matang yang ditawarkan hanya akan menjawab sejumput masalah hunian saja.
Tapi mau bagaimana lagi? Semua sumber masalah hunian sudah kelewat telat untuk dijawab. Kecuali dengan gebrakan yang pastinya menimbulkan polemik. Solusi tambal sulam hanya memberikan ketenangan sekejap bagi warga miskin Jogja, namun menutupi masalah sebenarnya. Tapi terima kasih untuk Sri Sultan dan Pemprov DIY. Sudah menawarkan solusi, meskipun bukan yang diharapkan.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Memahami Sultan Ground: Keistimewaan Jogja yang Ruwet dan Penuh Intrik dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.