Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Surat Terbuka untuk Ustaz Yusuf Mansur: Betulkah Kita Sedang Bela Islam?

Iqbal Aji Daryono oleh Iqbal Aji Daryono
13 Desember 2014
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ustaz Yusuf Mansur, saya mau tanya, apa orang nggak semakin takut, ngeri, dan jauh dari rasa simpati kepada Islam kalau caranya begitu?

Assalamualaikum, Ustaz Yusuf Mansur. Mohon maaf mengganggu, di tengah kesibukan Ustaz yang tentu berjejal-jejal itu. Semoga Ustaz sehat, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Ustaz Yusuf Mansur yang terhormat, hiruk pikuk beberapa hari terakhir mengingatkan saya akan sesuatu.

Dulu waktu masih bujangan, saya tinggal di kampung orang tua saya di Jogja. Kampung kami sangat islami. Masjid tak pernah sepi, pengajian dilangsungkan sering sekali. Pada hari-hari besar Islam, kami kompak bersama ketiga kampung tetangga. Tak terkecuali tiap kali takbiran keliling digelar menjelang Idul Fitri maupun Idul Adha.

Kami takbiran bukan macam orang-orang kota, Ustaz. Cukup berpawai jalan kaki membawa obor (atau kalau sekarang ya lampion), dengan sound system seadanya yang ditaruh di atas becak kayuh. Tapi semua tetap bersemangat mengikutinya, melantunkan takbir sekencang-kencangnya. Terutama… ketika melintasi jalan di depan sebuah rumah, yang selalu menjadi rute wajib kami.

Rumah itu milik sebuah keluarga yang beragama lain. Meski keluarga itu orang-orang baik dan tak pernah mengganggu kami, namun bagi kami mereka seperti duri dalam daging, mengurangi karakter islami perkampungan kami.

Maka, tiap kali pawai takbiran melintasi depan rumahnya, kami berteriak lebih kencang, tetabuhan kami pukuli lebih keras, dan, ah, bahkan kadang kami berhenti sesaat sambil meneriakkan kalimat-kalimat Allah sekeras-kerasnya.

Saya tak tahu, apa yang sebenarnya ada di hati dan otak kami waktu itu. Mungkin kami berharap dia mendapatkan hidayah Allah dengan cara-cara itu. Mungkin kami sekadar ingin pamer kekuatan dengan sikap begitu. Entahlah.

Yang jelas, seiring waktu, saya menyesalinya. Saya sedih melihat diri saya sendiri. Saya kadang membayangkan, apa yang dirasakan oleh keluarga itu, oleh anak-anak mereka, tiap kali malam takbiran tiba. Sesedih apa mereka dengan kondisinya? Sesakit apa hati mereka? Seberapa tebal perasaan sebagai orang yang “berbeda” menancap di hati mereka?

Dan sekarang saya bertanya-tanya, seberapa islami perbuatan kami itu? Seberapakah derajat ittiba’ kami pada akhlak agung Rasulullah SAW tercinta? Benarkah yang kami lakukan itu adalah berdakwah, atau malah jangan-jangan….

***

Ustaz Yusuf Mansur yang terhormat,

Kasus yang kemarin hangat di media mungkin ada kemiripannya dengan cerita saya di atas. Iya, betul, tentang aturan berdoa di sekolah-sekolah itu. Setelah membaca informasi mulai twit-twit Ustaz, hingga tabayyun dari Ustaz dan klarifikasi dari Pak Menteri Pendidikan, saya menelusur ke banyak teman yang anaknya sekolah di SD negeri.

Ternyata benar. Meski tak semua, banyak sekolah menerapkan tata cara itu. Membuka pagi dengan bersama melantunkan Al-Fatihah dan doa “Robbi zidni…”, dan menutup jam belajar dengan Surah Al-‘Ashr. Indah sekali.

Iklan

Indah, bagi yang muslim. Sebab, meski di tengah anak-anak itu ada murid non-muslim, berdoa ala Islam tetap dilakukan. Surah-surah dibaca keras, sementara di sudut-sudut beberapa anak terdiam.

Saya membayangkan, anak-anak yang masih polos itu pulang ke rumah, lalu bertanya ke orang tua mereka. 

“Ibu, kenapa semua teman di kelas berdoa dengan cara Islam? Padahal kan aku bukan Islam, Bu? Kenapa hanya mereka yang boleh berdoa dengan suara keras dan beramai-ramai? Kapan aku juga boleh lantang membaca doa? Bapak dan Ibu Guru menyuruh aku berdoa menurut cara kita. Tapi tetap saja aku cuma disuruh diam, berdoa dalam hati, setiap hari berada di tengah doa teman-teman yang keras sekali…”

Ah, Ustaz. Saya juga punya anak, umurnya masih 5 tahun. Entah bagaimana andai anak saya yang ada di posisi itu. Ia pasti akan merasa berbeda. Merasa dibatasi jarak tebal dengan teman-temannya. Merasa sepi. 

Dan, mereka masih anak-anak yang suci dan lugu. Lalu apa yang sebenarnya bisa kita harapkan dari semua itu?

Pasti banyak orang akan menjawab bahwa itu adalah pendidikan agama untuk anak-anak kita. Iya, saya setuju pendidikan agama penting untuk dikondisikan setiap waktu. 

Tapi bukankah masih ada pelajaran agama, masih ada musala di sekolah-sekolah, masih ada masjid-masjid dan TPA di kampung-kampung, masih ada ceramah-ceramah Islam di hampir semua stasiun televisi, masih ada orangtua mereka yang wajib memupuk akhlak islami anak-anak sejak dini?

Apa iya yang demikian itu harus di sekolah umum, sekolah negeri, sembari mengorbankan perasaan anak-anak yang berbeda, yang sesungguhnya hati mereka juga selembut hati anak-anak kita?

“Ini adalah hak umat Islam sebagai mayoritas! Jangan sampai kita dijauhkan dari nilai-nilai Islam!” suara-suara terdengar. Masya Allah, sekeras itukah kita?

Kepala saya acapkali pening dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu, Ustaz Yusuf Mansur. Kenapa kita di Indonesia selalu bersemangat memperjuangkan dan membela Islam hanya dari sisi eksistensial saja? Martabat, marwah, kehormatan, derajat kaum muslim yang harus lebih tinggi di depan orang-orang agama lain, pengakuan mereka akan keperkasaan kita, ruang-ruang publik yang harus kita dominasi, dan sebagainya dan sebagainya.

Alih-alih menjalankan agama dan “beragama”, rasanya kita kok jauh lebih giat dalam “memperjuangkan eksistensi agama”. Saya bingung, Ustaz. Bingung.

Dalam kasus kemarin, ketika ada indikasi cara berdoa mau disesuaikan biar lebih mengakomodasi murid-murid dari agama lain (meski kemudian dibantah oleh Pak Menteri), Ustaz Yusuf Mansur sendiri berkomentar bahwa ide begituan tak lebih dari sebentuk “alergi dengan Islam dan simbol-simbol Islam”.

Lantas muncul juga Ibu Wirianingsih dari PKS yang menyebut ide Pak Anies Baswedan sebagai “test the water”. Uji coba akan respons umat Islam, untuk menelurkan kebijakan-kebijakan anti-Islam. Jika umat tenang-tenang saja, kebijakan anti-Islam diterapkan. Jika terjadi keributan, yang melontarkan isu ngeles seenaknya.

Astaghfirullah, benarkah seorang Anies Baswedan anti-Islam? Dan benarkah ide untuk lebih menjaga perasaan semua anak didik (iya, mereka masih anak-anak lho, ustaz) adalah ide yang tidak islami? Benarkah ide untuk mengajari anak-anak kita agar bisa hidup berdampingan dan saling menjaga hati satu sama lain adalah ide yang tidak islami?

Jauh di atas itu, saya bingung, kenapa ya Ustaz, kok kita selalu menghidupi agama mulia ini dengan tumpukan-tumpukan rasa curiga dan syak-wasangka? 

Setiap saat yang kita lakukan adalah menegakkan kepala, menajamkan telinga, membuka mata lebar-lebar, waspada. Waspada. Awas, Kristenisasi di mana-mana. Awas, ada konspirasi untuk melemahkan umat Islam. Awas, kekuatan orang-orang kafir pelan-pelan sedang menjauhkan kita dari ajaran agama. Awas. Awas. Awas.

Ustaz Yusuf Mansur yang saya hormati, betulkah dengan cara penuh curiga itu kita sedang membela Islam? Apa bukan malah sebaliknya yang terjadi: orang semakin takut, ngeri, dan jauh dari rasa simpati kepada Islam?

Kadang saya berpikir, membela Islam semestinya tidak dilakukan dengan cara-cara macam itu.

Jika kita seorang muslim, bersikap baik kepada sesama makhluk Allah, murah senyum, anti-kekerasan, cerdas dalam pikiran dan perbuatan, menjunjung tinggi moralitas dan ilmu pengetahuan, berkontribusi positif bagi lingkungan, berspirit problem solver untuk banyak persoalan, lalu kita bangga dengan segala identitas keislaman kita.

Jika kita seperti itu, barangkali kita memang sedang membela Islam. Orang akan terpesona melihat keislaman kita, dan dari situlah Islam menemukan pembelaannya yang paling nyata.

Tapi, ah, tentu akan banyak orang mengatakan saya teracuni pikiran liberal. Sekuler. Lalu muncul tuduhan bahwa saya diam-diam sedang berusaha melemahkan Islam. Begitu, bukan?

Aduh, lagi-lagi saya bingung, Ustaz. Tambah bingung. Sudikah Ustaz Yusuf Mansur memberikan nasihat untuk saya?

 

Terakhir diperbarui pada 24 Februari 2021 oleh

Tags: Anies BaswedanIslamYusuf Mansur
Iqbal Aji Daryono

Iqbal Aji Daryono

Penulis dari Bantul. Lulusan Sastra Jepang, UGM.

Artikel Terkait

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid
Video

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid

30 Maret 2025
Dakwah Kreatif ala Miko Cakcoy Lewat Wayang, Jembatani Tradisi dan Agama di Era Modern
Video

Dakwah Kreatif ala Miko Cakcoy Lewat Wayang, Jembatani Tradisi dan Agama di Era Modern

15 Maret 2025
Makna Khodam dalam Perspektif Islam dan Kejawen
Video

Makna Khodam dalam Perspektif Islam dan Kejawen

3 Agustus 2024
mahasiswa surabaya kuliah di iran.MOJOK.CO
Kampus

Mahasiswa Asal Surabaya Nekat Kuliah di Iran, Rasakan Negara yang Dicap “Mengerikan” Ternyata Membuat Nyaman, Hidup Sebulan Modal 500 Ribu

30 April 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.