MOJOK.CO – Dalam kisah Peristiwa Malari, Ali Murtopo benasib apes. Berbanding terbalik dengan citra Jenderal Soemitro, yang digambarkan sebagai penentang Soeharto.
Ada banyak tokoh yang selalu dihubungkan dengan Peristiwa Malari (1974). Setidaknya peristiwa ini melibatkan dua entitas besar: aktivis gerakan mahasiswa dan sejumlah jenderal.
Untuk tokoh gerakan mahasiswa, tentu yang dimaksud adalah Hariman Siregar, legenda hidup yang tak ada habis-habisnya untuk dibahas. Namun kali ini kita sedikit rehat untuk membahas Hariman. Sedangkan dari tokoh militer, selalu merujuk pada dua nama: Ali Murtopo dan Sumitro.
Dari tiga nama tersebut, Ali Murtopo bernasib apes, karena dalam wacana Malari selalu dicitrakan sebagai tokoh antagonis. Soemitro yang juga jenderal, sedikit lebih baik posisinya.
Hal itu bisa terjadi, karena Soemitro dianggap (seolah-olah) sebagai jenderal yang berani melawan Soeharto, meski belum ada fakta valid mendukung asumsi tersebut. Meski demikian Sumitro sudah telanjur memperoleh simpati dari aktivis gerakan mahasiswa, bahkan bagi generasi usai Peristiwa Malari.
Apakah tidak ada ruang kebaikan bagi seorang Ali Murtopo?
Saya teringat pada sebuah acara di CSIS, ketika lembaga yang didirikan Ali Murtopo tersebut, sedang menggelar acara “Mengenang 20 Tahun Meninggalnya Ali Murtopo” (Mei 2004).
Ketika menyampaikan sambutannya, Yusuf Wanandi (salah satu pendiri CSIS juga), sempat menghentikan pidatonya, karena menahan haru dan sempat terisak sebentar. Yusuf Wanandi menyebut “Pak Ali Murtopo adalah pahlawan”.
Penghormatan Yusuf Wanandi pada Murtopo, bisa menjelaskan fenomena unik, bahwa hampir semua tokoh politik di negeri kita—khususnya figur militer—ibarat bulan separuh bayang.
Benar, wajah mereka seperti dua sisi, ada bagian gelap dan terang dalam waktu bersamaan. Kiasan itu bagi Ali Murtopo juga bisa bermakna, dia memiliki pemuja dan haters yang hampir sama banyaknya. Istilah haters memang saya pinjam dari fenomena media sosial sekarang.
Kiasan sisi “gelap” pada Ali Murtopo secara kebetulan juga sesuai dengan perjalanan kariernya, yang sebagian besar berdinas di bidang intelijen.
Justru sisi gelap Murtopo yang menarik perhatian saya, adakah lesson learn dari dirinya, yang aktual bagi generasi sekarang dan mendatang. Salah satunya adalah bagaimana ikhtiar Murtopo untuk meraih capaian yang sebagian sudah kita ketahui.
Ali Murtopo mencapai semua itu dengan keringatnya sendiri, tanpa ada bantuan dari orang tua. Baik generasi yang sudah lewat, terlebih generasi sekarang, tidak akan pernah tahu siapa orang tuanya.
Informasi soal latar belakang keluarga Ali Murtopo, sama gelapnya dengan pencitraannya selama ini. Sangat jauh berbeda dengan figur publik zaman now, yang umumnya kita tahu siapa orang tuanya.
Perjuangan hidup Ali Murtopo semakin mengesankan bila dihubungkan dengan realitas sekarang, ketika anak-anak elite negeri merengek-rengek mencari jabatan, dengan cara menumpang nama besar orang tuanya.
Memang benar Ali Murtopo ikut terangkat karier militer dan politiknya, karena dia masuk dalam inner circle Soeharto. Namun harus diingat Soeharto merekrutnya karena kemampuannya, bukan karena Soeharto melihat siapa orang tua Murtopo. Kebetulan saja Soeharto juga seperti itu—yang jadi orang besar—tanpa bantuan orang tua.
Hubungan yang demikian erat antara Soeharto dan Murtopo, juga bisa menjelaskan fenomena kekinian, yakni hubungan antara seorang elite politik dengan para bawahan atau pendukungnya.
Saya berani katakan, hubungan antara Soeharto dan Murtopo, selain dekat secara pribadi, juga memiliki nilai strategis. Baik Soeharto maupun Murtopo boleh disebut komandan tempur sejati. Sekadar mengingatkan, Murtopo adalah perwira generasi pertama dari satuan legendaris (Bataliyon Banteng Raiders), yang langsung dilatih (saat itu) oleh Ahmad Yani.
Artinya, Soeharto melihat potensi yang besar pada diri Murtopo. Sedikit perbandingan dengan Jenderal Sumitro, yang lebih dikenal sebagai perwira intelektual, yang mungkin tidak dimiliki Murtopo.
Bisa jadi Soeharto tidak terlalu butuh perwira tipe intelektual, sehingga Murtopo lebih terpilih. Dan Ali Murtopo sudah “membayar” lunas kepercayaan Soeharto dengan segala kemampuan yang dia miliki.
Tiga alinea terakhir tersebut menjelaskan, bagaimana model pola hubungan antara elite politik dengan para staf atau bawahannya hari ini, yang justru kembali ke model masa kolonial. Ketika bawahan atau staf terlalu patuh pada atasan.
Seperti mental birokrat pada masa penjajahan dulu, ketika pejabat pribumi sangat patuh dan begitu menghamba pada bule-bule elite kolonial. Ini sangat mirip dengan apa yang biasa kita lihat sekarang. Sang atasan terkena sindroma megalomania, sementara bawahan bermental cecunguk. Klop sudah.
BACA JUGA 44 Tahun Malari dan Catatan Tak Terurai atau tulisan Aris Santoso lainnya.