MOJOK.CO – Bagaimana cara menjadi orang Islam sejati? Bagi anak-anak pada suatu masa, bersunat adalah salah satu jalannya.
Jika kita percaya karya sastra selalu mengandung kepingan otobiografi penulisnya, bisa jadi Pramoedya Ananta Toer adalah seorang santri pada masa kanak-kanaknya.
Dalam cerpen “Sunat” yang terhimpun dalam kumpulan cerita pendek Cerita dari Blora, melalui tokoh “aku” Pram bercerita tentang masa kecilnya yang suka pergi ke langgar untuk mengaji.
“Tak ada kesenangan kanak-kanak yang begitu besar daripada ke langgar.” Meski apa yang dinamai mengaji itu tak lain adalah “bercanda-canda, berahasia-rahasia mempercakapkan masalah kejenisan, mengganggu orang yang bersembahyang magrib dan isa… itulah dunia kami di waktu aku berumur sembilan tahun.” Demikian menurut “aku”.
Lukisan Pram mengenai dunia masa kanak itu tepat sekali. Generasi yang melalui masa kanaknya hingga tahun 1980-an pasti mengenal dan sebagian besar mungkin melalui sosialisasi masa kecil dan pendewasaan diri di langgar.
Langgar menjadi salah satu situs bermain selain tentu belajar mengaji. Berangkat dan pulang sendiri pada pergantian sore dan malam. Sebelum era Taman Pendidikan Alquran (TPA) sekarang ini, demikianlah dunia anak-anak di kampung-kampung. Ya, meski kegiatannya hanya mengganggu orang bersembahyang dan beramai-ramai pergi ke masjid tiap Jumat, walaupun tak mengerti sepatah kata pun doa sembahyang, anak-anak tetap meyakini diri sebagai pemeluk agama Islam sejati. Keyakinan yang dipegang meski mereka juga menyadari rata-rata di antara mereka belum disunati.
Dengan demikian, disunat menjadi impian tokoh “aku” agar menjadi orang Islam yang betul-betul. Biasanya anak yang disunat di kampungnya berumur antara 8 hingga 13 tahun. Karena itu, ketika ayahnya pada suatu malam menawari “aku” dan adiknya untuk disunat, “aku” merasa bukan main takutnya. Tapi, karena ia mau menjadi “orang Islam sejati”, ia terima tawaran itu dengan berani sekaligus gembira.
Bukan semata ingin menjadi orang Islam sejati itu saja penyebab “aku” ingin dan berani disunat.
“… dan inilah yang paling penting di atas segala-galanya, kami mempunyai hak menempati surga seperti yang diajarkan oleh kiai kami. Kalau kami sudah disunati, kami kelak akan hidup senang di surga….” Demikian pengakuan “aku” dengan bersemangat.
Menjelang disunat, dengan segala kemeriahan upacara dan pakaian laksana pangeran, tokoh “aku” merasa pintu surga seperti telah terbuka di depannya dan para bidadari yang cantik menunggu seperti yang dijanjikan kiainya. “Aku” membayangkan cantik itu seperti Sriati, teman sekolahnya yang menjadi buah bibir.
Kiainya bilang, “Engkau akan mendapat bidadari empatpuluh orang.” “Aku” menjawab, ia tidak suka pada bibadari yang teteknya 6 atau 8 seperti tetek anjing. Mereka semua tertawa, lebih-lebih setelah Toto adiknya, mengatakan hanya ingin memancing di kali susu sehari-harian dengan bidadari.
***
Apa yang menarik dari cerpen ini bukan hanya informasi sosiologis-historis tentang bagaimana seorang anak melalui masa kecilnya di masa lalu, tapi juga apa yang anak-anak dapatkan dalam masa sosialisasi tersebut, yaitu janji keindahan surga.
Harus diakui bahwa surga-neraka merupakan bagian penting dari kepercayaan eskatologis Islam. Tetapi, cerpen ini juga sekaligus mengemukakan bahwa janji surga-neraka itu adalah pelajaran level anak-anak. Ia semacam “suap” saja: daya tarik agar anak-anak terpikat dan tertarik pada agama yang dianutnya. Menjelang dewasa, ketika level keagamaan telah meningkat, ajaran surga-neraka tak lagi dominan dan hanyalah disebut dan dirujuk sesekali. Tak terlalu menarik lagi.
Di dalam ajaran tasawuf, surga-neraka jelas bukanlah motif maupun tujuan dalam beragama. Dalam suatu riwayat diceritakan, pada suatu hari sufi perempuan Rabiah al-Adawiyah berlari-lari ke pasar seraya memegang obor menyala di tangan kanannya dan seember air di tangan kirinya. Orang-orang keheranan dan bertanya, “Hai, Rabiah, apa yang akan engkau lakukan?” Rabiah menjawab, “Dengan api ini, aku ingin membakar surga, dan dengan air ini, aku ingin memadamkan neraka, agar orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut neraka atau karena mendambakan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan menyembah-Nya hanya karena cinta.”
Nah, bagaimana dengan tokoh “aku” tadi?
Seusai disunat, ia ditanya ibunya, “Sudahkah engkau merasa menjadi orang Islam sejati?” Ia kaget mendengar pertanyaan itu karena ternyata ia merasa biasa saja. Tak ada perubahan bahwa kini ia jadi orang Islam sejati.
Ibunya bertanya lagi, “Barangkali sembahyangmu tidak pernah lengkap?” “Aku” menjawab, “Lengkap, selalu lengkap, Ibu.” Ibunya akhirnya menambahkan, “Kakekmu dulu naik haji, barangkali kalau engkau naik haji, engkau akan mengalami perubahan—jadi orang Islam sejati.”
Mendengar penjelasan ibunya, ia pun menjadi lemes dan merasa hilang harapan. Jadi, rupanya tak cukup dengan hanya bersunat dan sembahyang lengkap. Sebagai keluarga miskin, ia merasa tidak mungkin bisa naik haji. Ayahnya juga tidak naik haji karena miskin.
Cerpen ini ditutup dengan getir sekaligus menjadi kritik. Sejak itu, keinginan akan menjadi orang Islam sejati tak pernah lagi datang ke pikiran “aku”. Dorongan kemiskinan telah mematikan dan merenggut hasratnya, termasuk tentu untuk masuk surga dan mendapatkan 40 bidadari.
Cerpen “Sunat” yang terkumpul dalam Cerita dari Blora ditulis Pramoedya pada awal 1950-an. Dalam masyarakat kini, hasrat ke surga masih ada, bahkan tambah menyala-nyala. Ia tidak hanya milik kanak-kanak dan justru dominan di kalangan orang dewasa. Ia juga tidak semata bisa dipenuhi dengan bersunat, sembahyang, dan berhaji. Bagi segelintir orang, juga bisa dipenuhi dengan “jihad”: membunuh orang dengan melakukan bom bunuh diri.
Jika “aku” dulu meninggalkan keinginan menjadi orang Islam sejati karena merasa jalan menuju ke sana hanya bisa diraih oleh orang kaya saja, apakah kini banyak orang melakukan hal yang sama karena tidak ingin mati konyol bunuh diri dan membunuh orang lain?
Catatan redaksi: Tulisan ini menjadi pembuka kolom khusus Ramadan bernama “Iqra” yang akan tayang di Mojok setiap waktu sahur. Di rubrik ini, setiap hari Hairus Salim akan mengulas satu karya sastra dan memaparkan renungan serta hikmah yang bisa dipetik darinya.