MOJOK.CO – Sebulan sebelum ulang tahun ke-27, aku mendapat pekerjaan di perusahaan asing dengan gaji 20 juta lebih sedikit. Nggak sulit mencapainya, hanya butuh beberapa prinsip.
Di Twitter aku beberapa kali nemu pertanyaan polos dari anak-anak yang baru lulus kuliah, “Kerja apa sih biar dapet gaji dua digit?” Wow, lucu juga. Kalau dulu orang mikir, kerja apa ya yang mau nerima aku, sekarang kayaknya pada lebih percaya diri. Mau langsung nembak: kerja ini biar gajinya segini.
Hm, di Jakarta, kerjaan dengan gaji dua digit banyak kok. Sektornya juga macem-macem. Jadi anggota DPR noh, gaji dua digit. Atau marketing Coca Cola. Atau jadi bosnya sekalian gimana, gajinya bisa tiga digit malah, plus seperusahaan-perusahaannya juga milik kamu.
Menurutku sih aneh memilih kerjaan berdasar gaji. Memilih kerjaan tuh ya berdasar apa yang kita bisa, ya nggak sih? Atau nyari yang sesuai minat. Jadi, meskipun sekarang belum ada bakat atau keterampilan, paling nggak kamu masih mau dan suka untuk belajar buat mengasahnya.
Kalau aku ditanya gimana caranya dapet gaji dua digit, jawabanku rada kayak Buddha: dengan nggak terlalu mikir soal gaji.
Namaste….
***
Aku nggak lahir dengan sendok emas di mulut. Keluargaku orang biasa. Aku punya satu abang dan satu adik perempuan. Bapak dan Mama petani. Kami tinggal di Sekadau, sekitar 300 km dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.
Setiap hari orang tua melakukan dual job dengan sif kerja panjang, halah. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 5 pagi, Bapak sudah keluar untuk menyadap karet. Pekerjaan itu akan selesai sekitar waktu jam 10. Selepas itu ia pergi ke ladang menggarap sawah hingga pukul 16 atau 17.
Nggak lah, ini bukan cerita anak singkong. Jangan keburu berkaca-kaca apalagai nanyain link Kitabisa. Kami baik-baik aja. Aku dan kakakku masih bisa kuliah. Hanya saja, walau orang tua nggak sampai melarat, entah kenapa aku selalu merasa sungkan merepotkan orang tua dan minta uang ke Mama. Jadi sejak kecil aku udah mulai latihan cari uang.
Beberapa mata pencaharian yang bisa dilakoni anak kecil sebelum ada TikTok dan YouTube: pas SMP, sambil ngerjain tugas rumahan jaga adik, nyapu-ngepel rumah, dan masak nasi—pekerjaan standar anak-anak di kampungku, aku pernah membuka kebun terong sendiri di belakang rumah yang hasilnya aku jual.
Ini pekerjaan gampang-gampang susah karena tak sekadar mencangkul tanah dan menyemai bibit. Di kampung kami babi-babi biasa dilepas untuk cari makan sendiri. Jadi sebelum memulai kebun pribadi itu, aku harus berburu bambu ke hutan buat bikin pagar kebun kecuali niatku berkebun adalah sedekah ke babi. Kini masih ada parut luka di jariku yang tak bisa hilang gara-gara saat memotong bambu jariku kena tebas parang.
Apakah aku punya jiwa kuli rasanya tak perlu diungkapkan di sini. Yang jelas, dulu aku sering mengerjakan hal-hal yang nggak umum dilakukan anak kecil. Masih di SMP pula, aku pernah ikut bantu orang bangun rumah. Kerjaanku memindahkan pasir pakai gerobak. Pekerjaan yang bikin badan rasanya rontok. Waktu itu aku dibayar Rp50 ribu. Lalu saat libur sekolah aku ikut menoreh karet agar duitnya bisa buat jajan. Kerja-kerja komersil ini berhasil membuatku beli hape sendiri.
Jiwa kuli itu masih berlanjut sampai SMA. Suatu kali aku hendak ikut kegiatan Pramuka. Karena harus bayar, aku pikir-pikir cara cari duitnya. Lalu datanglah kawan yang mengajak bantu guru Penjaskes merenovasi rumahnya. Kami berdua ngaduk semen dan ngecat rumah itu demi dibayar Rp20 ribu.
Setelah lulus SMA, ada jeda waktu dua bulan sebelum kuliah dimulai. Melamarlah aku sebagai petugas bersih-bersih di hotel. Aku ingat betul hari itu, persis di hari gajian. Aku disuruh membersihkan akuarium ikan arwana punya bos. Lah, kok baru 30 menit airnya diganti ikannya kelepek-kelepek? Tuhan Yesus, ternyata selang buat bersih-bersih tadi bekas nyedot solar. Besoknya aku resign. Besoknya lagi dapat kabar bahwa ikannya mati.
Aku kuliah D-3 di Kampus Orang Berdasi di Pontianak. Waktu itu aku mulai suka ngeblog dan lumayan telaten menekuninya. Lulus kuliah pada 2014, dari LinkedIn aku dapat tawaran masuk sebuah fintech di Jakarta sebagai content writer. Gajinya 3,5 juta. Tentu aku terima. Soalnya pas kuliah aku pernah nyambi jadi waitress di kafe dan LSM dengan gaji 800 ribu sebulan. Uang 3,5 juta terasa sangat besar.
Tapi yang terutama, aku emang nggak mau kerja di Pontianak. Sejak awal aku ingin ke Jakarta. Alasannya, saat ngeblog aku beberapa kali dapat undangan peluncuran produk yang nggak bisa aku hadiri karena acaranya di Jakarta dan aku di sini. Aku mikir, wah, kalau di Jakarta mestinya aku bisa gabung acara-acara blogger, bangun jaringan, dan bisa ketemu orang-orang keren. Menurutku di Jakarta aku punya lebih banyak kesempatan untuk berkembang. Dan bener, itu emang terjadi.
Nah, pas kerja jadi content writer ini, aku mulai kenal apa itu digital marketing. Tapi tipis-tipis aja karena aku nggak menguasainya. Mau nggak mau aku harus belajar. Aku sampai maksa diri minta CEO perusahaan itu, yang mana ngerjain digital marketing-nya langsung, buat ngajarin aku.
Setahun aja aku kerja di situ. Lewat LinkedIn lagi aku dapat penawaran kerja baru dari satu penyedia jasa diet dengan gaji 5 juta. Tugasnya masih sama, ngurus konten mereka. Tapi lama-kelamaan aku malah ngerjain semua kerjaan digital kantor ini. Ngurus konten, bikin website, promosi di medsos. Singkat kata, aku makin dalam masuk ke dunia digital marketing.
Di kantor ini aku kerja 2,5 tahun. Lalu aku pindah lagi ke perusahaan media dengan gaji 9,5 juta. Terus pindah lagi ke startup katering dengan gaji 13 juta. Terus pindah ke perusahaan ecommerce enabler di Vietnam. Ini perusahaan yang nyediain platform buat brand biar mereka mengintegrasikan toko mereka ke marketplace hanya lewat satu dashboard. Di tempat terakhir ini aku cuma jalan tiga bulan meski gajinya 1.500 dolar AS. Aku mutusin keluar walau ada banyak hal menyenangkan di sana.
Iya, ini cerita aku bisa dapetin gaji 20 juta sebelum umur 30, tapi kemudian melepaskannya.
***
Kenapa aku keluar ada kaitannya dengan gimana cara mencapai 20 juta blablabla sebelum usia 30 omong kosong tadi. Maksudku, sebenarnya ngapain sih bahas obsesi gaji tinggi? Ya, standar gaji itu penting, tapi poin dari bekerja bukan di situ. Ini topik yang nggak nyaman buat dibicarakan, kesannya sombong gitu. Tapi, toh tulisan ini udah dibikin. Aku berharap ada nilai-nilai yang bisa aku sampaikan lewat ini.
Sekarang aku masih kerja sebagai digital marketer. Ini kerjaan yang sedang banyak dibutuhkan tapi masih sedikit tempat belajarnya.
Kayak dibilang tadi, aku mulai sebagai content writer. Lalu ada tuntutan untuk ngelola web, mengenal teknik SEO, dan melakukan promosi di media sosial. Aku jadi harus belajar semua hal itu. Jujur, disuruh belajar aku malah suka. Apalagi untuk belajar menjalankan iklan di media sosial dan mesin pencari, aku nggak harus ngeluarin modal. Ada uang perusahaan yang bisa aku “bakar” buat ongkos belajar.
Metode menjadikan tugas sebagai lahan belajar itu yang bikin aku makin mendalami cara-cara optimasi iklan. Bahkan di perusahaan Vietnam itu, aku belajar hal yang lebih seru, yakni optimasi iklan di marketplace.
Di sini aku dapat tugas memegang dua brand internasional untuk bikin toko dan produk mereka muncul di halaman pertama pencarian dalam marketplace. Alhamdulillah, aku merasa gagal mengerjakan tugas ini dan jadilah aku resign. Hahaha.
Aku tipe orang yang nggak suka kerja setengah-setengah. Misal saat lagi proses negosiasi untuk masuk perusahaan tertentu, mau gajinya berapa aja, kalau aku merasa nggak bisa melakukan pekerjaan yang mereka minta, aku nggak akan terima. Aku hanya akan mengambil pekerjaan yang mampu aku lakukan.
Aku cabs dari Vietnam tahun lalu dengan menggendong tas berisi rasa penasaran kenapa waktu itu nggak bisa optimal. Sesampainya di Jakarta aku nyoba buka toko di Shopee untuk nyari tahu kesalahanku. Habis-habisanlah aku belajar di sini pakai modal duit sendiri dan bekal praktik jadi digital marketer bertahun-tahun.
Sekarang toko di Shopee itu udah dapat predikat Star+, punya hampir 8 ribu pengikut, punya 200 produk, dengan rating 4,9. Puji Tuhan, sarana belajar ini bikin aku bisa bertahan selama pandemi tanpa harus kerja kantoran lagi. Sebagian mimpiku pas awal kerja dulu mulai jadi nyata: aku nggak jadi bawahan orang. Kini aku cukup kerja 1-2 jam sehari, bisa santai ngabisin sebagian besar waktu untuk tiduran, dan dapat penghasilan bersih dari toko walau nggak sampai 20 juta, tapi masih dua digit lah. Puas rasanya bisa hidup cukup dari hal yang kita suka.
Untuk mencapai semua itu, ini beberapa prinsip yang aku anut.
1. Berusaha agar punya portofolio yang mumpuni
Ini yang aku lakukan sejak ngeblog dulu. Aku bisa dengan pede nyebutin apa aja hal yang kukuasai ketika ketemu calon perekrut atau klien. Hasilnya, aku nggak pernah ngelamar kerjaan. Semua kerjaan datang dari penawaran si perusahaan lewat LinkedIn. Sekarang aku nyambi jadi konsultan marketing lepas buat toko-toko di marketplace. Kepada mereka aku selalu nunjukin tokoku, ini lho, aku berhasil bikin ginian. Sebuah portofolio yang mantap bukan.
2. Menghindari stres dan menyiksa diri
Aku nggak mau jadi orang yang stres karena kerjaan sampai harus ngeluh-ngeluh di mana-mana. Karena itu, aku selalu ngambil kerjaan yang mampu aku lakukan aja. Aku juga tegas sama atasan yang maksa kerja nggak kenal waktu. Kalau nggak berubah ya udah, tinggalin. Hidup dan kerja harus seimbang.
3. Tidak jadi orang licik
Kalau aku dibayar tinggi untuk performa yang buruk, aku akan lepas kerjaan itu. Sekarang pun, kalau ada toko yang pakai jasaku, aku akan kasih waktu ke diri sendiri selama seminggu buat ngetes, aku emang bisa meningkatkan penjualan mereka nggak sih? Kalau nggak bisa, aku lepas dan mereka nggak perlu bayar untuk seminggu itu.
4. Memantaskan diri
Omong kosong satu ini bukan cuma berlaku dalam konteks nyari jodoh. Dalam kerjaan, misal aku diminta untuk mencapai target, ya aku berusaha memperdalam pengetahuan biar sanggup ngejar tuntutan itu.
5. Selalu nambah keterampilan
Ya gimana, aku punya cita-cita untuk nggak kerja buat orang lain. Gimana lagi coba caranya bisa survive sendiri? Harus bisa ini-itu dong.
6. Hobi kadang bisa jadi exit plan ketika kepepet
Tokoku sekarang berjualan produk yang emang aku sukai dan jadi hobiku dari lama. Karena emang seneng, aku bisa serius mempromosikannya. Aku tahu segala detail tentang barang yang aku jual.
Aku nggak mengabaikan bahwa tiap orang punya tantangan dan hambatan sendiri. Cuma, kupikir, prinsip “selalu belajar” itu emang penting. Setidaknya di tahap tertentu kamu nggak perlu khawatir tersaingi anak muda, jadi tenaga kerja yang tak terpakai, atau kalau kehilangan pekerjaan sekarang nggak tahu lagi harus ngapain.
Benar-benar hari Sabtu yang motivasional. Salah Mojok sendiri sih, nyuruh aku nulis topik beginian.
BACA JUGA Nggak Enaknya Jadi Anak Orang Kaya, Kesuksesannya Selalu Dianggap Sebagai Andil Orangtuanya