Pertempuran 10 November yang kemudian bertiwikrama menjadi “hari pah-la-wan” adalah salah satu pertempuran paling mematikan dalam sejarah perang di Indonesia. Arek-arek Suroboyo bertempur habis-habisan untuk melawan sebuah ultimatum pendudukan setelah 84 hari kemerdekaan diproklamasikan secara hikmat di JakartaPusat.
Dan, Allahu Akbar, lahirlah sosok tokoh yang luar biasa jasanya dalam pertempuran paling mematikan itu. Namanya Sutomo. Dipanggil Bung Tomo, mungkin agar manusia pilihan jago nyangkem di mikrofon tidak melulu dimonopoli Bung-Yang-Satu-Itu; Bung yang ditegur Si Bung dari Surabaya ini pada akhir tahun 50-an karena mempraktikkan poligami di Istana Negara.
Mengherankan sebetulnya bagaimana nama Bung Tomo ini ujug-ujug jadi ikon utama pertempuran 10 November. Dalam prosesi penentuan 10 November dijadikan Hari Pahlawan, beberapa pemimpin inti laskar pemuda di depan Sukarno di Jakarta justru menihilkan siapa pahlawan utama dalam peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang dan melantakkan seluruh infrastruktur kota. Siapa gerangan si utama yang baik atau su-tomo itu, ya arek-arek Suroboyo secara keseluruhan.
Saya menuduh terkereknya nama Mas Tom sebagai ikon 10 November justru bertujuan tunggal menenggelamkan kominis yang turut bermain dalam “kota jancuk” yang, satu dekade setelah perang, pemilu-nya dimenangkan PKI. Mas Tom dinaikkan agar gembong-gembong kominis tak dapat tempat apa pun dalam historiografi kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam palagan 10 November. Sekaligus menyucikan Jihad Akbar 10 November dari ujaran kata-kata “nista” seperti jancuk dan sekeluarganya.
Ada beberapa hipotesis yang mendukung tuduhan saya itu.
Pertama, Mas Tom itu dalam struktur organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI), adalah divisi media. Komandan utama PRI ini adalah Soemarsono, yang kelak membawa laskar PRI ke dalam barisan baru bernama Pesindo dan terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 (MDN48). Kalau Mas Tom dekat dengan radio, ya wajarlah. Namanya saja bagian media, gak mungkin dong pegang duit. Karena mainannya radio buku propaganda, ya prosedurnya memang memproduksi propaganda lewat suara. Asal tahu saja, PRI adalah satu dari sedikit kelompok laskar dengan pengikut terbesar. Mereka berhasil merekrut dan meradikalkan ribuan arek keras hati dari belasan kampung.
Merasa Mas Tom ini sudah gagah betul dengan modal cangkem, dia memutuskan keluar dari PRI dan bikin laskar baru yang namanya sungguh gagah: Barisan Pemberontak Republik Indonesia. Laskar PBRI ini punya radio, namanya Radio Pemberontak. Sangar. Tapi ini pun wajar tanpa perkecualian, kan skill Mas Tom adalah penyiar dengan kemampuan nyangkem di mikrofon yang baik. Namanya saja penjual cangkem, rekaman suaranya itulah yang menjadi brand termahalnya sepanjang hidup di NKRI ini; bahkan Soemarsono, mantan komandannya, nggak pernah membayangkan sejarah bisa berjalan seperti ini.
Kedua, Mas Tom di hari “H” Pertempuran Surabaya yang maha dahsyat itu rupa-rupanya tak ada di palagan. Astaga, kelakuan pahlawan kita dengan radio buku pemberontak ini. Terus Mas Tom ke mana? Menurut pengakuan K’tut Tantri, Mas Tom nglencer ke Malang. Alasannya, tulis K’tut dalam bukunya Revolusi di Nusa Damai (1965: 260-1), Mas Tom nglencer karena k’pala Mas Tom sudah jadi target sekutu dan antek-anteknya. Sekutu kok pikirannya kayak kutu. Kalau mau, ya semua pimpinan utama laskar arek-arek itu sudah ditarget semua kepalanya untuk dibedil. Tapi mereka semua ada di tempat; di hari ketika arek-arek berkalang tanah mempertahankan setiap jengkal kotanya dari pendudukan. Kumendan-kumendan itu bersama arek-arek Suroboyo lainnya ngangkat bedil rampasan, kelewang, tombak untuk bertempur habis-habisan di semua sudut kampung. Juga sambil ngumpat jancuk tentu saja di sepanjang jalan kota dan gang.
Ketiga, naiknya pamor Mas Tom ini di atas porak-porandanya Kota Surabaya justru massif dilakukan setelah MDN48 meletus dan kian kuat genderangnya setelah PKI menjadi terdakwa di G30SPKI65. Narasi siapa terjago di palagan Surabaya sebelum MDN48 berjalan wajar tanpa perkecualian (istilah BPK). Rekaman suaranya yang menggelegar itu dijaga supaya tidak rusak atau hilang.
Tak cukup bermodal suara itu saja. Foto pun mesti ditampilkan supaya sang jagoan makin kinclong. Di sinilah soalnya, foto Mas Tom yang ditampilkan adalah foto yang salah tempat, beda tahun peristiwa. Mana si doi gondrong, lagi. Mana ada pemimpin laskar di tahun 1945 gondrong. Kan habis digunduli Jepang, kata Soemarsono. Sembarangan betul!
Foto salah tempat, salah caption, dan tampaknya dihadirkan tergesa-gesa seperti ini juga terjadi pada foto-foto “utama” MDN48 di buku-buku sejarah. Para sopir pembelok sejarah ini lupa bahwa makin ke sini, generasi yang mendiami NKRI ini makin baik rewelnya.
Keempat, menjadikan Mas Tom sebagai pusat dalam Pertempuran 10 November sekaligus membersihkan grafiti kota dan lidah-lidah kotor arek-arek yang sambil berlari nenteng bedil terus menebar pisuhan jancuk, jamput, dan keluarga batihnya. Ungkapan-ungkapan bermuatan lokal (mulok) Suroboyoan yang jenuin habis dilahap teriakan Allahu Akbar (3 kali) dengan pelbagai variasinya yang diucapkan berulang-ulang setiap pukul 6 sore. Arek-arek santri NU dan Muhammadiyah yang berada dalam barisan pasti senang dengan khotbah Mas Tom yang menggetarkan, tapi arek-arek yang berasal dari gali, preman kampung, ya semaput dan makin jorok nasibnya dalam sejarah.
“Jamput! Ujok muruki aku. Ayo siap-siap nggepuk Inggris!” teriak Komandan PTKR Hasanuddin dalam barisan pengepungan di sebuah gedung sebagaimana diceritakan ulang Hario Kecik di hari pertempuran mahabesar 10 November itu. Jamput itu yang hilang dalam perbendaharaan kata di kamus 10 November.
Kelima, karena memang niat dasarnya menenggelamkan kominis dari cerita Pertempuran 10 November, maka dalam skenario pengerekan bendera ikonik ini, Mas Tom tak menuntut banyak, tak berharap banyak. Kalau di zaman Sukarno mungkin gak dapat karena Mas Tom masih nom, hidup pulak. Tapi di masa Soeharto mestinya dapet. Kok kelihatan pelit benar Soeharto itu ya, jagoan 10 November kok gak diangkat jadi Pahlawan Nasional. Sekelas pertempuran gigantik seperti itu, kan negara gak rugi, dan bahkan sewajarnya tanpa perkecualian menganugerahi Mas Tom Pahlawan Nasional atas jasa-besar-cangkem-nya di 10 November.
Justru yang terjadi sebaliknya, Soeharto dengan enteng/anteng memenjarakan pejuang kita yang par excellence ini. Soal beginian Soeharto memang master. Bukan hanya kominis ditumpas hingga ke cindil-cindilnya, “bintang 10 November yang gondrong” ini pun ringan saja digasaknya. Bahkan setelah Mas Tom wafat di Padang Arafah, Makkah, pada 7 Oktober 1981, Mas Tom juga gak dapat apa-apa.
Sampai suatu tahun tatkala Indonesia berada di sebuah fase gebyar-gebyar memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional di tahun 2008, semua orang seperti diinsyafi oleh situasi yang kritis bahwa Mas Tom si pahlawan kita yang tak hadir di hari/tanggal 10 November itu belum juga dapet-dapet tuh julukan Pahlawan Nasional. Duh! Tapi untunglah ada Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) yang “mensponsori” agar Mas Tom dapatlah jatah antrian. Dan memang Mas Tom dapat juga Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008.
Sementara di sudut lain, nasib kominis makin runyam dan gelap!