MOJOK.CO – Terlepas dari pertanyaan Bamsoet yang gampang-gampang susyah itu, saya sungguh yakin Kalista Iskandar sebenarnya sangat hafal Pancasila.
Kalista Iskandar, finalis kontes kecantikan Putri Indonesia 2020, menjadi bulan-bulanan netijen budiman gara-gara tidak bisa menjawab pertanyaan Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua MPR tercinta kita semua.
Sebagai bagian dari netijen yang bijak dan memang bisa melihat kejadian tersebut secara lebih proporsional, saya sempat bingung sebenarnya. Terutama Ketika Pak Bamsoet bertanya, “Apa Kalista hafal lima sila yang terkandung dalam Pancasila?”
Ini maksud pertanyaannya apa? Cuma disuruh jawab hafal atau nggak hafal doang ini? Haduh, dari sejak dalam pertanyaan dan jawaban aja sebenarnya udah nggak sinkron. Ditanya hafal nggak, malah disebutin semua isinya.
Harusnya kan Pak Bamsoet bertanya kayak gini, “Apa yang telah dan akan Kalista lakukan untuk mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari?” Soalnya pertanyaan gitu jauh lebih bisa memancing jawaban yang elaboratif ketimbang cuma kasih pertanyaan hafal atau tidak hafal.
Terlepas dari pertanyaan Bamsoet, saya sungguh yakin Kalista sebenarnya sangat-sangat hafal Pancasila (bahkan mungkin dia lebih hafal Pancasila dibanding kebanyakan dari kita, terutama kalau kebetulan dikasih panggung sebesar itu, di usia semuda itu).
Apa yang terjadi di panggung itu juga sebenarnya bukan persoalan demam panggung, melainkan sebuah sindiran yang amat sangat telak menampar kita sebagai sebuah bangsa dengan falsafah sekeren Pancasila.
Apa yang ingin disampaikan Kalista melalui jawabannya yang sedikit berantakan itu sesungguhnya sederhana saja: bahwa demikian lah wajah penerapan Pancasila hari ini di Indonesia. Tak kurang dan tak lebih. Sedikit belepotan, sedikit keluar jalur, berantakan, tapi tetap saja muncul orang-orang yang selalu ngaku sebagai sosok paling pancasilais di mana-mana.
Kita bisa melihat bagaimana pernyataan Kalista Iskandar itu bisa saja bermaksud menyentil Bamsoet sebagai Ketua MPR dan mengingatkan kita semua tentang realitas penerapan butir-butir Pancasila di kehidupan sehari-hari.
Baiklah, berikut kita lihat bersama-sama bagaimana “maksud” Kalista Iskandar. Tentu saja uraian ini berdasarkan hasil analisis sotoy saya dari jawaban sang putri di babak enam besar pemilihan Putri Indonesia pada Jumat malam, 6 Maret 2020.
Pertama, dalam menjawab pertanyaan Bamsoet, alih-alih menggunakan kata “sila”, Kalista justru memilih kata “nomor”.
Begini kurang lebih pernyataan Kalista Iskandar itu. “Nomor satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Nomor dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Nomor tiga, Persatuan Indonesia.”
Padahal menurut KBBI, “sila” (nomina) mempunyai tiga makna; (1) aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; (2) kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); (3) sila berarti dasar, adab, akhlak, atau moral.
Sementara, “nomor” (masih menurut KBBI lagi) bermakna, angka yang menunjukkan kedudukan dalam urutan, kumpulan, dan sebagainya.
Pada titik ini, saya bisa paham kenapa Kalista memilih menggunakan kata “nomor” ketimbang kata “sila”. Ada makna terselubung kenapa dia perlu mengganti sebutan itu untuk kelima dasar falsafah negara. Tanpa perlu saya preteli satu per satu, saya tentu tahu betapa makna nomor lebih menunjukkan “kedudukan”.
Dengan begitu, Kalista ingin memberitahu kita semua bahwa belakangan ini bangsa ini memang selalu lebih doyan mengistimewakan mereka yang punya kedudukan. Terutama kalau yang berkedudukan itu adalah mayoritas.
Kedudukan itu lah yang kini jadi landasan di negeri ini. Bukan lagi lima sila di Pancasila. Baik mau itu perkara kemanusiaan sampai perkara hukum. Semua tergantung pada kedudukan.
Bagi mereka yang tak memiliki kedudukan, maka sudah sewajarnya untuk disingkirkan dan dilucuti hak-haknya, tak boleh bersuara, sampai yang paling pahit… dianggap sebagai musuh negara. Hal-hal yang harus diakui jadi pemandangan lumrah belakangan ini. Dan dengan hanya dari pemilihan diksi itu saja, Kalista sudah membongkar itu semua.
Kedua, Kalista yang di permukaan tampak gagap (di samping gugup) ketika berusaha mengingat susunan kalimat pada sila keempat dan kelima, dan kemudian berujung pada kesalahan yang cukup fatal, sebenarnya sedang mau menampar kita lagi.
Ini terlihat pada sila keempat yang seharusnya dimulai dengan “kerakyatan”, oleh Kalista justru diganti dengan “kemasyarakatan”.
Saya lagi-lagi yakin, Kalista sebenarnya ingin menggunakan kata “lembaga pemasyarakatan” untuk menyentil rekan-rekan Bamsoet di Senayan. Sekaligus mengingatkan kita semua betapa noraknya kelakuan wakil rakyat. Kumpulan orang-orang yang seharusnya bermusyawarah, malah ramai-ramai terjerat berbagai kasus hukum dan menghuni “lembaga pemasyarakatan”.
Paling tidak, berdasarkan catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) sepanjang 2014-2019 ada 254 anggota dewan yang menjadi tersangka kasus korupsi, yang 22 orang di antaranya merupakan anggota DPR RI.
Dan Partai Golkar, tempat Bamsoet pernah bernaung, menjadi penyumbang koruptor terbanyak, yaitu delapan orang. Itu sudah termasuk Papa Setnov yang kepalanya benjol karena kesalahan tiang listrik yang tak tahu aturan lalu lintas.
Lebih lanjut, nomina “perwakilan” yang seharusnya menjadi penutup sila keempat juga tak jadi diucapkan oleh Kalista. Hal yang mengherankan, Kalista malah tertawa ketika tidak menyebutkan itu. Hm, saya curiga tawa ini sebenarnya mengandung isyarat penuh sindiran.
Blio sepertinya betul-betul memahami betapa pada kenyataannya suara rakyat memang tak pernah terwakili oleh mereka yang mengaku sebagai “wakil rakyat” itu. Makanya, Kalista urung mengucapkan kata “perwakilan” tersebut.
Kalau saya jadi Kalista Iskandar, saya bukan tidak mungkin bakal tanya balik ke Bamsoet. “Apa, Pak? Mewakili?” Pfft.
Selanjutnya, ketika Kalista menyebutkan “nomor” kelima Pancasila, perwakilan dari Sumatra Barat itu justru memilih kata “kemanusiaan”, alih-alih “keadilan”.
Dalam konteks ini, jelas sekali bahwa Kalista ingin menyinggung dua isu sensitif di Indonesia, yakni menyangkut kemanusiaan dan keadilan. Bagaimana kasus pelanggaran HAM tak pernah usai meski janji-janji sudah disampaikan.
Halaaah, jangankan menyelesaikan kasus-kasus masa lalu, terduga pelakunya saja saat ini mulai dapat tempat di pemerintahan pula. Belum dengan ketambahan kasus-kasus HAM terbaru lagi. Makin ruwet aja.
Apalagi, wacana keadilan di negeri ini juga tak benar-benar diterapkan. Masih jauh panggang dari api. Kasus intoleransi di mana-mana. Mau bangun tempat ibadah jadi sulit. Udah gitu, persekusi demi persekusi terus terjadi. Hal-hal yang di luar dugaan tampaknya juga menjadi perhatian Kalista.
Masalahnya, panggung seperti Putri Indonesia 2020 itu memang mengharuskan perempuan-perempuan seperti Kalista tak boleh berdialektika. Semua harus soal hafalan, bukan soal amalan. Semua adalah soal ketepatan jawaban, bukan soal ketepatan pelaksanaan.
Maka wajar kalau akhirnya Kalista tak melangkah masuk ke tiga besar. Apalagi, dengan “sentilan” yang dia sampaikan di panggung Putri Indonesia 2020, Kalista mungkin diangap tak layak untuk jadi wakil Indonesia di panggung Putri Dunia. Bahkan yang terbaru, Provinsi Sumatra Barat ogah mengakui Kalista sebagai wakilnya.
Ya iya dong, wakil Indonesia kok malah mau balik menyentil pemerintah. Hadeh.
Meski begitu, dengan segala kekurangannya, bagi saya, Kalista tetap lah Putri Indonesia yang sesungguhnya!
Lah gimana? Hanya dengan menyebutkan butir-butir Pancasila saja, blio telah menampar kita semua, termasuk Pak Bamsoet yang jadi panelis dan cuma jago bertanya.
Lagian, apa sih gunanya hafal Pancasila dan UUD 1945 jika penerapannya nol besar dalam kehidupan bernegara. Gitu kan, Dek Kalista?
BACA JUGA PMP Buat Generasi Muda, Memangnya Bapak Ibu Politikus Sudah Pancasilais? atau tulisan rubrik ESAI lainnya.