MOJOK.CO – Menanggapi celometan banal netizen soal praktik porstitusi 80 juta yang dibilang kemahalan, lalu disandingkan dengan murahnya punya istri. Hm, oke faiyn.
Akhir-akhir ini, linimasa riuh betul dengan kasus penangkapan seorang artis yang diduga melakukan prostitusi online dengan tarif mencengangkan, 80 juta rupiah sekali kencan. Anehnya ada saja pihak yang merasa harga itu terlalu mahal, lalu dengan semena-mena dibandingkan dengan keuntungan punya seorang istri—karena dianggap lebih murah.
Bisa digauli gratis kapan pun diminta, masih bisa dibebani pula dengan seabrek tugas rumah tangga, lalu kewajiban mengurus anak, bahkan berkarier di luar rumah ikut bantu mencari nafkah.
Tentu saja, perbandingan itu bikin saya sedikit mbesengut. Sebab perbandingan tersebut tak adil.
Dalam prostitusi, hanya ada dua hal yang dipertukarkan: seks dan uang. Sedangkan dalam pernikahan, kita berbicara tentang komitmen seumur hidup dan kasih sayang.
Jika pikiran kita tertuju hanya pada jumlah materi yang kita terima setiap hari dan dibandingkan dengan pengorbanan kita mempertahankan rumah tangga, bisa jadi kita terjebak dalam pernikahan transaksional. You only get what you paid for.
Kalau cara berpikirnya begitu kita sebagai istri bisa jadi merasa rugi karena kasih harga yang kelewat murah untuk semua keuntungan yang didapat suami.
Mungkin saya termasuk segelintir perempuan yang beruntung karena dikaruniai suami yang mau cawe-cawe segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak, tanpa membedakan ini tugas perempuan, ini tugas lelaki.
Dan karena itu, saya tidak pernah merasa kalau mahar emas 5 gram yang dulu diberikannya itu terlalu kecil. Duh gaes, saya kok mendadak jadi mbrebes mili gini ya nulis ini?
Karena pada kenyataannya, menjadi seorang suami itu pasti melelahkan. Sudah kerja keras cari uang dan berlian, sampai rumah masih harus bantu kerjaan istri mulai dari nyapu, cuci piring, nyebokin anak, hingga packing olshop-an. You know kan istri-istri sekarang sukanya jualan online, meski yang dijual dengan yang dibeli banyakan yang dibeli sih.
Belum lagi suami harus sabar melihat istrinya keranjingan drakor, tiap malam yang dikeloni hape sambil streaming-an. Bye lingerie motif macan, welcome dedek Park Bo Gum yang menggemaskan. Suami mau maksa minta kelon, nanti bisa kena pasal kekerasan seksual dalam rumah tangga. Akhirnya ngalah nunggu istri mood.
Memangnya para Pekerja Seks Komersial (PSK) punya kebebasan semacam ini? Saya rasa tidak.
Para PSK itu bekerja dengan risiko yang tinggi, mulai dari dilecehkan sampai—bisa saja—dianiaya pelanggan. Belum lagi risiko penyakit menular seksual yang bisa menghampirinya kapan saja, tanpa tahu kelak siapa yang bisa disalahkan karena telah menularkan.
Dan menurut saya, yang terpenting: bisakah kita benar-benar menikmati seks dengan orang yang tak dikenal? Para PSK mengalami itu setiap hari dan tidak bisa mengeluh karena untuk itulah mereka dibayar.
Di sisi lain, apakah kemudian ada jaminan bahwa pernikahan membebaskan semua perempuan dari semua risiko? Tentu saja tidak, Chabelita.
Ada banyak istri yang dilecehkan suaminya sendiri, ada perempuan yang dibunuh pasangan hidupnya, dan tak sedikit istri baik-baik yang tertular penyakit mematikan akibat suaminya suka main perempuan.
Tapi saya yakin, ada banyak juga pasangan menikah yang bahagia—meski tak selalu, karena ucapan ulang tahun “semoga selalu bahagia” itu musykil adanya. Yang ada adalah mereka yang tetap menemukan kebahagiaan meski harus diselingi dengan ujian dan kesedihan.
Oh iya, dan begitu banyak pertikaian karena hal-hal sepele. Sesepele pertikaian karena eyel-eyelan; “berat mana kapas sekilo atau besi sekilo?” atau “duluan mana Nabi Adam atau Dinosaurus?”
Mungkin saya naif sekali karena membicarakan hal ini hanya berbekal pengalaman pribadi. Namun, saya rasa penting untuk tidak menyamakan antara prostitusi dengan pernikahan.
Kalau kita sebagai perempuan merasa merana punya suami yang tidak kaya, ya kenapa dulu nggak nyari pasangan yang kaya? Kenapa mau-maunya dinikahi oleh pria yang sudah kaya tidak, tampan pun cuma sedikit.
Sebab pada akhirnya, yang dicari dalam pernikahan adalah ketenteraman jiwa, dan tidak ada jaminan pria kaya sekaligus tampan mampu menghadirkan hal tersebut secara otomatis, kecuali mungkin Song Joong Ki.
Jadi buibuk, mari syukurilah punya suami dengan segala keunikannya masing-masing. Mungkin mereka suka main burung, tak apa kalau burungnya bisa bersiul. Mungkin mereka suka main game, nggak apa-apa selama yang dihabiskan hanya waktu dan kuota.
Mungkin mereka tidak bisa memberikan 80 juta tiap skidipapap, tapi yakinlah mereka memberikan hidup dan masa depannya untuk kita atur-atur. Tanya-tanya di telepon ketika suami lagi kerja: Lagi di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa—misalnya.
Oleh karena itu, buat ibu-ibu yang punya suami kaya, bisa kasih bahkan lebih dari 80 juta. Alhamdulillah itu rezeki. Namun ingat ya Bu, tidak semua rezeki harus dibagi.