Buat Apa, sih, Menghakimi Muslimah yang Nyerah dan Ingin Menikah Aja?

MOJOK.COMbak-mbak muslimah yang dikit-dikit nyerah dan ingin menikah itu nggak perlu dikucilkan. Siapa tahu, dia lelah beneran dan butuh teman hidup dengan segera.

“Selamat datang di fase di mana Anda menyerah dan ingin menikah saja.”

Demikianlah kata-kata sebuah post akun dakwah. Dulu saya sensi sekali setiap membaca tulisan seperti itu. Sekarang masih sensi, sih, tetapi dari pengalaman muslimah di sekitar, saya mulai bisa memahami kenapa mereka yang lelah ingin menyerah dengan menikah.

Sebut saja dia Mawar. Perempuan 19 tahun ini harus menanggung hidup dua adiknya setelah kedua orang tuanya bercerai. Miris, dua orang dewasa yang memilih mengakhiri komitmen pernikahan itu bahkan mengakhiri tanggung jawab finansial pada anak-anaknya.

Mawar yang baru mencicipi dunia perkuliahan selama beberapa bulan terpaksa cuti karena harus bekerja. Sebelumnya dia kuliah sambil bekerja, tetapi dengan beban finansial yang kini ditanggungnya, tentu Mawar harus merelakan pendidikannya tertunda hingga entah kapan. Toh, melepaskan pekerjaan dengan lingkungan ramah akhwat seperti yang ia jalani juga sungguh sayang.

Perempuan yang lain, sebut saja Melati. Dia satu tahun lebih muda dari Mawar. Baru lulus SMA dan hidup seorang diri di rantau setelah lulus dari pondok yatim piatu tempatnya tinggal selama sekolah.

Masih begitu hijau soal kehidupan, ia  mencoba peruntungan dengan mengajar mengaji, berhubung perempuan bercadar sepertinya sulit mencari kerja. Terhadap Melati, nasihat “memperjualbelikan ilmu agama” menjadi tidak etis. Dia nyaris keluar dari kampus sebab kesulitan biaya, sebelum seorang dosen berbaik hati menawarkan beasiswa dan jaringan bimbel mengaji.

Keduanya jarang terlihat bersedih. Galau? Sering, apalagi soal pernikahan. Maklum, usia mereka adalah musim semi percintaan, hormonnya masih tinggi. Sementara teman-teman sebaya mereka pacaran, mereka yang memilih menjadi singlelillah berorientasi pada pernikahan.

Awalnya saya pikir semua itu hanya urusan hormonal sehingga, seperti biasa, saya begitu galak menasihati mereka untuk tidak kebelet nikah, lengkap dengan segala nasihat untuk memikirkan peradaban, bukannya pernikahan setelah berhijrah.

Tapi rupanya, kegalauan saya begitu mewah (jika tidak malah sampah) bagi mereka. Yah, mau bagaimana lagi: memikirkan ideologi yang tepat untuk Indonesia atau peran peradaban saja dianggap mubazir bagi ukhti-ukhti ini. Besok bisa makan atau tidak, bulan depan bayar kos dengan cara apa, hingga semester depan masih bisa kuliah atau tidak adalah—mungkin—wujud nyata kegalauan mereka dalam menjalani kehidupan.

Dengan beban seperti itu, saya rasa wajar-wajar saja jika muslimah-muslimah ini merasa lelah dan ingin berbagi. Wajar jika mereka ingin menyerah dan ingin menikah sebab, dalam pengajian yang mereka rajin datangi, disebutkan bahwa lelaki adalah pemimpin perempuan. Bahwa anak perempuan merupakan tanggung jawab ayahnya, atau kakak lelakinya ketika ayah mereka meninggal. Bahwa seorang istri di dalam merupakan tanggung jawab suaminya.

Sayangnya, pernikahan tidak selamanya menjadi solusi, tak peduli selelah dan sebesar apa pun keinginan untuk menyerah. Buktinya juga berceceran di sekitar Mawar dan Melati: bahwa tidak semua ikhwan saleh di CV  bertanggung jawab di dunia nyata.

Pelajaran lain yang tak kalah penting adalah ditemukannya tidak sedikit akhwat yang justru bertambah beban ekonominya setelah menikah. Dengan kata lain, suaminya melupakan hakikat menjadi pemimpin.

Ajaran Islam tentang pembagian peran pernikahan rasanya bakal indah kalau benar-benar terlaksana. Namun faktanya, kita hidup di mana banyak peran keluarga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Banyak muslimah muda yang sudah harus berkenalan dengan kerasnya dunia kerja, kehilangan akses pendidikan, hingga lelah dan rasanya ingin menikah. Nah, pada titik ini, yakinlah bahwa tidak semua orang yang kebelet ingin menikah hanya sedang bertujuan untuk bermesraan dengan lawan jenis, apalagi sekadar menghalalkan hubungan seksual.

Tentu saja, bagi muslimah-muslimah ini, bukan hasrat biologis yang mendorong mereka kebelet nikah, melainkan agar bisa sekolah dan diberi nafkah.

Padahal nih, ya, dear muslimah-muslimah, jalan menuju pendidikan dan kesejahteraan (ekonomi) itu, kan, tidak hanya melalui pernikahan!

Dengan segala pilihan ideologis dan kondisi kewanitaan yang dimiliki, tak perlu jugalah mereka mengamini kelelahan yang muncul dengan mendukung pernikahan sebagai bentuk kekalahan pada perjuangan hidup. Tenang, bukannya saya ingin menghalangi keinginan menikah seseorang, tetapi bagaimana bisa kita memasuki perjuangan besar, ibadah seumur hidup (insyaallah), hanya dengan mentalitas secukupnya?

Jangan juga lantas menghakimi mereka sebagai perempuan lemah yang tidak kuat berjuang, apalagi kalau belum pernah berada di posisi mereka. Kekuatan orang, kan, beda-beda.

Keluarga saya, misalnya. Mereka penuh drama, tetapi tidak sampai menelantarkan anak. Saya punya ijazah pendidikan dan banyak sertifikat bagus untuk mencari kerja sehingga tidak perlu mengayuh sepeda berkilo-kilo hanya untuk bayaran sekian puluh ribu rupiah. Saya bisa belajar hal baru, formal maupun nonformal, tanpa harus memikirkan biaya dengan jaringan dan akses beasiswa yang diketahui.

Dengan segala kenikmatan itu, rasanya jadi tidak relevan marah-marah pada muslimah yang lelah dan ingin menikah. Alih-alih mengandalkan kemarahan sebagai “nasihat kebaikan”, bertemu teman yang bilang ingin menikah itu sebaiknya tidak dihadapi dengan cara menghujat.

Lebih baik, kamu cari tahu dulu. Bertanyalah, “Kamu ada masalah apa?” jika perlu, barangkali dia butuh bantuan. Carikan dia pekerjaan yang diinginkan, ajak dia ke forum pengembangan diri, tambah kenalan, tambah pengalaman, atau setidaknya dengarkan saja ceritanya.

Mungkin, dia sesungguhnya belum benar-benar ingin menikah, melainkan ingin punya teman berkeluh kesah.

Sudahlah, ayo, muslimah-muslimah. Be there. Don’t judge them, because empowered women empower women!

Exit mobile version