[MOJOK.CO] “#BoikotTopskor nggak cuma bikin pusing netijen tapi juga bangsa dan negara.”
Redaksi TopSkor.id tentu sedang pusing menghadapi seruan boikot yang menghantam mereka sejak kemarin. Bahkan bisa dibilang, ini adalah seruan boikot paling membingungkan yang pernah ada.
Tapi, sebelum masuk ke sana, mari kita ingat-ingat dulu apa itu boikot dan bagaimana ia dilakukan di Indonesia. Sebab, kalau ada prinsip yang harus Anda pegang untuk mengarungi 2018, salah satunya adalah jangan pernah menertawakan ide boikot. Seriusan.
Boikot jika dijalankan dengan sungguh-sungguh dan kompak adalah ancaman besar. Ini juga konsep yang sudah lama dilakukan gerakan masyarakat sipil, walau umumnya dilakukan oleh konsumen kepada perusahaan produsen jasa dan barang. Tujuannya untuk memengaruhi pengambilan kebijakan dalam suatu perusahaan. Nah kalo #BoikotTopskor ini niatnya apa?
Boikot dilakukan dengan cara berhenti menggunakan suatu barang atau jasa yang dihasilkan produsen tertentu agar produsen melayani protes dan tuntutan konsumen.
Misalnya seperti yang dilakukan supermarket-supermarket Singapura ketika pembakaran hutan di Sumatra berimbas pada bencana kabut di Singapura, tahun 2015. Supermarket FairPrice, Shen Siong, dan Prime Supermarket memboikot/menurunkan semua produk pulp and paper dari lima perusahaan Indonesia yang diduga membakar hutan.
Di Indonesia, tahun 2016 ke belakang, seruan boikot produk yang paling gencar ditujukan kepada produk Amerika Serikat (karena kapitalistis, tidak memperlakukan pekerja dengan baik, pro-LGBTQ) serta produk perusahaan “Yahudi” (sebagai bentuk dukungan kepada Palestina).
Namun, selama dan setelah pilkada Jakarta 2016, alasan yang paling sering menjadi motif boikot adalah agama. Jika Anda lupa, inilah daftar hal yang pernah diserukan untuk diboikot di Indonesia dua tahun terakhir.
Line diboikot oleh Aa Gym karena dianggap mempromosikan LGBT.
Sari Roti diboikot peserta dan simpatisan Aksi 212 karena awalnya dikira mendukung Aksi 212 dengan membagikan roti gratis, tapi ternyata tidak.
Starbucks diboikot karena pernyataan CEO-nya yang menyatakan, siapa yang tidak mendukung pernikahan sesama jenis boleh melepas sahamnya di perusahaan tersebut.
Inul Daratista diboikot oleh netizen yang tersinggung karena komentarnya di Instagram dianggap menghina ulama.
Traveloka diboikot karena CTO-nya, Derianto Kusuma, walkout saat Anies Baswedan berpidato di acara ulang tahun Kolese Kanisius. Belakangan diketahui bahwa kabar itu bohong sebab Derianto tidak hadir di acara tersebut. Tapi, boikot untuk uninstall Traveloka sudah kadung viral.
Film anak-anak Naura & Genk Juara diboikot karena tokoh penjahat di film itu beragama Islam dan menunjukkan ekspresi-ekspresi religius.
WhatsApp diboikot karena menyediakan konten GIF berbau pornografi.
FPI memboikot Facebook, Twitter, dan WhatsApp karena tidak mendukung perjuangan umat. Sebelumnya, pada 19 Desember 2017 Facebook memang membokir akun FPI. Pada Januari 2017, Twitter juga sempat memblokir akun FPI dan Habib Rizieq Shihab. Sedangkan kenapa WA ikut-ikutan diblokir, sampai detik ini kami tidak menemukan alasan selain karena WA “produk Amerika Serikat”.
Terakhir, yang terjadi kemarin, boikot terhadap situs web sepak bola TopSkor.id. Tagar #BoikotTopskor dimulai oleh akun Twitter @ardi_riau menanggapi twit jurnalis TopSkor, @zoelfick, yang dianggap menghina Ustad Abdul Somad.
Rupanya, seruan boikot ini memengaruhi redaksi TopSkor sehingga pada malam kemarin, @zoelfick dan akun pemimpin redaksi TopSkor mengumumkan bahwa jurnalis tersebut dipecat. Seruan #BoikotTopskor menghasilkan satu pengangguran, kira-kira pelakunya puas?
Apabila boikot umum dipahami sebagai cara mendesakkan tuntutan konsumen kepada produsen atau dari satu pihak ke pihak lain, kesembilan contoh boikot di atas cenderung menjadi bentuk hukuman atau balasan. Karena Facebook memblokir FPI, maka FPI memboikot Facebook. Karena Inul dan @zoelfick menyinggung perasaan “umat”, hukumannya adalah boikot. Tuntutannya sendiri malah jadi nggak jelas, apa sih yang diinginkan pemboikot agar dilakukan pihak yang diboikot.
Apakah boikot seperti itu efektif? Iya dan tidak. @zoelfick jelas menerima konsekuensi riil yang berat. Tapi, boikot juga menimbulkan efek Streissand: orang yang tidak tahu dan tidak tertarik, justru jadi penasaran pada subjek yang diboikot. Belakangan, malah muncul pihak-pihak yang bersimpati. Itu pula yang terjadi pada film Naura.
Pada kasus Traveloka, boikot yang terburu-buru dan ternyata salah sangka justru menjadi tertawaan. Sedangkan pada boikot WhatsApp terkait konten GIF porno, cara itu berhasil membuat WA menghapus konten tersebut.
Nah, kalau boikot media sosial oleh FPI, hm… orang bertanya-tanya dan menanti, apa sikap ini akan konsisten? Sebab, selain menyatakan memblokir ketiga media sosial tersebut, FPI juga sudah menyiapkan platform penggantinya. Saya sih berharap FPI konsisten. Bukan, bukan seperti netizen nan iri dengki yang bersukacita karena Facebook dan Twitter akan bersih dari “laskar 2D” lho ya. Justru kalau FPI sukses, ini akan jadi contoh keberhasilan gerakan yang bisa ditiru anak kiri, kanan, depan, dan belakang.
Balik lagi ke keanehan boikot TopSkor.
Jadi begini, seruan awal boikot TopSkor kan karena jurnalisnya dituduh menghina ulama. Tapi, setelah TopSkor memecat si tertuduh—yang membikin puas pihak yang memboikot—giliran pembela @zoelfick yang ikut meramaikan #BoikotTopskor dengan alasan TopSkor tidak pantas membenarkan persekusi. Akibatnya, sampai Rabu siang, 27 Desember 2017, hestek tersebut masih jadi nomor satu di Twitter.
Satu hestek, dua kubu. Pemrednya pasti pusing banget sekarang.