Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Bertengkar di Musim Lebaran Atas Nama Soekarno Hatta

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
6 Juni 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Berkaca dari Ir. Soekarno, lulusan kampus ITB, si tukang bikin perkara kepada siapa saja dan kapan saja. Kelahi dengan Hatta di momen Lebaran, misalnya.

Kalian tiba-tiba saja berubah menjadi peminta dan pemberi maaf saat Lebaran tiba setelah sebelumnya bertengkar hebat tanpa jeda. Bahkan, ada yang sama sekali risih saat khotib omong-omong politik elektoral di mimbar Lebaran (kalah misal ada).

Bung dan Bing, jangan pernah kendor untuk bertengkar, berdebat, dan memberi stempel kepada lawan bebuyutanmu dalam pandangan politik. Selagi ada kesempatan dan jaringan internet sehat, udahlah gaspol saja. Yang muda dan tua, silakan saling gasak.

Namun, dalam pertengkaran berkobar-kobar itu, tolong, jangan mudah mutung dan kemudian memanggil polisi. Jadinya nggak asyik. Walaupun tetap perlu untuk selingan menaikkan tensi di babak berikutnya.

Pendiri negara ini sudah memberikan contoh bahwa bertengkar tak kenal waktu itu pemandangan biasa-biasa saja.

Berkacalah Ir. Soekarno, lulusan kampus ITB yang tukang bikin perkara kepada siapa saja, termasuk kepada sarjana lulusan Universitas Erasmus, Rotterdam.

Soekarno orangnya begitu. Bertengkar bukan saja kepada pemundak kekuasaan kolonial, tetapi kepada sesama pengerek bendera perjuangan.

Mari membuka kalender 1933. Soekarno bukannya tak tahu Lebaran itu adalah hari perdamaian. Dia juga mendaku dan memberi disclaimer bahwa dirinya sosok yang suka damai.

Dalam bahasa Soekarno sendiri yang saya kutipkan secara verbatim:

“Saja adalah orang jang terkenal senang akan perdamaian dengan sesama bangsa. Saja adalah malahan sering-sering mendapat praedicaat ‘mabok akan persatuan’, ‘mabok akan perdamaian’. Saja tjinta sekali akan perdamaian nasional, dan selamanja akan membela pada perdamaian nasional itu. Tetapi saja pandang soal non-cooperation itu kini belum selesai difikirkan dan dipertimbangkan, belum selesai dianalisir dan dibestudir, belum selesai dibitjarakan setjara onpersoonlijk dan zakelijk. Saja minta publik memandang tulisan saja ini sebagai pembitjaraan sesuatu soal jang maha penting setjara onpersoonlijk dan zakelijk, dan tidak sebagai ‘serangan’ dan ‘pertengkaran’—walaupun orang lain tidak bisa membitjarakan sesuatu hal zonder menjerang dan bertengkar”.

Rupanya, soal co dan non-co. Dari petunjuk frasa itu, jelas sudah perkaranya. Lawan tengkar Soekarno sebelum puasa, sepanjang Ramadan, musim Lebaran, hingga saat bulan Syawal berjalan mengendap-endap, tak lain tak bukan, adalah Mohammad Hatta.

Iya, Hatta, yang bersama sekondannya Sutan Sjahrir, juga di waktu yang sama mengelola koran mingguan Daulat Ra’jat.

Dari judul esai Soekarno di mana kutipan itu berada saja, tampak aroma membara: “Djawab Saja pada Saudara Mohammad Hatta”. Esai itu dimuat di Fikiran Ra’jat dan dimuat kembali di DBR Jilid 1 (1963: 207-214).

Soekarno jengkel betul dengan Hatta dan Sjahrir ini yang bukan hanya menyebut proyek persatuan Soekarno sebagai proyek “per-SATE-an”, tapi juga gaya keduanya menyebut diri sebagai real-politieker.

Artinya, Soekarno dianggap Hatta tak lebih sebagai demagog, si omong besar.

Iklan

Hatta memandang bahwa masuk lewat perjuangan parlementer Belanda (Tweede Kamer) sebagai usaha menjalankan politik oposisi dan politik obstruksi dan menjadi mimbar pro deo bagi perjuangan.

Soekarno menuding laku politik Hatta macam beginian sebagai “anti azas nationalist-non-cooperator” dan menyebut Tweede Kamer sebagai dewan pertuanan. Yang masuk ke dalamnya adalah politisi budak.

Bagi Soekarno, soal itu bukan perkara siasat perjuangan belaka, tapi soal asas perjuangan.

Tidak ada jalan kompromi. Asas bisa melunak pada taktik jika kepepet, lanjut Soekarno, jika ada force-majeure. Jika tak ada, itu namanya pengkhianatan.

Tweede Kamer di Den Haag itu, tulis Karno, “pendjelmaannja, symbol-nja, belischamingnja, koloniseerend Holland jang mengereh dan mendjadjah kita … [mestinya] kekuatan sendiri kita susun. Kekuatan sendiri ini, tenaga sendiri ini, machtsvorming sendiri ini harus kita utamakan ….”.

Namun, pertengkaran Soekarno-Hatta ini fluktuatif. Soal pendirian partai-partai politik 1937 untuk persiapan terbentuknya negara baru kalau-kalau kolonialisme tumbang, mereka akur. Soal berkolaborasi dengan Jepang, keduanya akur.

Habis akur, mereka bertengkar hebat lagi sejenak dalam rapat-rapat membikin asas negara di antara Mei hingga Juni 1945; Soekarno maunya negara kesatuan, Hatta kukuh negara federal; Soekarno yang didukung 100% Mohammad “Gajah Mada” Yamin ingin Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia, sedangkan Hatta nggak setuju.

Pertengkaran itu memang nggak lama hingga kita menemukan mereka akur tanpa senyum yang hangat berbagi bingkai di foto hari penuh hikmat saat mengumumkan kemerdekaan dan membubuhkan tanda tangan di teks Proklamasi 17 Agustus 1945 atas nama keduanya. Bahkan, adegan pendahuluan “diculik” bareng di Rengasdengklok, fine-fine aja.

Sampai akhirnya, mereka tampak mesra berdua menjadi pasangan pemimpin dan melayari luka revolusi 1946-1950. Kurang akur gimana coba, Soekarno aja bahkan mencarikan jodoh yang pas bagi Hatta.

Jadi bukan berarti pertengkaran di masa muda awal 30-an itu hanya penyakit para darah muda melewati usia 30-an. Bukan.

Pertengkaran dalam politik itu nggak kenal usia. Kamu kira nama-nama Said Didu, Goenawan Mohamad, Rocky Gerung, Andi Arief, Budiman Sudjatmiko, Ratna Sarumpaet, Tengku Dzul, dan Adian Napitupulu itu pemuda dan pemudi ingusan?

Setelah pemilu tahun 1955, Soekarno dan Hatta yang sudah berusia setengah abad lebih bertengkar lagi. Bahkan makin hebat.

Hatta dari dulu emang nggak tahan dengan gaya demokrasi Soekarno yang “mabok persatuan” dan suka meninju. Hatta mundur dari kursi wakil presiden dan bikin pamflet.

Soekarno memilih menunjukkan kekuasaannya ketimbang membuka pertengkaran lewat media sosial tulisan panjang yang bernas. Pamflet Hatta berjudul Demokrasi Kita dibeslah Soekarno dan gerak-gerik Hatta dibatasi.

Hatta nggak sampai dipenjara—memang. Namun, Hatta sepenuhnya dalam pengawasan aparatus keamanan negara. Pemimpin pendiam itu disegel Soekarno mulutnya untuk nggak boleh banyak bacot atas kekuasaannya yang sedang melaju menuntaskan revolusi yang tak pernah selesai itu.

Sebagaimana hukum tengkar-akur, pertengkaran dalam diam itu kembali akur saat Soekarno dalam tahanan rumah rezim Harto dan menghabiskan hari-hari sekaratnya.

Hatta menggenggam lawan tengkarnya itu erat sekali. Soekarno membalasnya dengan haru sebagai orang yang teraniaya dan kalah sepenuhnya di palagan politik.

Persis, ‘kan. Soal bertengkar, “kita” ini satu lantai dansa dengan leluhur politik negara ini. Dulu, bela si dia, mengongkosi politik si dia untuk merebut tahta ibu kota, namun sekarang menyerang secara spartan.

Dulu, grupisnya menyerang habis-habisan, sekarang aduhai manisnya lini masa media sosialnya. Jenis tengkar-akur model begini Soekarno-Hatta banget. Mari bertempik sorak!

Soekarno teladan kami dalam soal gelombang pertengkaran politik yang nggak ada habisnya hingga satu-satu dipenjara, satu-satu mati.

Jangan lupa, Pak Karno itu lahir di Surabaya pada 6 Juni dan bukan di Blitar. Kalau silap omong, ya nggak apa-apa. Syukuri aja sebagai tambahan amunisi konten untuk bertengkar sampai berminggu-minggu berikutnya.

Nah, atas nama Soekarno-Hatta di dompet, jika belum habis untuk jajan Lebaran, abadikan terus momen pertengkaran tahun ini dengan konten apa saja.

Selamat ulang tahun ke-118, Pak Karno. Semoga sejarah dan kenangan beliau tetap panjang usianya.

Terakhir diperbarui pada 30 Mei 2020 oleh

Tags: andi ariefHattaLebaranratna sarumpaetSoekarno
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

THR ludes, libur lebaran selesai, sementara gajian masih lama. Kembali ke perantauan dengan penuh keprihatinan MOJOK.CO
Ragam

THR Ludes sementara Gajian Masih Lama, Kembali ke Perantauan dengan Nelangsa dan Hidup dalam Keprihatinan

6 April 2025
Lebaran 2025 Lebaran Paling Aneh 10 Tahun Terakhir MOJOK.CO
Esai

Mudik Lebaran 2025 Terasa Aneh dan Berbeda: Penumpang Bus Sepi Hingga Pedagang Asongan Menghilang

4 April 2025
Menjadi tolol saat ada saudara pamer pencapaian di reuni keluarga ternyata menyenangkan MOJOK.CO
Catatan

Reuni Keluarga Jadi Ajang Saudara Pamer Pencapaian, Pura-pura Tolol sambil Menyimaknya Ternyata Menyenangkan

4 April 2025
Perjalanan menyiksa rute Tuban-Jombang naik bus Bagong hingga Widji MOJOK.CO
Catatan

Perjalanan Menyiksa Rute Tuban-Jombang, Berdesakan dan Berpanasan Melibas Sisi Lain Jalanan Jawa Timur

3 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Bagian terberat orang tua baru saat hadapi anak pertama (new born) bukan bergadang, tapi perasaan tak tega MOJOK.CO

Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
Wali Kota Semarang uji coba teknologi bola GPS untuk mitigasi banjir Semarang MOJOK.CO

Bola GPS Jadi Teknologi Mitigasi Sumbatan Air Penyebab Banjir di Simpang Lima Semarang

13 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.