MOJOK.CO – Kita mesti berterima kasih kepada RCTI dan INews TV yang telah membantu netizen melupakan pandemi dengan uji materi UU Penyiaran.
Sementara pandemi di Indonesia sudah hampir setengah tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai, RCTI dan INews TV datang dengan kabar gembira. Mereka melakukan uji materi Undang-Undang Penyiaran.
Tujuan dari gugatan ini untuk memperluas definisi penyiaran. Dari yang sebelumnya hanya mengatur siaran yang berbasis frekuensi radio, menjadi lebih luas sampai ke dalam internet. Alasannya, menurut Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik, adalah demi “kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa”.
Untuk ini kita mesti berterima kasih kepada RCTI dan INews TV yang telah sedikit membantu netizen melupakan pandemi. Dan tentu mengajarkan kembali kepada kita tentang moral bangsa.
Tentu saja, kepada siapa lagi coba kita akan belajar mengenai moral bangsa selain ke RCTI? Stasiun televisi terbaik untuk belajar tentang moral bangsa dengan program-program ajaibnya.
Ingatkah netizen semua, sekitar tahun 2014 ketika Wiranto dan Hary Tanoe ingin menjadi presiden dan wakil presiden? Mereka mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi pemimpin kita harus tahu susahnya menjadi rakyat kecil.
Karena itu Wiranto susah-payah rela menyamar menjadi tukang becak dan pedagang asongan. Hary Tanoe bahkan sampai ikut kerja bakti di sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Benar-benar kerja keras yang layak ditiru anak bangsa. Bahwa untuk mengakomodasi ambisi, kita tak butuh urat malu sesekali.
Atau ingat tentang Mars Perindo yang diputar berkali-kali dalam sehari sampai terngiang-ngiang di kepala anak-anak se-Indonesia?
Saya yakin anak-anak saat ini lebih suka dan hapal Mars Perindo ketimbang lagu-lagu kebangsaan. Sungguh pelajaran penting untuk menumbuhkan budaya mencintai lagu-lagu ciptaan dalam negeri.
Kalau saja tidak kena sanksi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mungkin popularitas Mars Perindo sudah akan mengalahkan lagu-lagu Blackpink atau Via Vallen.
Apalagi RCTI juga punya program Dahsyat yang menjadi tonggak gosip musik Indonesia. Program yang mengakomodasi semua style siaran dalam satu acara: musik, gosip, nge-prank, talk show, kuis, olahraga, hipnotis, sampai acara ceramah ustaz. Semua ada. Semua tersedia.
Jadi, kurang bermoral apa coba RCTI ini?
Belum lagi kalau mau belajar tentang moral bangsa, pada masa bencana seperti pandemi saat ini.
Kalau netizen semua masih ingat, pada tahun 2010 ketika terjadi erupsi Merapi di Yogyakarta, RCTI menampilkan tayangan infotainment Silet dengan host Fenny Rose yang mengaitkan ramalan-ramalan paranormal.
Tayangan ini lantas dianggap meresahkan dan memprovokasi warga, berkaitan dengan bencana besar yang akan melanda kota pelajar. Wajar kemudian, sejak tayangan tentang bencana di Yogyakarta tersebut, KPI menerima 1.128 aduan publik untuk RCTI dan program Silet-nya.
Tentu ini adalah pelajaran yang paling penting bagaimana RCTI mengajari publik agar peka dengan literasi media agar mau menyampaikan protes ke regulator penyiaran. Mau ngetes kita semua ceritanya. Benar-benar mendidik. Ngajarin kagak, ngetes iya. Andragogi ya?
Nah, kembali ke soal gugatan. Kalau nanti uji materi undang-undang penyiaran ini disetujui, maka definisi penyiaran akan meluas sampai ke internet. Setiap postingan kita di media sosial, Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan sebagainya akan masuk ke kategori penyiaran.
Seperti yang disebut oleh Kominfo, “Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin.”
Dari analisis Kominfo tersebut kita bisa segera tahu bahwa gugatan RCTI adalah langkah yang cerdas. RCTI atau siapapun di belakang yang mengajukan gugatan ini tentu tahu bahwa di era pandemi ini semakin banyak orang bikin webinar, live Instagram, Facebook, dan lain-lainnya. Maudy Ayundya bahkan berantem sama pacarnya lewat IG live.
Belum lagi di Youtube. Banyak Youtube-youtuber yang kerjaannya cari sensasi bahkan tega ngeprank ngawur demi konten. Dalam jangka panjang tentu tidak bagus bagi karakter anak-anak muda harapan bangsa.
Belum lagi karena semakin ke sini berbagai live online-online itu semua semakin bikin orang capek nontonnya. Bahasa anak sekarang, screen time-nya sudah sampai tahap berlebihan.
Padahal, kalau orang capek, maka imunitas menurun. Kalau imunitas menurun, maka kita akan mudah terpapar penyakit, apalagi pada masa corona seperti saat ini. Wuih, bahaya sekali itu tayangan-tayangan di internet. Jauh berbeda dengan tayangan RCTI yang sangat mendidik.
Nah, dengan memasukkan internet ke dalam definisi penyiaran, nanti orang harus punya izin dulu untuk siaran jadi bisa lebih terseleksi.
Izin ini akan membuat orang akan berpikir ribuan kali untuk coba-coba seperti putus atau ngasih kode-kode ke gebetan melalui IG Live. Dan izinnya tentu harus menyesuaikan dengan birokrasi di Indonesia. Padahal kita tahu, corona saja sulit masuk apalagi izin siaran beginian.
Padahal ada masalah lain yang lebih penting soal siaran, tapi tentu hal semacam ini diabaikan saja karena nggak relevan. Misalnya saja terkait dengan pembatasan kepemilikan media yang tidak diatur dengan tegas dan detail dalam UU Penyiaran yang sedang diuji materi itu.
Kalau itu yang diuji dan pembatasan kepemilikan media disetujui, maka pemilik media tidak bisa seenaknya menguasai media dan melakukan praktik konglomerasi. Kalau ini yang terjadi, ini tentu tidak bijak dalam momen krisis yang butuh character building seperti yang sudah dicontohkan para konglomerat media saat ini.
Belum lagi kalau gugatan ini dikabulkan, konten penyiaran di internet akan jadi tanggung jawab KPI yang bertanggung jawab atas regulasi penyiaran di Indonesia. Selama bertahun-tahun ini, kita tentu sudah cukup tahu track–record komisi-penyiaran-wah–ini.
Meski begitu, kita harus memberi apresiasi karena komisi ini mampu memastikan tayangan-tayangan di stasiun televisi kita mendidik publik, tidak penuh propaganda politik, dan isi tayangannya tidak banyak nyomot konten di Youtube.
Bayangkan kalau KPI nanti punya wewenang mengatur internet bahkan sampai masuk ke Netflix. Kita tidak perlu khawatir lagi di Netflix akan ada drama korea yang bikin sedih, karena bikin sedih itu melemahkan karakter kita sebagai sebuah bangsa sekaligus melemahkan imunitas.
Duh, duh, duh, bahaya sekali.
Karena itu, mereka yang memprotes gugatan RCTI baiknya berpikir ulang. RCTI sudah oke menawarkan revisi UU Penyiaran agar monopoli media berjalan sebagaimana mestinya. Tidak diisi oleh sampah-sampah konten di Youtube, Tiktok, atau Instagram.
Karena, yang namanya sampah itu lebih mudah dideteksi kalau yang buang dikit dan cuma itu-itu doang. Apalagi korporasi media televisi nggak mungkin lah bikin sampah, hawong mereka bisanya bikin limbah.
Eh.
BACA JUGA Inilah Resep Rahasia Tulisan Bisa Tembus Mojok-dot-ko atau tulisan Wisnu Prasetya Utomo lainnya.