MOJOK.CO – Inflasi yang merayap itu bahaya. Untuk mengenali bahaya ini, coba duduk di warteg langgananmu dan amati telur dadar yang makin tipis itu.
Belakangan kita sering mendengar inflasi “terkendali”. Agustus bahkan deflasi tipis secara bulanan, sementara tahunan 2,31%.
Tapi, coba duduk di warteg, deh. Rasa yang dulu tegas sekarang menipis. Artinya apa? Yah harga-harga masih stabil, bahkan cenderung ke arah deflasi karena beberapa kuartal terakhir daya beli masyarakat itu menurun. Sederhananya, kalau daya beli menurun, harga-harga akan ikut turun karena menyesuaikan.
Tapi mari kita detailkan lagi pengamatan kita soal inflasi ini. Kalau melihatnya secara tahunan, inflasi Agustus tahun ini lebih tinggi dari posisi Agustus 2024 yang berada di level 2,12%. Artinya, ada kenaikan.
“Ah, selisih sepersekian persen aja. Nggak akan terasa dan masih terkendali, lah.”
Oke mari kita tepikan sebentar angka-angka statistik itu. Inflasi, mari kita gambarkan secara secara sederhana, seperti tetesan air ke dalam gelas. Terisi perlahan, tapi bisa tiba-tiba penuh dan membludak.
Kita coba rasakan inflasi dari hal yang paling dekat dengan kita, yaitu makanan yang kita makan di warteg, penyetan, rumah makan padang, atau tempat makan lainnya yang akrab dengan kelas menengah bawah.
Warteg adalah barometer ekonomi yang tak butuh ilmu ekonometri. Di sana, Inflasi bisa dirasakan melalui tebal telur dadar, rasa rempah dan bumbu, dan tingkat kepedasan dari sambal yang mereka tawarkan. Gimana tuh maksudnya?
Warteg dan kenikmatan yang berubah karena inflasi
Jadi begini, sebagai penjelajah makanan, saya tentu bukan tipe yang hanya punya satu langganan warteg. Ada beberapa dan semuanya menawarkan harga yang bersahabat untuk kalangan kelas menengah mepet jurang kemiskinan seperti saya.
Sekilas, makanan yang saya beli harganya tidak berubah. Nasi campur dengan tambahan telur dan es teh manis hanya Rp12 ribu. Naik kasta sedikit dengan lauk ayam, ya biayanya sekitar Rp15 ribu.
Di warteg lain, ada yang lebih murah. Misalnya nasi dengan sayur bayam, ditambah dadar jagung, sambal, dan tempe orek hanya Rp7 ribu. Harganya tidak jauh-jauh dari situ.
Kalau melihat harga-harga itu, agaknya tampak tidak terlalu memberatkan isi dompat kan? Tapi sadar nggak, sih, di balik harga makanan yang tetap itu, ada pengorbanan para pedagang makanan tersebut yang harus memutar otak karena inflasi?
Daya beli masyarakat yang menurun
Pengelola warteg merasakan penurunan daya beli masyarakat. Mereka tahu harga-harga tidak bisa dinaikan begitu saja meski bahan baku tidak serta-merta mengalami penurunan.
Ketika sedikit saja mereka naikan, pelanggan warteg mereka bisa berpindah. Omset mereka menurun, kemudian berimbas pada penurunan produksi. Efeknya bisa berlanjut secara domino ke pedagang bahan baku seperti bumbu, sayur, protein yang ada di pasar.
Dalam dunia ekonomi, ada fenomena namanya biflation, di mana deflasi dan inflasi secara bersamaan menghantam masyarakat. Memang kesannya nggak mungkin, bagaimana bisa satu indeks harga, bisa sekaligus naik (inflasi) dan turun (deflasi)? Tapi di dunia yang sakit ini, fenomena seperti itu lumrah terjadi.
Harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak, atau telur stabil atau mengalami penurunan. Tapi di sisi lain, kebutuhan pendukung seperti bawang, sayur, daging ayam, hingga perbumbuan lainnya mengalami kenaikan.
Atau kalau pun tetap, volumenya berkurang untuk harga yang sama. Hasilnya, sebagian keranjang “inflasi”, sebagian lain “deflasi”. Keduanya sama-sama beriringan seperti benda dan bayangannya.
Inflasi diam-diam masuk ke dapur warteg
Kembali lagi soal warteg. Fenomena tersebut membuat inflasi diam-diam masuk ke dapur warteg. Kondisi ini memaksa pemiliknya mengurangi bumbu demi bertahan tanpa harus menaikkan harga. Aroma bawang yang dulunya terasa wangi, kita berubah samar di makanan. Sambal yang pedasnya membuat mata terjaga, kini tak bertenaga dan datar.
Lauk seperti sayur berkuah maupun tumis terasa begitu hambar, tanpa komplemen rasa yang membuat nafsu makan bertambah. Di piring, potongan ayam kian mengecil, telur dadar semakin menipis. Kalaupun tebal, maka tebalnya datang dari terigu yang dioplos ke dalam telur.
Nggak hanya itu, porsi nasi warteg kian menyusut, dengan beras yang sepertinya berbeda dengan yang dulu. Pada akhirnya, inflasi memang tidak mengusik dompet kami para pelanggan, tapi mengusik kami dengan rasa makanan yang hambar.
Ini kondisi nyata
Mungkin akan ada yang mengira saya hiperbolis atau terlalu subjektif, terlebih ini soal penilaian rasa. Apakah lidah saya benar-benar bermasalah sehingga semua makanan di warteg langganan saya terasa hambar?
Sayangnya tidak. Apa yang saya rasakan nyatanya didukung juga sama data. Di Surabaya, harga bawang (putih dan merah), menyentuh angka di atas Rp34 ribuan/kg.
Percabaian pada bulan agustus lalu sempat menyentuh angka Rp40 ribuan/kg di pasar tradisional seperti Pucang dan Soponyono. Belum lagi daging ayam yang per kilonya sudah di angka hampir Rp40 ribu, telur bisa lebih dari Rp25 ribu per 10 butirnya. Apakah ini berlaku secara lokal? Sayangnya enggak
Melansir databoks, dalam skala nasional, harga-harga untuk bahan baku pendukung makanan seperti bawang merah dan bawang putih masing-masing telah mencapai Rp41-Rp42 ribu/kg dan Rp38 ribu/kg. Percabaian yang harganya paling murah di kisaran Rp34 ribu sampai Rp43 ribuan per kilogram.
Itu hanya sedikit dari sampel bahan baku yang mengalami kenaikan harga karena inflasi. Ada banyak komponen bahan baku lainnya yang naiknya sedikit demi sedikit, tapi lama-lama bisa mencekik.
Akibatnya tentu memaksa para pengusaha warteg mencari cara. Mulai dari menawar ke harga yang sesuai dengan BEP mereka, hingga memangkas seluruh kebutuhan perbumbuan dengan mengorbankan cita rasa dari masakannya.
Mereka agaknya tahu, bahwa bagi kelas menengah bawah, rasa itu urusan kesekian. Yang penting adalah porsi mengenyangkan dan harga yang tidak berubah mendadak.
Apakah hal itu dibenarkan?
Mengotak-atik komposisi bumbu dan mengorbankan rasa demi tetap mempertahankan harga yang diterima pelanggan warteg? Tentu saja dibenarkan. Setidaknya itu lebih adil ketimbang harus berlaku licik dengan menggunakan bahan baku yang busuk.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan pengelola warteg karena inflasi. Sebab mereka bukan antagonis dalam kondisi getir ini.
Sebaliknya, mereka sama seperti kita para pelanggan, yaitu sesama aktor utama yang berjuang memperpanjang nafas di tengah inflasi merayap. Kita tidak bisa selalu menuntut mereka untuk selalu menyediakan rasa yang mantap dengan harga lama, sebab biaya hari ini tidak bisa dibayar dengan romantisme kemarin.
Lalu siapa antagonis utama untuk episode inflasi yang diam-diam memudarkan rasa makanan di warteg langganan kita? Siapa lagi kalau bukan para mafia bahan baku, para penjilat kekuasaan, para pemain di balik regulasi cacat, dan para distributor dan supplier nakal. Mereka membuat kelangkaan terkesan alami, padahal semuanya adalah rekayasa di balik layar.
Sekali lagi, inflasi itu nyata. Agaknya pemerintah jangan terlalu terlena dengan pertumbuhan ekonomi yang melejit di lima persen dan omong kosong soal inflasi yang terkendali. Di meja makan rakyat kecil, inflasi bukan sekadar angka, sebab ia begitu terasa sampai memudarkan cita rasa dan memadamkan selera makan.
Penulis: Iqbal Haqiqi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mengenal Apa Itu Inflasi yang Sering Ditakuti dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.











