MOJOK.CO – Disingkirkan lewat TWK, lalu harus melewati berbagai keruwetan karena peralihan status menjadi ASN KPK. Sebuah drama yang melelahkan.
Saya tidak pernah punya mimpi apalagi cita-cita menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Jadi, setelah lulus kuliah, buat saya, kesibukan di Jaringan GUSDURian bisa diklaim sebagai pekerjaan. Namun, perjalanan hidup kadang menjadi misteri dengan berbagai kejutan di dalamnya.
Pertengahan 2016, saya mendapat selebaran yang menginformasikan bahwa KPK melakukan perekrutan pegawai tetap lewat program “Indonesia Memanggil 11”. Karena dipanggil Indonesia, saya tergerak hatinya untuk menjawab panggilan tersebut. Mengikuti tes yang berlapis sampai akhirnya di Desember, saya dinyatakan lulus.
Ada banyak pertimbangan yang membuat saya memutuskan bergabung di KPK. Pertama, ada warisan gagasan Gus Dur yang melekat dalam proses kelahiran KPK. Kedua, status kepegawaiannya adalah pegawai independen. Sebelum revisi terjadi, KPK tidak masuk dalam rumpun trias politika. Keistimewaan status ini dikarenakan KPK lahir sebagai mandat reformasi. Ketiga, saya mendengar bahwa iklim bekerja di sana sangat egaliter. Hal terakhir saya setelah bekerja di sana selama empat tahun sembilan bulan sebagai pegawai Fungsional Biro Humas.
Tujuan iklim egaliter dibangun adalah memudahkan check and balance internal. Oleh sebab itu, saya tidak merasakan derita sebagai “umbi-umbian” yang kerap kali muncul di akun @PNS_Ababil. Tidak ada kesewenang-wenangan “esmelon” terhadap “rakyat umbi-umbian” dengan slogan “asal bapak senang” atau bawahan siap salah.
Semua punya kesempataan berkembang dan mengevaluasi satu sama lain dengan porsi yang sama. Ada kebanggaan tersendiri menjadi pegawai KPK, karena privilege ini tidak bisa dirasakan oleh “umbi-umbian” di instansi lainnya.
Hingga akhirnya, mimpi buruk terjadi di Agustus tahun 2019. Saat itu, KPK digempur dengan revisi Undang-Undang KPK secara mendadak. Saat bangun tidur, hape sudah riuh dengan berbagai pranala berita yang menginformasikan DPR memutuskan untuk melakukan revisi terhadap UU tersebut.
Tumben sekali DPR bersemangat membahas perbaikan UU KPK yang dianggap akan menguatkan. Tanpa ada pembicaraan, surat cinta, atau undangan, DPR dan pemerintah mengambil keputusan sepihak.
Hal yang paling dikhawatirkan terkait revisi UU adalah independensi dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi. Salah satunya status kepegawaian harus ASN dengan batas waktu peralihan maksimal dua tahun setelah Undang-Undang berlaku.
Palu sudah diketok, kami menghormati produk hukum yang dikeluarkan DPR dan Pemerintah. Namun, di kemudian hari, kami tidak menyangka bahwa gagal beralih status menjadi ASN itu ternyata serasa nestapa yang tidak pernah terbayangkan sama sekali dalam hidup 75 orang pegawai yang dinyatakan TMS.
1. ASN dan ketidakpastian
Ada satu hal yang perlu diingat. Kalau mau jadi ASN di KPK, artinya harus siap menghadapi berbagai ketidakpastian. Terutama dari berbagai bentuk informasi dan proses yang dilalui.
Kalau kamu tipe yang suka kepastian, kamu tidak bakalan cocok jadi ASN di KPK. Hal ini terjadi di mana pegawai KPK tidak pernah mendapat penjelasan yang pasti sejak awal sosialisasi, proses tes, dan hasil akhir tes.
Sosialisasi TWK tidak pernah ada kejelasan, terutama soal standar nilai dan ketentuan lolos tidak lolos. Pertanyaan itu dijawab dengan penuh keyakinan nan mantap oleh Pak Firli Bahuri:
“Kalian kan lahir dan besar di Indonesia. Pasti harus yakin bisa mengikuti TWK. Yang penting tidur yang cukup, pikiran tenang, Insya Allah semuanya bisa.”
Jawaban yang sangat meyakinkan….
Berkat “suntikan semangat” dari Pak Firli, berbekal keyakinan saya lahir dan besar di Indonesia, saya persiapkan diri sebaik-baiknya. Seyakin Pak Firli memotivasi 1.357 pegawai KPK yang harus ikut TWK.
Supaya lebih meyakinkan lagi, saya berburu kumpulan soal persiapan CPNS. Sangat niat jadi ASN, nih. Tidak lupa saya mengunduh Modul Materi Dasar Pembinaan Ideologi Pancasila yang dikeluarkan BPIP. Semua saya persiapkan supaya tidak memalukan saat menjalani TWK.
Saya tidak mau ada kejadian lupa urutan Pancasila. Tidak lupa kalau ditanya berapa jumlah bulu di sayap garuda, jumlah ekor, sampai pengamalan butir-butir Pancasila. Bahkan saya hafal pembukaan Pancasila karena selalu dibacakan setiap upacara hari Senin semasa sekolah dulu. Saya merasa yakin 100%.
Namun, mimpi buruk belum usai juga ternyata. Empat hari menjelang tes, kami baru diinformasikan bahwa TWK yang akan diselenggarakan menggunakan metode Indeks Moderasi Bernegara. Metode apa itu? kami sama sekali tidak tahu. Tidak banyak informasi yang beredar di Internet kecuali terkait dengan isu Kenzo, tentara yang pernah menggunakan atribut bendera tauhid.
Penjelasan dari Pimpinan KPK hanya secara general, di mana tes akan fokus pada indikator kenetralan ASN dan antiradikalisme. Dua indikator tersebut bermuara pada asas ketaatan terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan tentu saja Pemerintah yang sah.
Penjelasan yang terlalu singkat ini masih membuat saya merasa yakin bahwa tes akan berlangsung dengan baik dan mudah. Iya dong, enam tahun di Jaringan GUSDURian masak iya tidak bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila?
Toleransi sudah jadi makanan sehari-hari. Keadilan sosial adalah salah satu kampanye yang sering diusung Jaringan GUSDURian. Belum lagi track record saya sebagai alumni PMII dan IPPNU, di mana NU adalah ormas yang punya komitmen kuat terhadap Pancasila dan NKRI. Harusnya asas kenetralan dan taat pada unsur-unsur yang disebutkan sudah terpenuhi dong.
Sayangnya, ketika ujian dilaksanakan, saya menghadapi kenyataan yang berbeda. Indeks Moderasi Bernegara yang kemudian saya ketahui sebagai metode untuk rekruitmen tentara oleh TNI AD, ternyata bentuk soalnya membuat kami dilematis.
Harus memilih opsi setuju dan tidak setuju untuk pertanyaan-pertanyaan yang buat saya tidak biasa. Seperti “Semua Cina sama saja.” Saya bingung, bahkan dalam dunia romansa, saya tidak pernah bilang bahwa semua lelaki sama saja ketika putus cinta. Tapi dalam TWK ini saya harus memili setuju atau tidak setuju terhadap penyataan “Semua Cina sama saja.”
Belum lagi soal lainnya: “Semua orang Jepang sama kejamnya”, “Kulit berwarna tidak pantas menjadi atasan kulit putih”, “UU ITE mengancam kebebasan perpendapat.” Pernyataan tersebut buat seorang yang pemikirannya kritis tentu rasanya seperti jebakan. Jawab setuju salah, tidak setuju juga salah.
Sesi wawancara TWK rasanya tidak berbeda jauh dengan sesi interograsi calon menantu ketimbang calon pegawai ASN. Tidak terbayang sama sekali wawancara pekerjaan ditanya kayak gini:
“Berapa kali pacaran? Pacaran sekarang apakah menuju ke pernikahan? Dan kalau pacaran ngapain aja? Apakah orang tua ada yang PNS? Saudara kandung bekerja di mana?”
Rasanya saya tidak melihat korelasi pertanyaan tersebut dengan asas ketaatan terhadap Pacasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan pemerintah yang sah. Apakah jawaban pernah pacaran tiga kali artinya saya ini Pancasilais? Atau kalau saya menjawab, misalnya, model pacaran saya adalah tahlilan, artinya saya mengimplementasikan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa? Bagaimana kalau jawabannya saya isi dengan kegiatan diskusi?
Saya bingung jawaban apa yang tepat supaya bisa disimpulkan sebagai manusia yang Pancasilais dan siap mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. Tapi saya kemudian ingat kembali motivasi Pak Firli bahwa saya harus yakin karena saya lahir dan besar di Indonesia. Pasti saya bisa lulus Tes Wawasan Kebangsaan.
2. Tidak lolos menjadi ASN KPK, artinya siap mendapat berbagai label
Singkat cerita, setelah dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS), saya bersama 75 pegawai lainnya kemudian dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan. Kami terindikasi tidak netral sebagai ASN, bahkan 51 pegawai tidak bisa dibina karena “label merah”.
Merah, radikal, dan tidak netral….
Seberbahaya itukah 51 pegawai KPK? Kesimpulan apa yang diambil oleh asesor dari pertanyaan status pacaran, status pekerjaan orang tua, baca qunut atau tidak, hingga hasil akhirnya adalah “merah” dan tidak bisa dibina?
Bersamaan pengumuman tersebut, di luar beredar narasi bahwa tidak lolosnya 75 pegawai KPK adalah bukti ada radikalisme. Bukti kami adalah taliban yang sudah sewajarnya tidak lolos TWK, tidak layak jadi ASN, dan harus diberhentikan dari KPK.
Saya dan 75 pegawai yang TMS cuma bisa ketawa getir. Bagaimana tidak? Ada 10 beragama Kristen dan Katolik dalam barisan 75 yang dituduh taliban. Pendiri Oikumene di KPK tidak luput dari sematan taliban para buzzer.
Lantas, bagaimana dengan saya dan teman-teman nahdliyyin, yang hobinya tahlilan tapi disematkan taliban? Kami mencoba tafakur, intropeksi diri, jangan-jangan ada pernyataan kami di sesi wawancara yang kemudian disimpulkan menjadi radikal, tapi kami gagal menemukannya. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk bertanya kepada atasan, apakah bisa mengakses hasil TWK kami masing-masing? Ternyata dijawab hasil TWK kami adalah rahasia negara.
Baru kali ini akhirnya kami menyadari keberadaan kami begitu berbahaya bagi negara, khususnya KPK. Sudah dapat label merah, dituduh taliban, hasil TWK kami pun rahasia negara. Belum lagi soal kami diberhentikan per TMT 30 September 2021. Sedangkan pegawai yang memenuhi syarat (MS) akhirnya dilantik pada 1 Juni 2021 bertepatan dengan momentum hari lahir Pancasila. Simbol-simbol ini dilakukan seolah-olah untuk menegaskan bahwa 75 pegawai KPK ini memang tidak nasionalis, merah, dan tidak layak bekerja di KPK.
3. Drama panjang yang mengikuti status ASN
Untuk menjadi ASN KPK artinya harus siap melihat drama panjang antarlembaga negara menyikap TWK KPK yang ajaib dan kontroversial. Drama Ikatan Cinta ternyata tidak bisa mengalahkan ruwet dan melelahkannya drama alih status pegawai menjadi ASN.
Meski Ombudsman RI (ORI) menyatakan bahwa terdapat maladministrasi dalam penyelenggaraan TWK, dan Komnas HAM menemukan ada 11 pelanggaran HAM, kedua hasil penyelidikan tersebut tidak membuat Pimpinan KPK berubah pendirian. Status TMS 57 yang tersisa dari 75 tak kunjung dicabut atau ditindaklanjuti. Kami terkatung-katung kehilangan arah. Padahal keputusan MA dan MK mengesahkan TWK sebagai norma, namun tidak masuk ke ranah proses dan hasil yang menjadi ranah kewenangan pemerintah.
Kami pikir, pemberhentian kami di 30 september menjadi akhir dari drama yang berjalan hampir empat bulan terakhir. Kejutan yang tidak diduga-duga adalah Kapolri menyatakan minatnya untuk merekrut 57 pegawai yang diberhentikan menjadi ASN Polri. Konflik cerita yang belum diketahui akan berujung bagaimana, membuat kita berpikir sejenak. Kenapa menjadi ASN Polri bisa, menjadi ASN KPK tidak bisa? Mengapa bisa berbeda standar ASN Polri terkait hasil TWK 57 pegawai KPK?
Namun, pangkal dari semua masalah TWK ini adalah diamnya Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Beliau memang pernah memberi pernyataan bahwa hasil TWK ini hendaknya menjadi bahan untuk perbaikan lembaga. Bukan menjadi dasar untuk pemberhentian.
Sayangnya, titah Pak Jokowi ini tidak menjadi acuan bagi Pak Firli untuk bertindak. Belakangan, Pak Firli mempercepat pemberhentian 57+1 pegawai dengan alasan batas waktu alih status yang diatur undang-undang adalah 17 Oktober.
Tentu diamnya Jokowi mendatangkan kekecewaan. Apalagi lewat Juru Bicaranya, Beliau menyampaikan pesan bahwa “Jangan apa-apa dibawa ke saya.” Tentu kami menjadi bingung untuk menanggapinya. Apakah keruwetan drama TWK ini memang harus diselesaikan dengan pengangkatan 58 mantan pegawai menjadi ASN Polri?
4. Sekali lagi tentang label taliban, Kontroversi Bendera HTI, dan fakta lain yang mengikuti
Pelabelan yang disematkan kepada kami ternyata tidak berhenti di momentum pemberhentian 58 pegawai di tanggal yang bersejarah: 30 September. Tepat ketika kami pamitan dan meninggalkan Gedung Merah Putih, beredar narasi bahwa benar adanya taliban.
TWK ini dianggap menjadi momentum untuk bersih-bersih dari berbagai anasir yang membahayakan. Bukti bahwa sebagian besar telah berkhidmah belasan tahun, pernah menangkap puluhan koruptor, hilangnya penglihatan, penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Jokowi sendiri, hingga fakta beberapa beragama non-muslim, harus kalah dengan beredarnya sebuah foto bendera tauhid yang diklaim berada di meja pegawai KPK.
Foto tersebut beredar disertai sebuah surat terbuka yang berasal dari mantan pegawai. Dia mengaku memotret foto tersebut dan melemparkannya ke sebuah grup berbasis ormas.
Dampak dari viralnya foto tersebut adalah dia diberhentikan dengan hormat. Beredarnya surat terbuka dan foto bendera dimanfaatkan sebagian pihak untuk menggiring opini. Mereka membenarkan bahwa kami adalah taliban yang pantas diberhentikan. TWK adalah alat bersih-bersih dari berbagai pihak yang terindikasi membahayakan negara ini. Bahkan belakangan beredar kabar pula bahwa Novel Baswedan adalah pihak di balik pemecatan satpam tersebut.
Viralnya narasi bendera tauhid tidak dibarengi fakta di belakangnya. Pemotret bendera tersebut, yang kemudian diketahui namanya Iwan Ismail, adalah mantan pegawai yang ditempatkan di bagian pengamanan rumah tahanan (rutan). Tugas yang sangat spesifik ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa ruangan di mana foto tersebut diambil adalah ruangan kerja penuntutan di mana akses dan kewenangannya terbatas.
Belum lagi narasi yang beredar bahwa pemilik meja dengan bendera tauhid itu adalah meja pegawai yang terindikasi terpapar radikalisme. Bahkan sempat beredar pula narasi bahwa pemilik meja adalah bagian dari 58 pegawai yang diberhentikan karena tidak lolos TWK.
Faktanya, meja tersebut milik jaksa, salah satu ASN yang dipekerjakan di KPK. Karena statusnya sudah ASN, pemilik meja tidak mengikuti TWK yang kontroversial. Jadi, tidak benar dan tidak ada kaitannya bendera tersebut dengan 58 pegawai yang diberhentikan melalui TWK. Tidak benar, bahwa 58 pegawai yang diberhentikan adalah taliban, karena faktanya sebagian dari 58 ternyata “saliban”, dan sebagian lainnya penyuka tahlilan. Hasil pemeriksaan pengawas internal pun menyimpulkan bahwa pemilik meja tersebut tidak memiliki afiliasi dengan kelompok tertentu.
Narasi lain yang tersebar terkait foto bendera tauhid tersebut adalah, orang di balik pemecatan Iwan Ismail adalah Novel Baswedan. Kita semua tahu bahwa Novel Baswedan selama ini bekerja sebagai penyidik yang tidak ada kaitannya dengan masalah manajemen kepegawaian.
Tidak diketahui asal-muasal dan apa argumennya sehingga Novel Baswedan ditarik-tarik dalam permasalah pemecatan ini. Belakang diketahui bahwa alasan pemberhentian Iwan Ismail adalah tindakannya menyebarluaskan foto internal KPK kepada publik tanpa proses klarifikasi, konfirmasi, dan penjelasan yang utuh terhadap pemilik meja dan kronologi bendera tersebut dipasang di sana.
Iwan Ismail lebih memilih untuk konfirmasi dan melaporkan ke publik ketimbang ke atasan langsung. Tindakan ini tidak profesional dan menyebakan citra KPK di mata publik menurun. Meskipun Iwan berkilah bukan dia yang mengunggah ke media sosial, dia perlu tahu bahwa sebuah foto tanpa caption ketika disebar keluar, tidak ada yang bisa menjamin dan mengontrol bahwa foto tersebut tidak dipergunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Dari keseluruhan rangkaian yang terjadi, saya menyimpulkan ternyata betapa ruwetnya perjalanan untuk beralih status dari pegawai KPK menjadi ASN. Kalau peserta CPNS tidak lulus TWK bisa tahu skor nilainya, pegawai KPK tidak bisa mengakses karena hasil TWK adalah rahasia negara.
Peserta CPNS pun tidak pernah mendapat embel-embel tidak berwawasan kebangsaan, taliban, apalagi label merah. Berbeda dengan kami yang harus menanggung beban pelabelan. Namun, hal yang unik hari ini, yang diberhentikan karena tidak lolos TWK, ternyata ditawari menjadi ASN Polri. Kalau peserta CPNS yang tidak lolos TWK, apakah bakal ditawari CPNS Polri? Belum tentu, kan?
Ingat, drama 58 pegawai KPK yang diberhentikan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi, belum selesai. Jadi, saksikan terus dramanya di televisi kesayangan Anda semua.
BACA JUGA Cinta yang Berakhir untuk KPK dan tulisan dramatis lainnya di rubrik ESAI.