Melihat berita soal kerusuhan dalam laga Persita Tangerang kontra PSMS Medan di Stadion Persikabo, Bogor, Rabu lalu yang di dalamnya terdapat aksi kebrutalan tentara saat menghajar para suporter Persita, atau saat melihat video persekusi anggota TNI kepada seorang pemuda, yang ndilalah kok ya ngehek, karena tindakan sembrononya menghina TNI di sosial media, rasa-rasanya membangkitkan kegelisahan saya soal tentara.
Ini menjadi unik. Baru seminggu lalu TNI merayakan hari ulang tahunnya dengan cara menggaungkan slogan kemanunggalan mereka, “Bersama rakyat TNI kuat”. Ealah, kok ujug–ujug muncul dua peristiwa yang memergoki betapa mudahnya TNI menggampar dan menghajar masyarakat sipil.
Bagi saya, ini tentu saja sesuatu yang wagu. Tentara kok menghajar sipil? Di mana letak heroiknya? Apalagi sebabnya cuma sepele, masalah ribut sepak bola dan masalah penghinaan oleh pemuda bau kencur yang mungkin untuk onani pun belum bisa sesuai dengan panduan yang baik dan benar. Dua masalah yang menurut saya tak perlu bagi seorang tentara untuk main kekerasan sebab blas nggak ada pengaruhnya sama stabilitas nasional negara kesatuan Republik Indonesia.
Saya sadar betul akan hal ini. Dua puluh enam tahun lebih saya tinggal bersebelahan dengan kompleks perumahan Akademi Militer Angkatan Darat terbesar di Indonesia, membuat saya banyak merasakan pengalaman betapa tentara selalu punya cara untuk memberi pelajaran pada sipil tanpa harus main kekerasan; cara-cara yang tidak membuat slogan “Bersama rakyat TNI kuat” berubah menjadi “Bersama rakyat TNI kumat”.
Nah, berikut ini adalah beberapa cara elegan militer dalam menghukum sipil tanpa harus main tangan, tapi tetap ampuh untuk menghukum sipil-sipil “pembangkang”.
#1
Ini hukuman yang dulu pernah didapatkan oleh kawan-kawan saya karena ketahuan mencuri kelapa muda di kompleks perumahan Akmil, tak jauh dari kampung saya.
Entah bagaimana ceritanya, aksi pencurian kelapa muda ini berjalan tidak mulus dan dipergoki oleh seorang tentara.
Sebagai hukuman, para tersangka kemudian dikumpulkan di kantor perumahan. Dan, betapa baik dan berbudi luhurnya para tentara ini, para tersangka yang ketahuan mencuri kelapa muda ini kemudian malah diberi apa yang mereka curi. Mereka diberi masing-masing dua kelapa muda.
Tapi jelas harus ada timbal baliknya.
Para maling kurang peruntungan itu kemudian disuruh mengupas kelapa muda tersebut. Namanya hukuman, ya tidak dengan bantuan golok, terlalu gampang. Mereka disuruh melakukannya dengan mulut.
Mereka baru boleh pulang dan dinyatakan bebas dari persidangan bila masing-masing sudah berhasil mengupas kelapa muda tersebut dengan mulut mereka.
Bagi orang yang kesurupan saat jathilan atau kuda lumping, mengupas kelapa dengan mulut tentu urusan remeh belaka, namun bagi orang yang sedang waras dan tidak sedang dirasuki demit apa pun, mengupas kelapa dengan mulut adalah salah satu bentuk penyiksaan yang ngilu lagi menyakitkan.
Boleh dibilang, hukuman ini kejam sekaligus tidak kejam. Kejam karena si terhukum akan begitu tersiksa, tidak kejam karena orang yang melihat hukuman ini tak akan merasa iba.
Alhamdulillah, meski telah berkali-kali mencuri di kompleks tentara, saya sama sekali belum pernah mendapatkan hukuman jenis ini. Yah, mungkin si tentara sadar, melihat topografi gigi saya yang progresif ini, mengupas kelapa dengan mulut bukanlah bentuk hukuman, melainkan rekreasi atau pertandingan persahabatan.
#2
Kali ini cerita soal kawan saya, sebut saja Marcopolo. Ia terciduk oleh militer karena mabuk di tempat yang tak semestinya.
Dalam kondisi yang masih liyut, ia dibawa ke markas untuk menerima hukuman. Kali ini hukumannya adalah mandi.
Ya, mandi. Namun, bukan mandi biasa, melainkan mandi malam hari dan dipaksa untuk menghabiskan satu batang sabun langsung saat itu juga.
Bayangkan, malam hari, diberi satu batang sabun mandi, disuruh mandi, dan sabunnya harus habis.
Yang terjadi kemudian adalah Marcopolo memulai guyuran air pertamanya saat mandi pukul sebelas malam, dan baru bisa menuntaskan dan menghabiskan sabun mandinya pukul tiga pagi.
Itu adalah mandi paling lama yang pernah dirasakan Marcopolo.
#3
Ini hukuman yang dulu pernah didapat bapak saya sewaktu muda dan masih bujang karena kelewat bengal.
Jadi, dulu itu, entah karena momentum apa, pernah ada peristiwa penjarahan di kantor pos tak jauh dari perumahan Akmil.
Hasil jarahan yang begitu besar nilainya saat itu adalah perangko dan bertumpuk-tumpuk majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang.
Bapak saya bukan tipikal orang pemberani. Dia tidak ikut dalam aksi penjarahan tersebut. Sayang, walau tidak terlibat langsung, ia rupanya ikut mengambil andil yang justru sangat besar peranannya: sebagai penjual hasil jarahan.
Dasar nasib. Penjarahan itu terlacak oleh tentara dan bisa diusut sampai tuntas. Para pelaku termasuk bapak saya sebagai penjual jarahan ditangkap dan lagi-lagi dibawa ke kantor perumahan untuk menerima surprise.
Dan tahukah Anda kali ini hukuman apa yang diberikan? Tentu saja bukan disuruh ngremusi halaman-halaman majalah Djaka Lodang seperti yang dilakukan kepada para pencuri kelapa muda tadi.
Hukuman yang diberikan kali ini adalah, tangan para tersangka diikat ke belakang, dibuka celana mereka, kemudian ditaburkanlah satu kompi alias satu genggam semut rangrang di balik celana dalam mereka.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah penderitaan berbalut sensualitas.
Si pemilik burung pusaka akan kelojotan menahan gigitan-gigitan si semut. Sedangkan si semut berpesta pora karena mendapat ladang eksplorasi yang baru.
#4
Hukuman yang ini lagi-lagi diterima oleh bapak saya. Bedanya, yang menerimanya bapak saya sendiri, tidak bareng-bareng dengan sesama tersangka. Sebab, tersangkanya ya memang bapak saya thok.
Kejahatan yang dilakukan bapak saya adalah kepergok melintasi jalan kompleks perumahan Akmil yang jelas-jelas bertanda “Dilarang lewat selain penghuni”.
Bapak saya lewat dengan gerobak kayuh es kelapa muda. Saat itu, bapak saya masih jualan es kelapa muda di kantin sekolah SMP Ahmad Yani yang lokasinya berada di dalam kompleks perumahan Akmil.
“Heh! Kamu bisa baca nggak itu tanda?” tanya seorang tentara yang memergoki bapak saya.
Sadar akan kesalahannya, bapak saya langsung pasrah. Ia pun menjawab dengan jawaban yang tak berkelit.
Akhir perkara, bapak saya disuruh putar balik. Bedebahnya, bapak saya harus putar balik tidak dengan posisi gerobak maju ke depan, melainkan harus dikayuh mundur ke belakang sama persis seperti rewind saat ia salah melintasi jalan.
Sampai rumah, bapak saya langsung bercerita dengan penuh emosi. “Padakke aku ki pemain sirkus wae!” Memangnya aku pemain sirkus!
Mendengar ceritanya, tentu saja saya tertawa tak habis-habis.