MOJOK.CO – Bandara YIA masih gagal menjadi poros pertumbuhan ekonomi Kulon Progo. Proyek besar dari Jogja tak pernah benar-benar menyapa rakyat kecil.
Kemarin, saya membaca esai Mas Priyandyka Triputra Mahendra di Mojok berjudul Bandara YIA Gagal, Bikin Jogja Butuh Bandara Baru Lagi? Saya sepakat satu hal.
Bandara YIA memang belum maksimal dalam membawa kesejahteraan untuk warga Daerah Istimewa Yogyakarta (baca: Jogja), khususnya Kulon Progo. Tapi saya tidak sepakat kalau solusi dari ketidakmaksimalan itu adalah Jogja membangun bandara baru lagi.
Saya ingin menulis ini bukan untuk menyanggah Mas Priyandyka secara membabi buta. Bukan. Saya ngerti betul, esai ini niatnya baik yakni menggugat ketimpangan, mempertanyakan efektivitas, dan menyodorkan alternatif.
Tapi, menurut saya, alternatifnya perlu kita timbang baik-baik, jangan sampai kegagalan satu bandara malah kita respons dengan bikin bandara baru yang berpotensi gagal juga. Niatnya nyari terang, tapi jangan malah main membakar lilin di tumpukan jerami.
Bandara YIA dan kegagalan
Bandara YIA memang megah, luas, dan katanya tahan Tsunami. Tapi sayangnya, sampai hari ini belum berhasil menjadi poros pertumbuhan ekonomi Kulon Progo.
Saya sering ke Wates dan kawasan Temon. Di luar pagar bandara, yang saya lihat bukan geliat ekonomi tapi geliat kekecewaan. Warung tutup. Petani kebingungan. Lahan-lahan yang dulu produktif sekarang cuma jadi bayang-bayang proyek besar yang tak pernah benar-benar menyapa rakyat kecil.
Padahal YIA dibangun dengan janji yang muluk-muluk. Ia bisa menjadi magnet investasi, menyerap tenaga kerja, mendorong UMKM, hingga membuka gerbang wisata barat Jogja.
Nyatanya? Menurut data BPS Jogja, pada 2023, pertumbuhan ekonomi Kulon Progo hanya di angka 4,52%. Angka ini lebih rendah dari Sleman yang mencapai 5,71%. Malah kalah sama Gunungkidul, yang notabene nggak punya bandara tapi rajin dikunjungi wisatawan setiap akhir pekan.
Mari kita balik sebentar ke tahun 2015-an, saat pembangunan Bandara YIA mulai dirancang. Proyek ini disebut sebagai Proyek Strategis Nasional. Anggarannya triliunan. Lahan yang dibutuhkan ribuan hektare. Konflik sosial tak terhindarkan.
Puluhan petani di Temon bertahun-tahun bertahan di sawahnya sambil menolak digusur. Bahkan sampai ada “Paguyuban Warga Penolak Bandara”.
Semua itu terjadi bukan karena mereka anti kemajuan. Mereka melakukan protes karena mereka kemungkinan besar bandara ini dibangun bukan untuk mereka.
Dan kini, setelah Bandara YIA berdiri gagah, kekhawatiran mereka terbukti. Warga sekitar tidak naik kelas ekonominya. Akses pekerjaan terbatas. UMKM sulit masuk ke ekosistem bandara. Alih-alih menyambut pertumbuhan, mereka menyaksikan tanahnya diambil, sawahnya lenyap, dan keuntungannya menguap.
Lalu ketika kita merasa bandara ini gagal, apakah solusinya bikin bandara lain lagi di Jogja? Akarnya belum dibereskan, tapi menanam pohon baru?
Ibarat nasi masih mentah di magic com, kita malah pengin masak nasi lagi di panci. Kalau sudah tahu satu bandara sebesar Bandara YIA aja belum bisa membawa kemajuan berarti, apakah bikin bandara baru adalah jawaban yang bijak?
Baca halaman selanjutnya: Bandara baru bukan solusi, malah menghadirkan bahaya.
Lanud Gading Gunungkidul bukan solusi yang aman
Saya bukan ahli geologi. Namun, saya tahu betul kalau Gunungkidul itu tanahnya dominan batuan kapur.
Pernah melihat motor nyungsep karena selip di tikungan Playen waktu hujan? Nah, bayangin pesawat Boeing 737 mendarat di atas landasan yang di bawahnya lapisan karst. Bahaya. Tanah karst itu labil. Bisa berongga. Retak halus dikit, pesawat bisa kesandung.
Lagipula, Gunungkidul tanpa bandara saja sudah macet tiap Sabtu-Minggu. Bayangin kalau ada bandara sebesar Bandara YIA.
Jalan Wonosari bisa-bisa jadi jalur neraka baru. Kalau ditambah bandara, bayangkan kemacetannya. Bahkan tanpa bandara saja sudah seperti sumbu pendek yang siap meledak. Belum lagi tekanan pariwisata akan merusak keseimbangan ekologi kawasan karst dan pesisir. Bukannya mendorong wisata yang berkelanjutan, malah jadi wisata yang membebani bagi Gunungkidul dan Jogja.
Bandara di Turi Sleman jelas berbahaya
Bandara di Turi Sleman adalah ide yang menarik di atas kertas, tapi menakutkan kalau kita merenungkannya baik-baik. Turi itu dekat dengan Gunung Merapi. Bahkan termasuk zona rawan bencana.
Bandara dibangun untuk stabilitas transportasi, bukan untuk berjudi dengan erupsi yang bisa terjadi kapan saja. Kalau Merapi erupsi, bukan cuma bandara yang bubar, tapi juga sistem penerbangan domestik yang bisa lumpuh karena debu vulkanik.
Jangan lupakan sejarah. Tahun 2010, saat Merapi erupsi besar-besaran, penerbangan dari Adisutjipto sempat dihentikan total. Itu bandara di Maguwo yang jauh dari puncak Merapi, bukan Kota Jogja, bukan pula Turi yang lebih dekat ke kawah.
Kalau bandara sebesar Bandara YIA berdiri di sana, artinya kita bikin fasilitas miliaran rupiah di jalur bencana. Sama saja kita membangun hotel di tengah sungai, lalu heran kenapa kebanjiran.
Mengaktifkan kembali Lanud Adisutjipto juga bukan ide solutif sebagai pendamping Bandara YIA
Saya pribadi setuju kalau bandara ini punya nilai historis dan sudah punya infrastruktur dasar. Tapi, menghidupkan kembali Adisutjipto sebagai bandara komersial penuh bukan perkara gampang.
Runway pendek untuk standar pesawat besar, apron-nya sempit, dan banyak bangunan di sekitarnya. Perlu perluasan besar-besaran yang artinya relokasi, pembebasan lahan, dan konflik sosial baru di Jogja. Apakah kita siap mengulang luka yang pernah terjadi di Temon, Kulon Progo?
Mungkin bisa saja di-upgrade, tapi akan sangat mahal dan beresiko konflik sosial baru. Jangan lupa, keberadaan Bandara YIA salah satunya karena Adisutjipto sudah tidak bisa dikembangkan lagi. Jadi, kalau ide upgrade ini muncul, harus diiringi dengan pertimbangan teknis dan sosial yang matang. Jangan cuma karena kangen.
Jadi, apa solusinya untuk Bandara YIA?
Buat saya, yang harus dibenahi bukan bikin bandara baru, tapi memaksimalkan potensi Bandara YIA itu sendiri. Bandara itu sudah berdiri dan menyita lahan rakyat. Sudah menghabiskan triliunan rupiah uang negara. Masa iya kita tinggalkan begitu saja lalu bikin yang baru?
Perbaiki konektivitas. Karena salah satu alasan Bandara YIA belum maksimal adalah aksesnya yang masih dianggap jauh dan mahal. Meski sudah ada kereta bandara, tapi jadwal dan integrasinya masih kurang nyaman.
Saya pernah coba naik kereta bandara dari Tugu ke YIA, tapi tetap harus nunggu lama dan waktu tempuh total tetap di atas 1,5 jam. Bandingkan dengan dulu ketika dari Tugu ke Adisutjipto cuma 20-25 menit.
Kalau jalan tol Jogja-YIA benar-benar selesai dan terintegrasi dengan baik, mobilitas ke Bandara YIA bisa lebih singkat. Pemerintah juga harus dorong layanan shuttle murah dari Sleman, Bantul, dan kota Jogja ke YIA.
Diskusi yang menarik
Pemerintah juga perlu mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis lokal di sekitar Bandara YIA. Ini penting.
Bandara jangan hanya menjadi tempat datang-pergi, tapi harus menyambungkan pengunjung dengan potensi lokal. Bantu UMKM Kulon Progo masuk ke terminal bandara. Bikin zona kuliner dan oleh-oleh yang dikurasi dengan baik. Libatkan warga sebagai pelaku, bukan sekadar penonton proyek besar.
Desentralisasi pariwisata itu penting. Jangan semua wisatawan dijejalkan ke Malioboro dan Borobudur. Angkat potensi wisata di sekitar Kulon Progo seperti Kalibiru, Waduk Sermo, atau Pantai Congot, tapi dengan pendekatan yang tidak eksploitatif. Bikin paket wisata yang ramah lingkungan dan sosial.
Membangun bandara bukan seperti bikin warung kopi. Bukan soal “coba-coba, kalau ramai ya syukur, kalau sepi ya tutup”. Ini soal visi jangka panjang, lingkungan hidup, dan keadilan ruang. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah satu bandara dengan bikin bandara lain tanpa memperbaiki masalah dasarnya.
Mas Priyandyka sudah membuka diskusi yang menarik. Tapi izinkan saya memberi catatan kecil bahwa jalan keluar dari bandara yang gagal bukan bikin bandara baru, tapi bikin bandara yang ada jadi benar-benar hidup dan memberdayakan.
Karena kalau tidak, kita cuma akan punya deretan bangunan mewah yang sunyi—dan warga di sekitarnya tetap saja lapar.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bandara YIA Megah, Kulon Progo Melarat, Aerotropolis Hanya Janji Manis Belaka dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
