Ketika saya dulu aktif dalam advokasi Tragedi Kecamatan Temon, narasi Kulon Progo jadi kaya raya adalah tandingannya. Bahkan menggunakan nubuat entah dari mana asalnya. Katanya, burung besi akan menguasai langit negeri Nyi Ageng Serang. Membawa kemakmuran. Kalau dibuat modern, namanya aerotropolis.
Apakah ramalan manis itu sudah terwujud? Belum! Apakah akan terwujud? Entah, tapi makin terlihat mustahil.
Kulon Progo yang kini memangku bandara YIA hanya jalan di tempat. Pembangunan yang terkesan mewah di muka menutupi kemelaratan yang menjalar. Kulon Progo masih seperti dulu, tersisih di sisi barat Jogja. Masih terjebak kemiskinan yang membuat garuk-garuk kepala.
Realisasi janji di atas kertas tidak juga menunjukkan hasil. Bahkan dengan pembangunan tol hari ini, ancaman ketimpangan malah makin melebar. Kulon Progo tidak bisa menunggu. Kini ia melarat. Besok? Mungkin sekarat.
Kulon Progo masih menyedihkan setelah janji aerotropolis
Saya masih geli mendengar janji aerotropolis. Sebuah konsep di mana bandara YIA akan jadi titik nol pembangunan. Bandara internasional ini tentu mengundang investasi di sekitarnya. Nantinya, masuknya investor akan membangun sebuah kota baru. Tempat ekonomi berbasis bandara akan berkembang pesat.
Bagus sih ketika disuarakan. Apalagi dikemas menjadi konten romantisasi yang bau anyir itu. Tetapi sampai hari ini, aerotropolis belum menunjukkan tajinya.
Mimpi gedung-gedung pencakar langit tempat perputaran ekonomi masif hanya muncul di maket. Lalu muncul mimpi agro-aerotropolis. Memadukan mimpi kota bandara yang maju dan basis agraris Kulon Progo. Makin manis janjinya, makin sulit realisasinya. Yang tersisa hanyalah kemiskinan.
Bahkan angka kemiskinan Kulon Progo masih tertinggi di DIY. Persentase rakyat miskin di Kulon Progo pada 2024 adalah 15,62%. Bahkan angka ini lebih tinggi dari persentase nasional 9,03%. Sudah hampir 5 tahun YIA diresmikan. Lalu kapan Kulon Progo mentas?
Baca halaman selanjutnya: Hanya jadi jalur, buka muara…




















