Hanya jadi jalur, bukan muara
Pasti Anda penasaran: apa yang salah dengan Kulon Progo. Kalau mau jujur, konsep agro-aerotropolis saja sudah salah sejak dalam pikiran. Bagaimana mungkin menggabungkan konsep metropolitan dan masyarakat agraris tanpa “jembatan” yang jelas?
Misal, bagaimana melibatkan petani lokal sebagai suplier hotel mewah tanpa pendampingan, edukasi, dan modal? Akhirnya akan menyerah pada tengkulak pemegang modal. Segala penunjang pertanian modern perlu investasi besar. Bukan hanya menunggu mereka bangkit sendiri ketika Aerotropolis ini nyata.
Ini baru satu contoh saja. Tetapi mari tunda dulu untuk membodoh-bodohkan mimpi siang bolong tadi. Dan fokus pada masalah hari ini.
Masalah utama yang dialami Kulon Progo adalah konsentrasi perputaran ekonomi. Pembangunan YIA, Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS), sampai tol tidak akan menggerakkan ekonomi. Justru membuat Kulon Progo terjebak sebagai jalur. Hanya dilintasi modal besar yang masih diisap oleh daerah yang terus berkembang: Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
Sektor pariwisata, racun peradaban yang selalu dipuja, juga tidak konsisten dikembangkan. Akses dan promosi pariwisata malah mentok di YIA. Diarahkan ke Sleman dan Jogja. Padahal di selatan YIA ada garis pantai panjang yang potensial. Di sisi utara, Pegunungan Menoreh siap dikembangkan (baca: dieksploitasi). Tapi mana?
Kelambatan (atau mungkin kegagalan) pembangunan aerotropolis membuat Kulon Progo gagal jadi muara. Tidak ada perputaran uang selain di dalam YIA dan sekitarnya. Kulon Progo yang luas tidak benar-benar terkoneksi satu sama lain. Tidak juga dikembangkan untuk menghentikan arus kapital agar berputar di kabupaten ini.
Tapi bagaimana Aerotropolis bisa terbangun? Lha wong investornya saja ragu.
Investor saja belum yakin dengan Kulon Progo
Namanya membangun kota, apa pun istilahnya, tidak bisa bermodal “awak sehat ati semangat”. Investor harus ditarik masuk. Masalahnya, apa nilai tawar Kulon Progo selain YIA yang denyutnya belum seramai harapan itu? Yang ada malah dua alasan untuk menunda investasi: harga tanah dan infrastruktur mentah.
Mungkin harga tanah di Kulon Progo belum segila Kota Jogja. Tapi tetap tidak masuk akal bagi investor. Ini bukan kata saya, lho, ya. Bupati Kulon Progo sendiri, Agung Setyawan, yang bilang. Tentu investor mencari lahan yang strategis dan masih terjangkau sebagai investasi.
Perkara harga tanah bukan masalah yang berdiri sendiri. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ikut merangkak naik. Akhirnya, PBB juga naik. Akhirnya investor malas membeli, dan warga lokal menari dalam ketimpangan yang perih.
Memang masih ada lahan berharga murah. Harganya masih beberapa ratus ribu per meter. Nah, kini masalah kedua yang jadi sandungan.
Infrastruktur pendukung di Kulon Progo hanya matang di sekitar YIA dan Jalan Daendels. Sisanya, ya seperti beberapa tahun silam. Dari perkara sesepele jalan sampai fasilitas umum lain belum merata di wilayah yang bisa digenjot potensinya. Yah, aerotropolis kemarin juga hanya maket, sih. Tidak ada implementasi nyata dan komprehensif.
Tunnel effect yang harus diatasi
Situasi menyebalkan di atas menciptakan Tunnel Effects. Mereka, pembawa kapital, memang mendarat di Kulon Progo. Tapi kabupaten ini hanya jadi terowongan menuju pusat investasi yang lebih dulu matang. Maka terowongan ini perlu dibongkar. Tapi bukan berarti membongkar terowongan “terpanjang” di bawah YIA.
Pertama, jadikan Kulon Progo sebagai ruang tamu DIY. Biarkan para “tamu” duduk dan melihat potensi yang sebenarnya masif. Ini berarti peningkatan infrastruktur secara merata. Sesederhana membangun jalur wisata terintegrasi dari YIA ke Pantai Glagah, lalu naik ke Perbukitan Menoreh.
Dari pariwisata sampai perkantoran harus dikuasai Kulon Progo. Yang akhirnya, mendorong sektor properti, kesehatan, dan fasilitas swasta lain.
Kedua adalah peningkatan SDM. Saya tidak suka menyebut manusia sebagai sumber daya. Tapi melihat daerah ini merana, ya perbaiki dulu SDM-nya. Sehingga serapan tenaga kerja tidak hanya menguntungkan, lagi-lagi, Sleman dan Jogja.
Beasiswa sampai pelatihan, yang tidak hanya formalitas ala prakerja, harus jadi prioritas. Kemudian buat jalur bagi SDM Kulon Progo untuk mengakses sumber ekonomi ini.
Tapi bagaimana dengan lini agroindustri? Bagaimana konsep agro-aerotropolis? Ya konsepnya saja tidak masuk akal. Suka tidak suka, lini agribisnis akan ditumbalkan. Karena titik nol pembangunan sudah dipindah dari tiap desa ke bandara perenggut hak hidup itu.
Sekarang kita tinggal bertanya: bagaimana implementasinya? Jelas semua stakeholder di Kulon Progo dan DIY harus berpikir keras. Ingat, kalian digaji rakyat untuk mengatasi masalah ini. Masalah yang sebenarnya kalian ciptakan dari mimpi serampangan.
Sebaiknya kalian semua bergegas. Sebelum patung Nyi Ageng Serang turun dari tugunya dan mengamuk di ruang rapat kalian.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















