Suatu kali saya nyasar baca blog orang yang ndilalah isinya membahas postingan FB junjungan saya, Tere Liye. Begini isi postingannya:
Saya benar-benar tidak paham kenapa orang-orang mengeluhkan susah menyelesaikan skripsi, tugas akhir.
Dek, saya punya teman, dia hanya butuh 14 hari, selesai. Mulai dari mengetik Bab I hingga kesimpulan dan saran. Dapat A saat ujian skripsi. Dan itu di fakultas, di kampus yang standar skripsinya tidak mudah (baiklah, saya sebut saja, FEUI).
Bagaimana cara dia menyelesaikannya? Duduk di depan komputer, jangan pindah walau sejengkal, jangan berhenti (kecuali untuk shalat, makan, mandi/toilet dan tidur), kerjakan 24 jam dalam sehari, dan haram hukumnya membuka internet, game, dsbgnya yang tidak ada hubungan dengan skripsi. Full melototin aplikasi word dan excel. Fokus memeriksa puluhan buku rujukan, artikel, hasil survei, berserakan di lantai.
Kenapa kita tidak bisa melakukannya seperti kawan saya ini? Karena kita banyak alasan dan bahagia dengan alasan2 tersebut. Lebih banyak mengeluh dibanding mulai dikerjakan. Padahal, itu skripsi tetap berdiri menghadang di depan mata, nyengir melihat kita.
*Tere Liye
** siapapun yang tiba2 membela diri di postingan ini (padahal tidak ada pula yang minta penjelasan itu), itu semakin menunjukkan situasi sebenarnya. Daripada kalian komen di sini, mending mulai kerjakan itu skripsi, bila perlu datangi rumahnya.
Meskipun itu postingan lawas tahun 2015 seketika hati saya langsung mak tratap. Betapa tidak, beliau menyebutkan bahwa teman beliau bisa mengerjakan skripsi hanya dalam waktu dua minggu saja. Tak tanggung-tanggung, dapat nilai A dan bukan dari kampus abal-abal: mahasiswa FE UI.
Sebagai sarjana bukan abal-abal yang pernah kelimpungan menggarap skripsi sampai mutah getih ngising beling, saya merasa masygul bukan main dengan kisah itu. La wong buat dapat acc sidang saja harus nunggu dua minggu, apalagi nyusun skripsi sampai berhasil sidang dan dapet biji A! Aeesss, mana mongkeeennn.
FYI, saya kuliah di salah satu universitas negeri di Malang. Namun, setiap fakultas memiliki kebijakan masing-masing dalam mengatur mahasiswa untuk menyusun skripsi. Ya beruntungnya, saya masuk di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Jepang fokus Ilmu Lingusitik yang aturan menuju proses pakai toga ramai-ramai lalu salim Pak Rektor itu jelimetnya minta ampun. Jangankan proses lulus, baru introduksi ke guru SMA dan ortu temen saja, saya sudah mendapat siksaan batin. Sungguh luar biasa negara ini, cocotnya memang tak masuk di akal saya.
“Kuliah jurusan apa kamu, Nov?”
“Sastra Jepang.”
“Wuidihhh, mau jadi penulis cerpen dan pantun bahasa Jepang ya?”
Jawaban lain yang agak anu: “Ediyaaannn, bakal bisa nonton JAV dan Hentai tanpa subtitle! Aku mau les ke kamu aja!”
Jawaban lain yang menumbuhkan nafsu menganiaya: “Masuk sastra gitu, ntar kerja apa ya, Mbak Nov? Jadi guru juga nggak bisa kan ya? Soalnya bukan pendidikan. Mosok mau kerja di bank? Wah susah itu kayaknya.”
Ya sudah, saya hanya bisa diam dan meredam emosi untuk tidak ngepruk kepala mereka satu-satu. Memangnya kenapa dengan jurusan sastra? Kok seolah-olah lulusan sastra masa depannya nggak stabil dan cuma calon pengangguran yang merugikan mertua.
Itu baru tahap introduksi saat ditanya “Kuliah jurusan apa?”, belum proses menjalani kuliah tepat 8 semester dan nggarap skripsinya. Lupakan saja bisa kuliah kayak di FTV endonesa berdurasi 2,5 jam itu: tubrukan sama senior ganteng—pdkt—jadian, kuliah nitip absen, dan nggak perlu bawa buku tulis sama pulpen.
Karena kenyataannya, penghuni fakultas sastra itu mblegadhus, gondrong tidak jelas, banyak yang fanatik anime, 70% cowok-cowoknya ber-style celana gombrong + sepatu hitam + kacamata full frame + jaketan + ransel besar. Wes, ora mashoookkk buat diajak kondangan. Absensi selalu dipanggil satu per satu sama dosen pengajar. Selama 4 semester menjalani mata kuliah Kanji yang sifatnya wajib, 1 kali pertemuan membahas 12 huruf kanji baru. PR menulis di buku kotak besar kayak anak TK, satu huruf ditulis urutan penulisan ditambah hurufnya 20 kali. Bayangkan saja, nulis kanji 1 huruf sebanyak 240 kali. Jika 1 pertemuan ada 15 huruf, rasanya pengin bertanya-tanya, ada nggak pekerjaan yang lebih sia-sia dari ini? Dan masih banyak kenyataan-kenyataan pahit lainnya
Perihal lulus, fakultas saya agak berbeda dari fakultas lain. Ada tahap namanya seminar proposal, yaitu mempresentasikan bab 1, 2, dan 3 yang sudah dapat acc semua dosen pembimbing. Seminar proposal wajib dihadiri minimal 10 audiensi, lengkap beserta 1 moderator dan 1 pencatat kesimpulan. Ada sesi tanya jawab baik dari dosen pembimbing maupun audiensi. Di tahap kedua, ada seminar hasil, yaitu mempresentasikan hasil dan kesimpulan penelitian. Isi dan prosesnya sama seperti seminar proposal, tetapi ada tambahan kehadiran dosen penguji.
Tahap terakhir adalah sidang yang cuma berempat, dihadiri 2 dosen pembimbing, 1 dosen penguji, dan peserta sidang. Setelah dinyatakan lulus, mahasiswa harus memenuhi persyaratan wisuda yang syaratnya tidak kalah nggatheli. Lunas pembayaran apa pun, nyumbang buku ke perpus pusat dan perpus fakultas. Nyumbang juga tidak boleh sembarang buku, harus dua buku, tidak boleh buku yang sudah ada di perpus, dan harus ada hubungannya sama jurusan. Banyak yang jadi korban kapitalisme di tahap ini, niatnya nyumbang, malah beli buku baru di Kinokuniya yang seharga jatah makan 2 minggu itu.
Itu prosedur umum. Bagaimana dengan kendal-kendala sepanjang prosedur itu? Misal, baru mengajukan judul sudah ditolak?
“Judulmu terlalu gampang, ini juga sudah banyak dipakai seniormu. Enak di kamu dong? Tinggal copas? Rawan plagiasi. Ganti!”
Giliran dapet tema yang anti-mainstream dan susah, malah direspons, “Mbok ya yang gampang-gampang saja. Pengin lulus cepet apa wisuda bareng adik tingkat?”
Segala macam prosedur dan kendala-kendala seperti itu bikin saya mikir, apakah temannya Bung Tere sudah nggarap skripsi sejak maba? Begitu kepikirannya saya, sampai-sampai saya (benar-benar) membuat kuesioner berbunyi: APAKAH MUNGKIN MENGERJAKAN SKRIPSI DALAM WAKTU DUA MINGGU SAJA?
Dengan respondennya kurang dari 100 orang, 51,2% menjawab SING GENAH AE, 19,5% menjawab TIDAK MUNGKIN dengan alasan paling lazim adalah DOSEN SULIT DITEMUI (20%), BUKU TEORI MASIH DALAM BAHASA ASING (15%), dan 13% sisanya punya alasan lain yang bahkan mereka sendiri tidak tahu apa alasannya.
Tapi, nyatanya ada yang menjawab MUNGKIN (26,8%). Yang menjawab begini adalah pribadi-pribadi yang kuliahnya mencapai semester dua digit, sudah garap skripsi lebih dari lima bulan, dan hampir DO. Alasan mereka amat ndakik-ndakik, Mulai dari yang penting niat, antara dosen dan mahasiswa harus sehati sepikiran, skripsi tidak butuh penelitian berlarut-larut, dosen baik hati dan alasan-alasan yang mengundang kepruk lainnya.
Ada juga yang menjawab, “Mengalami sendiri, pakai simulasi alat sih, jadi nggak ribet. Sambil running simulasi, sambil garap. Kebetulan banyak skripsi temen temanya sama, jadi nyari dasar teori juga nggak ribet. Beruntungnya lagi dosbing hampir tiap hari di kampus dan selalu nanyain lewat WA. Intinya lucky aja sih :p.”
Ya, nggak semua dosen sebaik dosenmu 🙁
Di jurusan saya, kalau ada dua mahasiswa yang mengajukan tema skripsi yang sama, jurusan akan membuatkan sidang mendadak untuk menentukan siapa yang berhak memakai tema itu. Juga cerita temen-temen saya di pertanian agroteknologi, penelitian menanam wortel, wortelnya nggak numbuh sempurna, ulang lagi menanam wortel sampai masa panen. Apakah hati mereka tidak tersayat-sayat ketika membaca postingan junjungan saya itu? Apakah mereka tidak niat dan tidak fokes dan hanya hapean saja?
Junjunganqu, Tere Liye, bukan kami mengeluh dan membela diri. Ini soal masing-masing kampus dan fakultas memiliki kebijakan dan peraturan yang berbeda. Untuk menyusun skripsi bersih (maksudnya belum dicoret-coret sama dosen), 2 minggu sih masih mungkin. Namun, untuk sampai menjalankan proses sidang, dapat nilai A, kok saya rasa bagai berharap Arsenal juara Liga Champions. Kemungkinan yang, aeess … nggak jadilah.