MOJOK.CO – Singkatnya, hidayah adalah petunjuk atau bimbingan.
Saat kanak-kanak, ada dua bacaan yang selalu membuat saya ketakutan: majalah Misteri dan majalah Hidayah. Salah seorang kakak saya kerap membaca dan mengoleksi dua majalah itu. Majalah pertama berisi kisah mistis atau hal-hal berhubungan dengan dunia gaib, sementara majalah kedua lebih aduhai karena sudah horor sejak dari sampul. Mayat yang dikerumuni belatung, leher orang sekarat dipenuhi ulat, jenazah dimakan biawak—itu adalah sebagian judul seri majalah Hidayah. Bagi para mahasiswa atau peneliti yang hendak menekuni kajian soal azab, majalah ini adalah referensi yang haram dilewatkan.
Perkenalan saya dengan kata hidayah dimulai dari majalah seram itu. Alhasil, sejak kecil, tiap kali bertemu kata ini, saya langsung bergidik. Sebab secara otomatis imaji-imaji menjijikkan dan mengerikan menyerbu kepala saya. Baru kemudian hari saya tahu bahwa kata ini tak ada hubungannya dengan hal-hal seram. Malah ia memiliki konotasi sangat positif. Saking positifnya kita kerap mendengar ucapan semacam “Semoga Allah memberimu hidayah”.
Tentu hidayah yang dimaksud doa tersebut bukan agar kita mendapat gratis langganan majalah seumur hidup. Tapi, saat sebagian orang marah lantaran didoakan agar mendapat hidayah, saya tak begitu heran. Mungkin ketika mendengar doa tersebut di bayangan mereka berkelebat keranda terbang dan kuburan sempit. Ya jelas ngeri dong.
Padahal makna hidayah sama sekali tidak mengandung sesuatu yang patut dijauhi. Kata ini berasal dari bahasa Arab هداية. Secara etimologis, hidayah berarti ar-rasyaad ‘bimbingan’ dan ad-dalaalah ‘petunjuk’. Kata ini bahkan punya keterkaitan yang erat dengan kata hadiah; keduanya memiliki akar kata serupa, yaitu tersusun dari huruf ى – د – ه. Oleh karena itu, arti keduanya mirip-mirip: suatu pemberian yang sama-sama menghasilkan hal positif bagi penerimanya. Bedanya, hidayah bersifat abstrak dan spiritual, sedangkan hadiah konkret, material, dan kadang merepotkan (kalau jadi pihak pemberi).
Bagi pemeluk Islam, kata ini juga tidak asing. Dalam tiap rakaat salat, kaum muslim selalu menyebutkannya walau dalam bentuk kata yang berbeda, tepatnya di ayat keenam Surat Al-Fatihah. Ihdinaash-shiraathal mustaqiim. ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus.’
Kata ihdinaa ‘berilah kami petunjuk’ berarti permohonan hidayah. Dan lagi-lagi perlu saya ingatkan, ini tidak ada hubungannya dengan majalah, pebulu tangkis, atau politisi. Ayat tersebut menyampaikan permohonan agar seorang hamba dikaruniai petunjuk supaya dapat memilah mana yang benar dan salah, baik dan buruk, indah dan teruk.
Bahwa seorang muslim (yang salat) sampai mohon diberi hidayah tujuh belas kali sehari, sebab ia memang dibutuhkan setiap saat. Seorang ulama menyebut, seseorang lebih membutuhkannya daripada makan dan minum. Sebab seseorang butuh makan dan minum hanya ketika ia lapar dan haus, sedangkan hidayah diperlukan setiap helaan napas. Saat ingin menentukan buku yang bagus, kekasih, wakil rakyat, atau sesederhana memilih belokan mana saat Google Maps menyesatkan kita, kita butuh hidayah (petunjuk).
Namun, itu maknanya secara umum. Secara lebih spesifik, hidayah terbagi menjadi dua: hidayatul-irsyaad-wal-bayaan dan hidayatut-taufiiq. Hidayatul-irsyaad-wal-bayaan berupa penjelasan/bimbingan yang bisa diberikan seseorang kepada orang lain. Misalnya, seorang mubalig memberi tahu jamaahnya tentang ilmu tertentu, lalu si jamaah mengamalkannya, itu berarti si jamaah telah mendapat hidayah. Sementara, hidayatut-taufiiq adalah hak mutlak Allah. Ia semacam ilham yang terbetik dalam benak seseorang setelah mengalami proses tertentu. Misalnya ada orang yang sepanjang hidup melakukan kejahatan, lalu ia mendadak berubah menjadi orang baik karena mengalami momen magis tertentu (membaca The Giving Tree atau tak sengaja dengar kisah the Legendary Sayuri). Itulah makna hidayah yang biasanya dibicarakan.
Dalam lembar sejarah kita bisa membaca kembali kisah Umar bin Al-Khattab yang mencontohkan hidayatut-taufiiq. Pada mulanya Umar dikenal sebagai musuh Islam. Ia marah besar saat mendapati saudarinya yang bernama Fathimah masuk Islam. Ia pun mendatangi rumah Fathimah dan menghardiknya. Saat Umar datang, Fathimah dan suaminya sedang membaca Al-Qur’an. Pada momen singkat itu, pada momen ayat-ayat suci menyelusup ke telinga Umar, seketika sejarah berubah. Umar tersentuh hatinya, lantas ia pun menjadi pejuang Islam. Itulah hidayah dan kerap datangnya tanpa direncanakan.
Sayangnya, belakangan kata ini sering digunakan secara serampangan. Ada perbedaan pendapat dalam suatu masalah, eh dikit-dikit bilang “Semoga antum diberikan hidayah”; melihat seseorang berjilbab kurang sempurna, dilontarkan juga “Semoga antum diberikan hidayah”; mendapati seseorang mengkritik tokoh muslim yang memang keliru, juga mengatakan “Semoga antum diberikan hidayah”.
Mendoakan orang lain supaya memperoleh hidayah bukan hal buruk. Malah baik adanya. Tetapi sebagian orang kerap kali menjadikan doa supaya mendapat hidayah sebagai tameng untuk melindungi kesalahpahamannya. Dengan mengucapkan doa itu, seseorang seolah-olah telah menjadi pihak yang benar sedangkan yang didoakan pasti salah. Jadi, alih-alih doa, ucapan semacam itu malah terlihat seperti sedang “nyukurin”.
Padahal, ya ampun, hidayah adalah persoalan privat, urusan pribadi antara seseorang dengan Tuhannya. Boleh jadi orang-orang yang secara zahir kelihatan seperti orang mendapatkan petunjuk, sebenarnya ia cuma bajingan yang diuntungkan oleh fesyen. Dan boleh jadi orang-orang yang kita pikir bakal mendapat tiket surga paling buntut, ternyata adalah orang yang dikaruniai bimbingan paripurna dari Tuhan.
Hidayah adalah perkara rumit dan berkesinambungan. Ia tak sekadar berarti mengenakan hijab, memasang foto profil bendera tauhid, atau mengirim pesan pendek di tengah malam “Assalamualaikum, Ukhti, jangan lupa tahajjud, ya.”
Orang yang mendapat hidayah hari ini, bisa saja besok sudah jadi bajingan. Orang yang kemarin mendapat hidayah, bisa jadi hari ini sudah menjabat perdana menteri iblis. Yah, mirip-miriplah dengan fenomena aktivis kritis yang berevolusi menjadi penjilat penguasa. Tidak ada yang bisa memastikan kapan hidayah datang dan hilang.
Itulah mengapa kita dianjurkan untuk meminta hidayah setiap saat. Termasuk ketika mengakhiri suatu ceramah atau tulisan. Jadi, jangan heran kalau saya menutup tulisan ini dengan kalimat begini: wabillahit-taufiq wal hidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
BACA JUGA Kisah Nu’aiman dan Betapa “Woles”-nya Kanjeng Nabi dan esai Erwin Setia lainnya.