MOJOK.CO – Bagus dan jelek itu relatif. Sialnya, masyarakat ramai-ramai menilai trailer Merah Putih: One For All itu busuk banget.
Bagus dan jelek itu memang relatif. Tapi kita harus ingat bahwa kadar estetika seni juga bersifat kolektif berdasarkan konsensus masyarakat. Sialnya, masyarakat ramai-ramai menilai trailer Merah Putih: One For All itu busuk banget.
Beberapa hari belakangan ini, netizen dibuat heboh (lebih tepatnya nyinyir) dengan munculnya trailer film animasi berjudul Merah Putih: One For All. Tanpa basa-basi, mereka menyebut kualitas film animasi ini jelek!
Meskipun justifikasi ini tidak bisa dibilang adil, karena filmnya belum tayang, dan netizen juga baru menilainya dari trailer berdurasi dua menitan. Namun, dalam perkembangan pasar sinema hari ini kita sama-sama menyepakati bahwa rilisan trailer adalah representasi dari keseluruhan film yang akan diputar.
Trailer selalu menjadi ujung tombak promosi sebuah karya sinema. Tim produser menggunakan trailer untuk memancing respons masyarakat akan produk mereka yang akan dijual. Trailer bisa menjadi mekanisme “cek ombak” pasar yang disasar.
Berdasarkan sistem tersebut, maka wajar jika masyarakat (calon konsumen) film melakukan penilaian pada “semacam brosur” produk yang akan mereka beli. Jadi masyarakat juga sudah boleh memberikan komentar terhadap trailer yang dianggap mewakili keseluruhan kualitas film Merah Putih: One For All.
Tim produksi film juga harus menerima semua komentar dari potongan trailer. Ya karena pola marketing inilah yang mereka bikin sendiri. Warganet sepakat menilai kualitas animasi film Merah Putih: One For All itu jelek
Kita dapat dengan mudah mencari berbagai komentar negatif netizen mengenai film animasi Merah Putih: One For All. Dari keseluruhan riset scrolling pribadi saya di berbagai media sosial, hampir semuanya berkata film ini jelek.
Meskipun ada beberapa akun netizen yang mencoba sok heroik membela film ini, tapi toh pada kenyataannya cercaan netizen lebih mendominasi. Dalam kasus penilaian trailer ini, masyarakat bersatu (bahkan mungkin buzzer pun tak kuasa melawan kesepakatan ini).
Bagus dan jelek itu memang relatif, tapi estetika juga kolektif
Memang kita bisa ngotot-ngototan memperdebatkan kadar estetika film Merah Putih: One For All. Melalui pendekatan filsafati, kita bahkan bisa menggiring perkara bagus-jelek sebuah karya seni dengan sudut pandang subjektivitas.
Kita bisa saja mengatakan bahwa selera seni itu bersifat individual. Apik di aku, belum tentu apik di kamu. Jelek menurutmu, bisa jadi kebalikannya menurut orang lain. Kadang diskusi mengenai estetika seni sering mentok pada dalil di atas.
Namun, banyak orang yang kadang terlewatkan satu hal lain dalam memperdebatkan karya seni. Bahwa kadar estetika seni itu juga bersifat kolektif.
Kita harus ingat, puncak manfaat seni adalah menjadi perangkat untuk memperindah kemanusiaan dalam peradaban, bukan hanya perseorangan. Dengan begitu, nilai keindahan suatu karya seni akan selalu melekat dengan kesepakatan masyarakat.
Suatu komunitas, dalam ruang dan waktu tertentu, biasanya telah menyepakati mana yang indah dan tidak indah dari sebuah karya seni. Ada konsensus masyarakat sebagai konsumen seni yang tidak bisa dihindari penilaiannya. Dan semua seniman pembuat karya mesti maklum akan hal itu. Meski konsensus itu bisa saja berubah pada tempat dan waktu lainnya.
Sialnya, dalam ruang dan waktu hari ini, mayoritas netizen Indonesia sama-sama menyepakati bahwa film animasi Merah Putih: One For All ini buruk. Setidaknya itu yang saya tangkap dari observasi sederhana di ruang media sosial beberapa hari belakangan.
Baca halaman selanjutnya: Nyatanya memang jelek.












