Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Alasan Kita Tak Boleh Menertawakan Minimarket 212

Dewi Setya oleh Dewi Setya
21 Desember 2016
0
A A
Alasan Kita Tak Boleh Menertawakan Minimarket 212

Alasan Kita Tak Boleh Menertawakan Minimarket 212

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ini memang bukan sebuah nyinyiran progresif, kritis, revolusioner ataupun ngilmiah penuh makna pada aksi 212 maupun gerakan para kamerad Kiri. Aslinya ini cuma curhat. Entahlah tulisan ini akan mendarat di rubrik mana. Itu pun jika terverifikasi memenuhi kualifikasi Mojokisma Cik Prim.

Saya punya beberapa sahabat. Pertemanan kami absurd, mungkin tidak masuk kategori bestie mumumu ala anak muda hits konteporer kekinian.

Sebab, tiga tahun terahir kami saling kenal, kami bahkan tidak tahu tanggal lahir masing-masing. Apalagi lempar-lemparan bahan bikin kue saat ulang tahun. Alhamdulillah ya terhindar dari bidah. Kami juga tak saling datang di acara wisuda masing-masing dengan bawa kembang layu, selayu sarjana setelah wisuda yang derita cari kerjanya semuram lagu “Sarjana Abal-Abal Muda”.

Alih-alih kerap bersua di kafe hura-hura, kami sering ketemu di burjo. Bukan karena si teman kere, melainkan karena di usia yang masih muda mereka sukses membuka lapangan pekerjaan dengan bisnis jasa dan kulinernya.

Pada satu pertemuan di siang yang terik, salah satu teman berkhotbah dengan saya dan teman lain sebagai jamaah. Apa yang dia katakan kira-kira begini, “Hari ini, pinter aja nggak cukup. Perlawanan nggak cukup dengan otak dan tulisan. Gimana itu cino-cino dan londo-londo bisa ditaklukkan, kan, nggak cukup pakai teori-teori, apalagi teori yang sering dipakai ngaktivis itu basi semua, delusif dan utopis.”

Itulah sebuah sabda yang cenderung menimbulkan resistensi dari banyak aktivis hari ini. Dasar agen kapitalis! Kuliahnya aja prematur, udah jelas nggak ngaktivis semasa kuliah tuh!

Eits, jangan suuzon dulu. Sahabat ini tamat Das Kapital the series. Meskipun untuk tahu penindasan nggak perlu repot-repot baca Das Kapital sembari ngemil kuaci sih. Bakar-bakaran ban mobil bekas di jalan sudah dialaminya sejak SMP. Yang belum pernah dipraktikkannya cuma bakar kemenyan di kuburan Cina.

Sahabat ini juga menghayati ide dan aksi perlawanan Fidel Castro, mematri dalam-dalam prinsip, pemikiran, hingga kekurangan-kekurangan Mao. Oleh karena ia muslim, Ali Syariati pun menjadi role model dalam laku dan pemikiran. Iqbal, Arkoun, dan Hassan Hanafi ia jadikan teladan dalam berfilsafat dan berkomunikasi di gemerlapnya ruang-ruang seminar.

Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman dijadikan landasan berteori sosial. Tjokro dan murid-muridnya ia jadikan rujukan mengkaji dan merumuskan strategi perjuangan hari ini. Si trio merah, Aidit, Nyoto, dan Lukman, diamini kelincahan berpolitiknya dan dipelajari kehilafan-kekhilafannya. Dari Freire, dipelajarinya bagaimana cara berkomunikasi dengan orang kecil tanpa bahasa-bahasa ndakik dan ngilmiah hingga dapat setubuh dengan kepentingan rakyat.

Jika saya parafrasekan, sabda sahabat tadi kira-kira maksudnya begini: biarlah aktivis-aktivis merasa heroik dengan gaya dan lelakunya yang mengkredit kretek dan cangkir kopi pada keringat orang tua. Biarlah para sarjana berbangga dengan ruang seminarnya.

Dua-duanya berselebrasi dengan follow up nyelfie di ruang maya. Yang hobi demonstrasi gaya fotonya garang sambil memegang TOA. Yang hobinya ke seminar-seminar, selfienya berlatar backdrop seminar jika bukan dengan tokoh pendidik maupun cendekiawan terkemuka. Semuanya dengan caption sesuai proporsinya: ngaktivis dan ngilmiah. Keren.

Akan tetapi, tidakkah kita perlu merumuskan jalan perlawanan yang strategis dan rinci, wahai kamerad? Jika sistem yang menindas saja punya roadmap berjangka yang strategis, opo yo cuma mau dilawan hanya dengan konsolidasi seminggu dengan wujud aksi nyangkem semata? Apalagi kalau follow up-nya cuma ganti status misuh dan foto profil thok.

Jika dibilang bahwa pena adalah senjata kaum intelektual, ingatlah bahwa hari ini perubahan tidak hanya cukup didalangi oleh kaum intelektual.

Intelektual seperti apa? Apakah Musso, Semaun, Sukarno, Aidit cukup membaca buku dan orasi? Marx juga butuh Engels yang menopang keuangannya.

Dan apakah senjata kaum buruh kemudian? Senjata praktisi politik? Senjata seorang saudagar? Jika yang dimaksud intelektual hanya mereka yang terlibat aksi sambil diskusi di warung kopi.

Kalau teropong aktivis itu masih saja hitam putih, borjuis-proletar dengan karakter abad pencerahan Eropa, ada kemungkinan kamerad akan gagal move one. Terjebak romantisme sejarah. Konsekuensinya, menuduh siapa pun yang memiliki alat produksi sebagai penindas. Padahal realitas sosial tak sesederhana itu.

Wahai, kamerad, tolong terangkan bagaimana cara mendefinisikan seorang buruh yang tak memiliki alat produksi di kemudian hari mampu menjadi seorang pemodal yang kelak tetap hidup dengan secara asketis, meneladani Muhammad?

Di kelas sosial manakah seorang saudagar yang merekrut para karyawan dan membiarkan mereka bermusyawarah mengenai gajinya sendiri?

Sahabat saya itu melanjutkan khotbahnya, “Kalo perlu mal-mal di Jogja itu kubeli!”

Yang ia maksudkan, dimensi perlawanan itu tak sesempit media sosial dan jalan. Tak sebatas pertarungan wacana dan pengetahuan. Ada sebuah perlawanan yang terkesan nggak ngaktivis dan nggak keren, tapi hari ini sangat kontekstual. Perlawanan aset.

Siapa yang berani bertarung modal dengan kapitalis?

Nggak perlu ngaku paling Kiri dan idealis kalau melawan cuma dengan seruan, “Dasar kapitalis!” tanpa mampu bersaing aset dengan para pelaku kapitalima itu.

Riuh dalam hal wacana memang perlu, aksi massa juga dibutuhkan, tapi cukuplah itu didalangi aktivis-aktivis belia. Ada fase ketika perlawanan yang kita lakukan tak hanya taktis, tetapi juga strategis. Seperti halnya perkembangan otak manusia, pelaku aktivisme pun mengalami fase perkembangannya. Kecuali jika perkembangannya error.

Merdeka secara materi dan hasrati itu perlu dalam proses aktivisme. Itu kalau mau meneladani Rasulullah yang sudah selesai dengan dirinya sendiri secara materi dan hasrati (beristri dan terpenuhi secara materi) ketika Ia gemetaran didaulat sebagai utusan Tuhan dan berperang melawan elite kapitalisma Mekkah selama lebih kurang 20 tahun.

Jadi, ketika 6 Desember lalu Aa Gym melalui media sosialnya mengetes umat dengan bertanya, “Setujukah saudara jika umat Islam dirikan TV channel 212, bank Islam 212, koperasi syariah 212, dan minimarket 212,” salah besar jika pemirsa (yang tidak mendukung aksi 212) menertawakannya sebagai sikap oportunis. Ini justru sangat strategis.

Dan tiga hari lalu, Koperasi Syariah 212 tersebut sudah resmi didirikan. Tidak ada alasan untuk nyinyir dan tertawa lagi.

Terakhir diperbarui pada 4 Juni 2021 oleh

Tags: 212Aa GymfeaturedHabib Rizieqkoperasi 212minimarket 212
Iklan
Dewi Setya

Dewi Setya

Artikel Terkait

rizieq shihab bebas
Hukum

Rizieq Shihab Bebas dari Rutan Bareskrim, Disambut Keluarga di Petamburan

20 Juli 2022
Pojokan

Kalau Kamu Mau Ceramah Agama, Kamu Pakai Gaya K.H. Zainuddin MZ atau Aa Gym?

4 Agustus 2021
Zara, Posting Video Pribadi Emang Hak Kamu, tapi Hak Itu Nggak Bebas Konsekuensi perempuan edgy kalis mardiasih mojok.co
Kolom

Aa Gym dan Riwayat Mangkelnya Ibu-ibu

13 Juni 2021
mahfud md
Kilas

Massa Pendukung Habib Rizieq Geruduk Rumah Mahfud MD di Pamekasan

2 Desember 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pertama kali naik bus patas setelah sekian tahun naik bus ekonomi. Coba-coba pakai toilet bus malah berujung drama MOJOK.CO

Coba-coba Boker di Toilet Bus Patas, Niat Legakan Perut Malah Dibikin Waswas hingga Repot saat Cebok

19 Juni 2025
Sarjana (lulusan S1) gaji kecil ngaku bergaji Rp10 juta biar bisa dipamerkan orangtua MOJOK.CO

Sarjana Gaji Kecil Ngaku Bergaji Rp10 Juta buat Pamer ke Tetangga, Berujung Jadi Tempat Ngutang padahal Tak Punya Uang

21 Juni 2025
POCO X5 5G Nggak Jelek, cuma Nggak Tahu Malu Aja MOJOK.CO

POCO X5 5G Bukan Hape Jelek karena Pernah Menyandang Status Price to Performance, tapi Cuma Nggak Tahu Malu Aja

18 Juni 2025
Cerita Lintang dan Ayla dari SSB menjadi pemain sepak bola putri yang banggakan Jogja MOJOK.CO

Lintang dan Ayla, Dari Pertanyaan “Perempuan Kok Main Bola” Jadi Inspirasi Sepak Bola Putri di Jogja

18 Juni 2025
Gaya pernikahan anggota perguruan bela diri pencak silat seperti SH Terate kerap diolok-olok MOJOK.CO

Menikah dengan Anggota Pencak Silat Penuh Atraksi, Niat Ekspresikan Kebanggaan Malah Dicap Jamet

20 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.