MOJOK.CO – Jika Kabinet Jokowi memasukkan eks aktivis 1998, bukan cuma Adian Napitupulu atau Desmond Y. Mahesa saja yang perlu dicermati, Amien Rais pun perlu dilirik.
Siapa tak kenal Amien Rais, Bapak Reformasi kita? Sekitar 1997-1998 namanya sangat mengindonesia (wuiiiih). Berkat perjuangan blio bersama mahasiswa, atau bisa juga dibalik: perjuangan mahasiswa bersama beliau, Pak Harto berhasil dipaksa mengundurkan diri 21 Mei 1998. Orde Baru pun jatuh, Indonesia pun masuk era reformasi.
Setelah masuk era refomasi, presiden di masa transisi adalah BJ Habibie. Pemilu pertama setelah Orde Baru mestinya mendudukkan Megawati jadi presiden ke-4, karena PDI menang Pemilu 1999. Tapi akibat Amien Rais lewat politik “poros tengah”, justru yang terpilih malah Gus Dur. Blio malah hanya dapat “hadiah hiburan” sebagai Ketua MPR.
Tapi di situlah kelihaiannya. Amien Rais berhasil mengubah, jika tak mau disebut mengacak-acak UUD 1945. Tak hanya pasal masa jabatan presiden, tapi juga soal syarat menjadi presiden. Bila sebelumnya calon Presiden RI harus keturunan Indonesia asli, diubah menjadi: warga negara Indonesia sejak kelahirannya.
Ternyata Amien Rais memang ada maunya. Dia sendiri ingin Nyapres. Tapi sayang Allah Swt belum juga kasih restu, saat maju dalam Pilpres langsung kali pertama bersama Cawapres Siswono Yudhohusodo, yang terpilih justru pasangan SBY-Jusuf Kalla.
Di lembah hatinya yang sedalam Kali Code, kalau saya jadi blio mungkin saya bakal ngeluh, “Ya Allah, aku yang ‘babad alas wanamarta’, kenapa yang jadi raja malah orang lain melulu?”
Sejak itu Amien Rais tampak “putus asa”, sehingga tampuk pimpinannya di PAN diserahkan kepada pengusaha Sutrisno Bachir (2005-2010), dia cukup menjadi sesepuh, karena secara pisik juga mulai sepuh. Tapi sifat kritisnya tak juga menumpul, justru semakin diasah. Pemerintahan SBY dikritiknya, dinilai didominasi oleh kekuatan negara asing. Presiden, Majelis Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat gagal menjalankan amanat pasal 33 dan pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak itu orang yang tak suka pada Amien Rais mengotak-atik namanya sebagai: Arep Mimpin Ora Isa (kepingin memimpin tidak bisa). Blio semakin eksis sebagai pengritik, jika tak mau disebut nyinyir. Ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI di Oktober 2012, makin asyik dia. Ke Merdeka Selatan nyerang Jokowi, ke Merdeka Utara gempur SBY.
Tapi apa lacur, orang yang diserang terus-terusan justru makin berkibar. Jokowi malah terpilih jadi Presiden RI ke-7 menggantikan SBY. Untungnya, orang Indonesia itu sangat pemaaf. Nazar Amien Rais untuk jalan kaki Yogya-Jakarta bila Jokowi terpilih, tidak selalu ditagih. Pendukung beliau pun membela, “Ah, itu kan cuma guyonan politik.”
Tapi ibarat Max Biaggi di Moto-GP-Universe, Amien Rais tetap gaspol sebagai penyinyir ketimbang sebagai kompentitor. Sampai-sampai netizen kerap menyandingkannya dengan Sengkuni, tokoh pewayangan yang menjadi patih Prabu Duryudana, Raja Astina.
Di Yogya, kelompok Pametri (Paguyuban Masyarakat Tradisi) sempat menggelar ruwatan di depan rumah Amien Rais, di Condongcatur. Mereka baca doa-doa, untuk mengingatkan agar blio kembali suci dan menjadi negarawan sejati. Hm, kurang ajar memang.
Sindiran itu tak menjadikan Amien Rais mengerem langkahnya, ibarat kata: anjing menggonggong khilafah kafilah tetap berlalu. Pemerintahan dan kerja kabinet Jokowi periode pertama terus dikritisi. Yang pro-asing dan pro-aseng lah, yang tukang ngibulah, yang pekoklah, yang cuma lurah Indonesialah. Pokoknya, mendadak blio jadi penganut aliran Salawi: Semua Salah Jokowi.
Anehnya, Jokowi lebih banyak diam, tak mau menangkis atau menjawabnya langsung. Dibilang pemerintahannya rezim pekok, juga cuma ngguyu nggleges, aku ra papa! Mungkin Jokowi pakai filosofi orang tua Jawa, “kalau capek ya paling berhenti sendiri.” Maklum bagi Jokowi, kritikan dan nyinyiran Amien Rais itu masih entheng-enthengan!
Tapi Amien Rais itu kan rosa-rosa macam Mbah Marijan, dia tak pernah merasa capek melempar kritik ke Presiden Jokowi. Agaknya Jokowi sendiri lupa bahwa punya ajian lama yang manjur, yakni Aji Sega Sepincuk, yang selalu cespleng diterapkan sejak jadi Walikota Solo sampai jadi gubernur dan presiden.
Waktu di Solo misalnya, PKL Banjarsari yang susah dipindahkan, begitu berkali-kali diundang makan bersama, dipindahkan ke Semanggi tak menolak pada akhirnya.
Amien Rais sendiri mungkin di hati kecilnya juga heran, Jokowi ini punya ajian apa, digebuki terus kok mendheles saja. Di Pilpres 2019 kemarin menang lagi. Meski digugat kubu Prabowo sampai ke MK segala, tetap saja tak membalikkan keadaan.
Beberapa bulan ke depan, kabinet Jokowi akan disusun untuk kedua kalinya. Untuk menyatukan bangsa yang terbelah jadi “kecebong” dan “kampret”, kabinet Jokowi yang disebut-sebut bakal jadi kabinet rekonsiliasi karena akan mengajak sejumlah tokoh oposisi bergabung dalam kabinetnya. Di samping itu diisyaratkan juga, kabinet Jokowi akan kemasukan sejumlah aktivis 1998.
Jika kabinet Jokowi mau merekrut aktivis 1998, maka bisa masuk nama Adian Napitupulu (PDIP), atau Desmond Y. Mahesa (Gerindra). Tapi jangan lupa. Bila memang serius mau mengajak aktivis 1998, Amien Rais juga layak masuk kabinet Jokowi. Sebab di seputar 1998, dia itu simbahnya aktivis 1998. Bahkan mungkin layak disebut lebih aktivis ketimbang kebanyakan aktivis 1998 itu sendiri.
Di sinilah saatnya Jokowi harus berterima kasih atau berbalas budi pada Amien Rais. Sebab tanpa perjuangan blio, tak mungkin Jokowi bisa jadi walikota, gubernur, bahkan presiden.
Bahkan tanpa Amien Rais di Reformasi 1998 silam, kemungkinan pemerintahan Orde Baru tetap eksis hingga sekarang. Presidennya juga dari Golkar melulu, bukan dari PDIP dan Demokrat. Bisa jadi tanpa blio kita nggak akan kenal, Presiden SBY atau Presiden Jokowi.
Kalau dirasa agak sulit memasukkan nama Amien Rais ke kabinet Jokowi ke jabatan-jabatan kementerian karena udah penuh, bikin aja jabatan baru buat mengakomodasi blio, Tangan Kanan Presiden misalnya.
Etapi ingat Pak Jokowi, tangan kanan ya, jangan tangan kiri. Anu, buat cebok soalnya.