MOJOK.CO – Di balik citranya yang keren, pekerjaan menjadi pramugari ini pun punya tingkat stresnya sendiri. Bahkan kadang lebih parah ketimbang pekerjaan lainnya.
“Kamu sih enak. Gajinya gede, kerjanya cuma senyam-senyum, bobo di hotel, jalan-jalan keliling dunia. Belum lagi kalau beruntung dapet eksmud (eksekutif muda) atau simpanan pejabat. Ups!”
Itu adalah celotehan dari suara baskom kalau dikasih bibir yang nyerocos ketika mengomentari seorang pramugari kayak saya.
Hal yang bikin saya bertanya-tanya, pernah nggak para baskom itu berpikir kalau di balik kehidupan yang terlihat mentereng nan indah di akun Instagram itu, seorang pramugari atau awak kabin ini sebenarnya mengorbankan banyak hal. Dan Seperti profesi lain di dunia, menjadi pramugari itu juga ada masalah-masalah kerjaan yang bisa bikin stres pula.
Mulai dari hal mengerikan, menyebalkan, sampai hal melecehkan. Itu semua pernah saya icip-icip sebagai kenangan hidup. Nah, kebetulan saya akan melaminating secuil kenangan tersebut. Semoga bisa membuatmu berpikir ulang, bahwa jadi pramugari itu juga pekerjaan, bukan untuk liburan.
1) Tetap on meski mata digayut batu satu ton
Untuk mereka yang hanya naik pesawat sebulan sekali atau seminggu sekali dengan penerbangan paling pagi, mungkin tak masalah jika sesekali harus bangun pada waktu-waktu maling beraksi. Terlebih sampai di pesawat bisa ngelanjutin mimpi yang sempat terputus tadi.
Sebagai pramugari atau awak kabin pada umumnya, hal itu harus dinikmati hampir setiap hari. Untuk penerbangan pukul empat pagi, biasanya harus bangun pukul satu malam untuk mandi dan berdandan biar on.
Muka bantal mata balon, tetap tersenyum demi kenyamanan perjalanan Anda. Meski sebenarnya udah tidur barang beberapa jam, tapi rasanya kayak habis begadang aja.
Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya.
Begadang boleh sajaaaa, kalau ada jadwal terbangnya.
2) Berjumpa berbagai macam aroma dan wujudnya
Jika Anda pernah mabuk perjalanan, Anda pasti paham siapa yang akan dengan tulus dan ikhlas membersihkan muntahan Anda jika perjalanan masih panjang. Atau mungkin beberapa orang yang masih belum paham menggunakan toilet, bahkan khawatir pesawat jatuh karena salah tekan tombol flush-nya. Tak apa, ada awak kabin di sini bersedia nge-flush hajat Anda.
Plus dengan berbagai aroma dan wujudnya yang kadang masih menggelayut di kepala saya.
3) Awak kabin harus selalu siap salah
Jika Anda laki-laki penganut mazhab perempuan selalu benar, maka di pesawat adalah kesempatan Anda untuk membalikkan kredo itu. Misalnya, ketika pesawat mengalami keterlambatan salahkan saja pramugarinya.
Tak perlu paham bahwa awak kabin itu cuma melayani penumpang. Urusan penentuan jadi berangkat atau tidak bukan di tangan kami. Bahkan, sering kali penyebab keterlambatan pesawat itu justru demi keselamatan dan keamanan penumpang. Contohnya karena memperbaiki masalah teknis atau ada masalah dengan cuaca.
Percayalah, diomeli karena delay adalah kesedihan yang paling sering disembunyikan awak kabin. Sebab harus kami yang pertama menanggung omelan para penumpang itu semua.
4) Berhadapan dengan penumpang yang bandel
Tipe penumpang yang beragam membuat awak kabin menghadapi kebandelan yang beragam pula. Tak jarang penumpang malu saat ditegur hingga memilih berkilah dan marah untuk menutupi rasa malunya. Ini hal yang sering terjadi.
Terutama kalau masalah telepon genggam, semua bisa jadi hal menegangkan ketika di dalam kabin pesawat. Tidak jarang penumpang yang masih memakai telepon marah ketika saya tegur.
“Saya orang penting! Banyak urusan! Kamu tidak tahu saya sedang sibuk?”
Percayalah, saya pribadi pernah menerima pernyataan seperti itu. Padahal kalau kenapa-kenapa justru kita semua yang sibuk.
Itu baru satu masalah, belum lagi masalah penggunaan sabuk pengaman, sandaran kursi, penutup jendela, sandaran tempat duduk, bagasi kabin, penggunaan headset dan kamera, serta masih banyak lagi kebandelan yang membuat awak kabin harus tetap menekan suaranya dalam keadaan tenang dan ramah.
Kadang-kadang ketika kesabaran sudah mulai luntur dan kemarahan sudah ada di ubun-ubun, saya sering membayangkan, “Huft, andai saja mereka yang sulit diajak bekerja sama itu bisa dihukum disuruh duduk di sayap pesawat sepanjang perjalanan.”
5) Lingkungan memaksa mengubah gaya hidup
Menjadi pramugari memang mendapat citra “wah” dari teman-teman sendiri. Hal ini sering kali bikin gaya hidup kita jadi harus mengikuti. Dan itu kadang menjadi sulit, terutama buat Anda yang bukan dari golongan sosialita, alias dari kelompok sederhana kayak saya.
Pada saat perut lapar menunggu jadwal keberangkatan, sulit sekali cari warteg di area bandara, pada akhirnya mau tak mau harus beli makanan di resto dalam bandara. Dengan harga yang tentu saja muahaaal banget.
Iya, memang nggak masalah kalau sekali-sekali begitu. Tapi kadang-kadang situasinya mengharuskan kita membeli makanan di dalam bandara itu berkali-kali. Saya yakinkan untuk Anda, pengeluaran beli makanan di dalam bandara berkali-kali itu beneran setara untuk beli batako, pasir, dan semen buat bangun rumah.
Itu pun baru makan siang di bandara, belum dengan makan malam kalau menginap di luar base. Cemilan buat di pesawat, jalan ke sana-kemari tapi bukan mencari alamat, tiap ketemu mal langsung masuk tanpa pikir panjang.
Lantas menjelajahi kota-kota tujuan, dan malah membeli barang-barang yang sebetulnya tidak penting-penting amat, hanya karena ajakan teman satu “kantor”. Sampai akhirnya menyadari kalau kerjaan yang dijalani itu justru kadang malah mengeluarkan banyak sekali biaya.
6) Siap mati demi pekerjaan
Sungguh, pernahkah Anda tahu bahwa setiap lepas landas dan mendarat para awak kabih dibekali pesan dengan istilah “one minute silent review”. Berdiam diri selama satu menit saat duduk di jump seat lalu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi dan hal apa yang harus dilakukan terkait dengan situasi tersebut.
Agak mengerikan jika secara blak-blakan dikatakan bahwa pramugari memang disiapkan untuk menghadapi kematian. Pramugari harus selalu siap mati di setiap sedang menjalani pekerjaannya.
Memang jika dibandingkan dengan transportasi darat, tingkat kecelakaan transportasi udara hanya mencakup 1% risiko dan 99% keamanan. Namun ketika satu persen itu terjadi, tak ada yang bisa menjamin keselamatan nasib kami selanjutnya.
Maka dari itu, tolong dipahami poin keempat tadi bagi penumpang. Plis, jangan bandel. Mari kita, dari awak kabin dan penumpang, saling kerja sama dengan baik agar sama-sama tetap hidup dan tetap bernyawa saat pulang ke rumah.
7) Pelecehan
Tentu ini tergantung pada bagaimana Anda menafsirkan kata “pelecehan” di sini. Apakah harus secara fisik atau pelecehan lebih ke arah psikologis seperti catcalling? Yang jelas semua itu dari sisi korban sama-sama aja terasa pelecehannya. Sama aja menyakitkannya.
Lucunya, saya kadang tak habis pikir, kenapa kalau pramugari mendapatkan hal itu malah sering dianggap hal lumrah? Apa ini karena profesi kami adalah melayani penumpang? Jadi risiko itu dianggap biasa-biasa saja?
Pelecehan bagi seorang pramugari itu bahkan terjadi dalam dua aspek. Di atas, ketika di dalam kabin pesawat, dan di bawah saat turun dari pesawat. Di atas pesawat risiko itu ada, ketika ketemu penumpang-penumpang kurang ajar yang merasa dengan memiliki uang bisa memiliki segalanya, misalnya.
Berikutnya, yang kedua, pelecehan saat mendarat dan bertemu dengan teman-teman di luar profesi pramugari. Tudingan yang melecehkan seperti pernyataan di awal tulisan ini tadi sering ada. Kaya pertanyaan, “Kamu simpanan eksmud ya?” itu benar-benar tudingan menyakitkan ulu hati sih.
Sebuah pertanyaan yang lebih ke arah pelecehan ini sebenarnya, masih sering kami terima. Bahkan pandangan masyarakat umum pun belum berubah dari seputar citra negatif menjadi seorang pramugari.
Ini barangkali terkait pada penampilan dan sikap ramah kami ke setiap penumpang yang sering disalahartikan. Kalau ke laki-laki dianggap kasih perhatian berlebihan, dari sesama perempuan dianggap coba menarik perhatian.
Yah, harus diakui, inilah hal yang paling bikin risih dan meresahkan bagi seorang pramugari. Termasuk saya yang akhirnya memilih berhenti jadi pramugari dan kini lebih memilih mengajar di salah satu sekolah penerbangan di kota saya.
Sambil terus berharap, bagaimana profesi pramugari tidak dicitrakan sebagai profesi yang hanya mengandalkan wajah cantik dan penampilan yang menarik saja. Sehingga di balik glamornya profesi ini, masih aja ada berkeliaran sentimen negatif yang sering bikin saya emosi.