MOJOK.CO – Konflik sektarian di India memang ngeri sekali. Meski gitu, setidaknya ada 5 hal yang bisa kita pelajari dari persoalan pelik mereka.
India sedang panas.
Kalau selama ini kita tahunya India ini penuh artis Bollywood yang suka joget-joget gaje waktu jatuh cinta, kali ini kita melihat India versi lain. Bukannya joget gaje tapi kita malah nonton kerusuhan massa gaje yang mengakibatkan nyawa melayang.
Di beranda saya sudah ramai soal konflik India ini. Di beberapa media pun sudah diberitakan mengenai beberapa kelompok dari Indonesia yang berdemonstrasi di Kedutaan India.
Sebagai warga negara non-India, saya tentu turut berduka cita. Tapi sebetulnya melihat konflik antar-agama dari negeri lain bisa memberikan kita hikmah-hikmah tersendiri lho buat kita yang ada di Indonesia.
Pertama; empati yang selektif dan bersyarat
Coba deh, kalau Anda baca berita soal konflik sektarian India ini. Coba amati komentar-komentarnya. Ya nggak perlu baca komentar yang bahasa India juga dong, baca aja dari netizen Indonesia yang santuy dan unyu-unyu kalau udah ngomongin soal identitas agama.
Saya bisa membagi komentar-komentar itu menjadi beberapa kategori. Tapi yang paling bikin gemes adalah komentar yang nyukurin korban karena mereka muslim, dan yang kedua yang empati ke korban hanya karena korbannya muslim.
Oke, sebentar, sebentar. Gimana tuh maksudnya?
Jadi gini.
Komentator pertama itu maksudnya orang yang udah kadung jengkel sama oknum muslim yang intoleran di negara tercinta kita. Begitu ada korban muslim di negara lain, mereka seolah sedang menemukan momentum “balas dendam” ke oknum muslim di sini. Lalu muncul lah komentar pedas dan tidak mengenakkan hati itu.
Sedangkan yang kedua, berempati hanya karena korbannya kebetulan muslim. Nah, kalau yang jadi korban kebetulan bukan muslim, orang kayak gini mah diam-diam bae—atau lebih parah, ikut nyukurin juga.
Jadi, hal pertama yang kita pelajari di sini, empati itu harganya mahal, Gaes. Empati yang betulan empati lho ya. Sebab manusia sering terbawa-bawa bias pribadinya. Kalau empati bersyarat dan selektif sih itu gampang ditemuin.
Kedua; elite yang berulah, rakyat korbannya
Konflik sektarian di India ini terjadi karena undang-undang mengenai keimigrasian yang dicetuskan oleh pihak Pemerintahan Modi. Aturan tersebut memang sangat mendiskriminasi umat Islam di India.
Saya rasa, sebetulnya sentimen antar-agama memang berpotensi terjadi di sana dan sedang meningkat. Namun, sepanjang nggak ada “biang kerok” pencetusnya, ya konflik itu nggak bakalan meletus.
Dan siapa lagi penyebab masalah ini kalau bukan sekumpulan sampah elite politik India sendiri?
Di mana-mana rasanya seperti ini, ya. Salah satu resep utama konflik horizontal adalah adanya potensi konflik dan elite yang ora nggenah.
Jadi sebagai pembelajaran aja. Kalau kita cuma rakyat biasa, jangan mau lah dibodoh-bodohi sama yang namanya elite politik. Terutama politisi yang doyan dongkrak suara elektoral pakai baju identitas kesukuan atau agama.
Kata-kata mutiara yang isinya “dalam perang tak ada yang menang” itu bullshit aja sih. Yang bener, “dalam perang yang menang selalu elitenya. Rakyatnya? Ya jadi yang bayar biaya perangnya lah.”
Nggak percaya? Lah itu, liat aja war on terror di Amerika.
Di pihak Amerika pun, prajuritnya yang cuma kroco selalu jadi korban—entah lewat pajak tinggi atau jadi korban perang beneran. Sementara pemilik dan petinggi perusahaan senjata Amrik lah yang untung gede-gedean.
Ketiga; dampak negatif pada citra negara
Sebelum ada konflik sektarian ini, citra India di Indonesia secara umum sih oke-oke aja. India bukan Myanmar, bukan Cina, dan bukan Israel yang namanya buruk di negara kita. Malah India dikenal karena filmnya yang digemari sejuta umat.
Akan tetapi, semenjak ada konflik sektarian ini, bohong rasanya kalau citra India tidak berubah. India jadi dipersepsi sebagai negara penabuh kekerasan dan berbahaya bagi minoritas—wabilkhusus bagi orang Islam. Padahal, citra buruk begini bisa berdampak jelek ke investasi sampai pariwisata.
Nggak percaya? Coba aja tanya ke Pak Jokowi. Eh.
Jadi mohon maaf yak, yang mungkin bikin investasi Indonesia seret selama ini dibanding Malaysia sama Thailand bisa jadi adalah konflik sektarian kita. Ya siapa coba investor dan wisatawan gila yang mau datang ke negara yang diberitakan penuh aksi massa dan kekerasan?
Bisa jadi itu yang bikin Pak Jokowi ngebet bikin Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Selain soal penanggulangan kaum ekstrimis dan radikalis, kelangsungan badan itu juga untuk mencegah munculnya benih-benih sektarian.
Padahal, benih-benih itu sebenarnya disebar oleh sesama rekan politisi ketika kampanye dulu.
Ibarat habis pesta pora, sekarang bikin lembaga bersih-bersihnya. Cuma bedanya, yang sekarang “tukang bersih-bersih” residu-residu politik itu dianggarkan negara miliaran rupiah. Pakai uang siapa? Ya apalagi kalau bukan pakai uang pajak dari rakyat sendiri.
Jadi buat para politisi yang lagi bikin undang-undang, hambok tolong dong jangan nyalahin buruh atau rakyat jelata mulu gara-gara investasi di Indonesia rendah. Coba lirik ke sejawat Anda sendiri yang suka menimbulkan keresahan publik dengan pernyataan-pernyataan rasis nan diskriminatif.
Kalau masih enggan lirik sana-sini, coba deh sekali-kali beli kaca.
Sekarang coba bayangin, gimana perasaan orang di negara (mayoritas) Kristen ngelihat Indonesia ketika ada diskriminasi terhadap orang Kristen di sini? Atau bayangin juga gimana persepsi orang Cina ketika membaca Indonesia rasis ke etnis Tionghoa?
Saya sendiri udah beberapa kali nemu gimana sinisnya kenalan saya yang asli Hongkong, ketika membaca sejarah Indonesia. Terutama saat membaca sejarah tragedi 1998. Wajar kalau ada sentimen negatif kalau sebuah negara punya masalah dalam urusan konflik sektarian di negerinya.
Artinya, citra negara itu penting lho buat dompet negara kita. Kecuali kita emang mau hidup kismin kayak Korut sih.
Keempat; sayap kanan yang perkasa
Sayap kanan di berbagai negara memang sedang naik. Eropa yang dulunya liberal jadi mulai kekanan-kananan, Amerika yang suka teriak free trade jadi lebih protektif dan anti-imigran, atau Bolsonaro yang abai pada hak-hak indigenous Brasil.
Dan apa sih nature dari sayap kanan ini? Satu yang mencirikan mereka semua: anti-liyan.
Mereka selalu berhasil menemukan kambing hitam berupa minoritas yang patut dimusuhi bersama, lantas kelompok minoritas itu tiba-tiba jadi “musuh negara”. Entah itu antek-aseng, antek-asing, antek-Yahudi, antek-Mamarika, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, waspada saja terhadap gelombang sayap kanan yang—sedikitnya—sudah mulai muncul juga di negeri kita. Hal yang lebih ngeri adalah, kadang-kadang keberadaan mereka inilah yang dimanfaatkan oleh elite politisi kita untuk meraup suara.
Kelima; nggak muslim, nggak non-muslim, siapa aja bisa beringas
Terakhir. Dari kejadian ini, kita bisa bilang bahwa nggak cuma umat agama X yang bisa beringas, umat agama A, B, C sampai Z pun bisa sama beringasnya, bisa sama seramnya, bisa sama kejamnya.
Selama ini kan lumayan tuh sering ada tokoh-tokoh Barat yang bilang bahwa Islam adalah agama teroris. “Tuh lihat umat agama lain sans aja, cuma muslim yang suka teror.” Lalu pakai contoh 11 September, Bom Bali, bom tiga gereja Surabaya, dan lain-lain.
Sebaliknya, di Indonesia, beberapa umat muslim di negeri kita juga suka bilang bahwa negara non-muslim selalu bekerja satu sama lain untuk membantai orang-orang muslim. Lalu contoh kasus yang dipakai konflik Palestina vs Israel, Myanmar dengan Rohingya, sampai Cina dengan Uighur.
Padahal ya, kalau mau liat the big picture-nya, siapapun bisa jadi penindas dan tertindas. Yang penting jangan terprovokasi aja dengan konflik-konflik sektarian di negara-negara lain.
Oleh karena itu, biar kita di sini santuy-santuy saja, ya baiknya kita kembali lagi ke poin pertama; kalau berempati kepada korban jangan bersyarat.
Cukup pandang mereka sebagai manusia saja. Percaya sama saya, cara pandang kayak gini jauh lebih murah ketimbang risiko perpecahan kita sebagai bangsa.
BACA JUGA Memahami Konteks Konflik Muslim dan Hindu di India Biar Nggak Terprovokasi atau tulisan Nurhidayah lainnya.