MOJOK.CO – Nggak usah sok-sokan anti-aseng kalau kamu belum tahu bahwa ada 3 tradisi lebaran di Nusantara yang sangat mirip dengan tradisi di Cina.
Alkisah, tatkala mayoritas masyarakat Nusantara masih menjadi penganut animisme penyembah pohon, batu, dan sebangsanya, pendatang dari Cina yang mayoritas bermastautin di pesisir pantai pulau Jawa justru sudah banyak yang menjadi pemeluk Islam. Konon, para ikhwan muslim asal Cina ini umumnya bersih-bersih, sedangkan penduduk lokal yang masih dalam kondisi “kafir” itu dekil-dekil.
Informasi begitu saya dapat dari catatan perjalanan masyhur yang menjadi rujukan otoritatif sejarawan mancanegara berjudul Yingya Shenglan. Penyusunnya bernama Ma Huan. Seorang muslim berkebangsaan Cina yang bisa cas-cis-cus bahasa Arab dan Persia.
Berkat kecakapan berbahasanya itu, ratusan tahun silam, dia diminta mengawani Cheng Ho untuk menjadi penerjemahnya buat melakukan ekspedisi mengarungi samudera mancanegara.
Karena itu, saya kira bukanlah hil yang mustahal kalau bangsa Cina juga turut andil dalam pengislaman penduduk negara yang kelak kita kenal dengan sebutan Indonesia ini. Caranya mungkin tak melulu lewat dakwah secara langsung, melainkan juga dengan cara kawin campur dengan orang-orang lokal.
Dari data sejarah itu, saya kemudian mengonfirmasinya sendiri menjadi pengalaman saat saya bisa tinggal cukup lama di Cina.
Semakin saya bergaul dengan tradisi di Cina, semakin saya merasa bahwa ajaran Cina sekaligus tradisi keislaman yang dipraktikkan kaum muslim negara yang kerap dijadikan kambing hitam atas hampir segala permasalah di negeri kita itu, ternyata mempunyai banyak kemiripan dengan apa yang diamalkan penganut Islam di Indonesia.
Nah, mumpung lebaran, coba mari saya suguhkan beberapa kesamaan antara ajaran Cina dengan tradisi Islam yang biasa kita lakukan saat merayakan hari kemenangan ini. Biar nyunnah dengan angka ganjil, saya sebutkan tiga saja di antaranya.
Pertama, mudik alias pulang kampung.
Ajaran Cina sangat mementingkan keluarga, terutama penghormatan terhadap kedua orang tua—baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal dunia.
Filsuf Konghucu yang ajaran-ajarannya di Indonesia dianggap sebagai doktrin agama itu, pernah bersabda begini dalam kitab Lun Yu (Petuah Hikmah);
“Ketika orang tuamu masih ada, janganlah mengembara jauh-jauh dari mereka; kalau pun terpaksa mengembara, haruslah punya tujuan nyata” (fu mu zai, bu yuan you; you bi you fang).
Kenapa? Karena, kata Konghucu, “Orang tua senantiasa khawatir terhadap kesehatan anaknya” (fu mu wei qi ji zhi you).
Sebaliknya, masih menurut Konghucu, anak “tidak boleh tidak tahu usia orang tuanya; anak harus senang kalau orang tuanya panjang umur, tapi di saat yang sama juga harus sedih sebab orang tuanya kian menua” (fu mu zhi nian, bu ke bu zhi ye; yi ze yi xi, yi ze yi ju).
Karena itu jangan heran kalau menjelang lebaran dan Imlek, mudik untuk silaturahmi dan berkumpul dengan orang tua beserta sanak famili di rumah, menjadi agenda yang terus dinanti-nanti ketibaannya oleh masyarakat Cina muslim ataupun yang non.
Bisa jadi, semangat orang Cina untuk pulang kampung itu karena mereka ingin mengamalkan tradisi turun-temurun yang diilhami dari petuah Konghucu.
Namun, tidak menutup kemungkinan juga karena di Cina, setahu saya, tidak ada tetangga-tetangga julid yang demen menanyakan saat lebaran kayak “kapan nikah?”, “kapan punya anak?”, “kerja apa sekarang?”, dan segala pertanyaan mahasulit tanpa disertai jawaban solutif yang sejenisnya.
Kedua, ziarah ke makam leluhur.
Dalam ajaran Cina yang terinspirasi dari falsafah Konghucu, hukum mendoakan orang yang sudah meninggal sangat dianjurkan. Ini menjadi salah satu wujud bakti (xiao) kita kepada leluhur.
Konghucu pernah mengimbau, “Doakanlah leluhur sebagaimana engkau merasakan keberadaannya. Sembahyanglah kepada Tuhan seakan engkau merasakan kehadiran-Nya” (ji ru zai, ji Shen ru Shen zai).
Ya, kalimat terakhir itu memang 11-12 dengan sabda Rasulullah yang artinya “Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah” itu lho.
Karena itu, sejak zaman baheula, orang-orang Cina mempunyai kebiasaan nyekar ke makam leluhurnya. Setiap tahunnya, mereka bahkan punya hari raya tersendiri untuk itu. Namanya hari raya Ceng Beng.
Terkhusus yang muslim, sama seperti kebiasaan muslimin di Indonesia, muslim Cina juga biasa nyekar ke makam leluhurnya sehabis menunaikan salat idulfitri.
Uniknya, di samping menghelat tahlilan dengan membakar hio sepeti yang biasa dipakai di kelenteng, muslim peziarah kubur yang umumnya datang rombongan bersama satu keluarganya, juga biasa membawa makanan untuk disantap bersama di makam sambil bercengkerama.
Di sekitar kubur pun bahkan acap menjadi pasar dadakan yang menjual aneka penganan untuk mereka yang tidak membawanya dari rumah.
Ziarah kubur sehabis Salat Id ini pun juga membawa berkah bagi non-muslim. Sebab, pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar makam kebanyakan memang bukan penganut Islam.
Mangkanya, kalau tuan dan puan berkesempatan ke Cina saat hari raya, orang-orang Cina yang non-muslim kemungkinan tidak akan tahu di mana letak masjid terdekat, namun boleh jadi mereka akan sigap menunjukkan di mana pemakaman muslim berada.
Penyebabnya selain karena kebiasaan nyekar kubur muslim yang juga membawa rezeki bagi non-muslim untuk berjualan, juga karena yang diberi lahan pemakaman umum oleh pemerintah Cina ya cuma muslim doang. Mereka yang non-muslim biasanya dikremasi, bukan dimakamkan.
Ketiga, halalbihalal dengan berbagi angpau.
Hari raya idulfitri bagi muslim Cina atau Imlek bagi non-muslim di sana, memang menjadi kesempatan untuk halalbihalal dan mengumpulkan angpau. Enaknya, nominal angpau orang-orang Cina, tak peduli apa agamanya, selalu besar-besar nan menggiurkan.
Sayang, entah kenapa, ketika sudah sampai pada usia yang dianggap dewasa, kita tidak diberi angpau lagi. Malah giliran kita yang harus memberi. Padahal, nyata-nyatanya, kebutuhan kita terhadap angpau berisi uang jauh melampaui anak-anak kecil yang diberi Chiki saja sudah merasa girang itu.
Gara-gara beberapa persamaan tradisi muslim Indonesia dengan muslim di Cina inilah, terus terang bikin saya kian sulit mencari di mana letak perbedaan antara ajaran Islam versus Cina yang memungkinkannya menjadi apa yang oleh Samuel Huntington sebut sebagai “the clash of civilization”.
Makanya, ketika pas Aksi 22 Mei kemarin saya dikirimi video orang-orang yang memekikkan takbir kala mereka dikompori ketuanya yang bilang bahwa kawan-kawannya telah mati ditembaki “aparat Cina”, saya tetiba ingat kata-kata Mbah Pram di buku Hoakiau di Indonesia ini:
“Anti-Tionghoa dikembangkan secara sistematik oleh golongan penguasa, dan kemudian menjalar ke golongan borjuasi, yaitu golongan modal non-Tionghoa, kemudian diambil oper oleh golongan politik, yang menganggap anti-Tionghoa sebagai perasaan umum dan menggunakannya sebagai senjata atau landasan kegiatannya untuk mendapatkan simpati dari sekelompok orang yang disangkanya rakyat, tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan dan memperbesar modal dari golongannya sendiri.”
Selamat idulfitri. Selamat lebaran. Gongxi facai!