MOJOK.CO – Menurut data Pemkot, jumlah angkot di Bogor sudah lebih dari 3.400. Jumlah yang sungguh bikin resah, karena kemacetan semakin memprihatinkan.
Konon, Tuhan menciptakan Bandung ketika Dia sedang tersenyum. Namun, kalau bergeser sedikit ke barat, sepertinya Bogor diciptakan ketika Tuhan lagi naik angkot dan cemberut karena angkotnya ngetem.
Bogor ini memang aneh. Saat ini, Jakarta sudah sayonara dengan permasalahan angkot lewat JakLingko. Nah, di selatan ibu kota, Bogor justru seakan memeluk mesra masalah angkot, ngetem, dan macet.
Bukan rahasia umum lagi kalau selain disebut sebagai Kota Hujan, Bogor juga sering diolok-olok sebagai Kota Sejuta Angkot. Mulai dari pintu masuk awal kota di Terminal Baranangsiang, hingga daerah strategis seperti BTM, Sukasari, Elos, sampai Stasiun Bogor. Ngelihat angkot ngetem udah kayak lihat gerai Mixue saking banyaknya.
Angkot yang suka ngetem di sembarang tempat
Selain jumlahnya yang tumpah ruah, angkot di Bogor juga suka ngetem di wilayah-wilayah yang sering menimbulkan macet. Saya ambil contoh di daerah sekitar stasiun dan Alun-Alun (yang dulu Taman Topi).
Kondisinya, ruas jalan di sekitar alun-alun dibagi 2 dan tentu saja sempit. Nah, dengan santainya, angkot masih ngetem di pinggir alun-alun buat menunggu penumpang. Sudah tahu macet dan saya hanya bisa bingung. Entah alasan apa yang bikin angkot itu ngetem begitu saja meski macet banget. Hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu.
Kena klakson ratusan motor dan mobil agaknya udah bikin kebal para sopir. Ya karena udah makanan harian aja. Mungkin di telinga mereka, suara klakson ini udah kayak suara merdu Once Mekel. Jadi ya masuk ke telinga sopan aja gitu. Entahlah.
3.400 angkot membanjiri Bogor
Wacana menggusur atau mengurangi jumlah angkot sendiri sejatinya sudah ada sejak 2019. Saat itu, Pemkot Bogor tidak memberikan izin perpanjangan trayek. Bima Arya, selaku Wali Kota, juga sempat memberi angin segar ke publik karena per Desember 2023, konon, jumlah angkot akan berkurang drastis. Tapi, hingga kini, semuanya belum terealisasi.
Armada angkot yang ada di Bogor sendiri, menurut data Pemkot, ada di kisaran lebih dari 3.400. Jumlah ini sangat tidak ideal karena luas kota ini sendiri nggak begitu besar. Bogor hanya memiliki 6 kecamatan dan luasnya nggak sampai 120 kilometer persegi. Makanya, dengan jumlah angkot lebih dari 3 ribu, kondisi ruang jadi sangat tidak ideal.
Upaya Pemkot yang mengaktifkan Bus Kita Trans Pakuan sejatinya sedikit jadi angin segar. Namun, balik lagi, jumlah angkot yang tidak tereduksi secara signifikan, justru membuat bus-bus ini akhirnya “berebut lapak” dengan angkot di jalanan. Yang mana ujungnya kita semua tahu. Macet lagi dan lagi.
Kemacetan yang semakin bikin pusing
Macetnya Bogor ini bikin pusing karena peruntukan kota ini sejatinya adalah kota peristirahatan. Cuacanya yang sejuk (dulu ya, sekarang mah boro-boro), dekat dengan gunung dan curug, membuat orang yang pengin healing bisa ke Bogor.
Sejak awal, Belanda sepertinya memang berniat memfokuskan Kota Hujan untuk jadi tempat beristirahat dari hiruk-pikuk Batavia zaman dahulu. Istana Kepresidenan yang ada di Bogor pun dibangun di zaman Belanda dan normalnya dipakai Gubernur Jenderal Belanda kala itu untuk beristirahat.
Hal ini berlanjut dengan Presiden Jokowi yang kerap memilih pulang ke Bogor ketimbang berada di Istana Merdeka. Tapi dengan sederet fakta itu, tak juga membuat Bogor lekas kembali ke fungsinya sebagai kota peristirahatan. Malah jadi kota yang super macet seperti metropolitan.
Dan 1 yang luput dari sorotan, meski saya nggak tahu detail angkanya, permasalahan angkot Bogor ini juga ada imbas dari masuknya ribuan angkot dari kabupaten. Angkot warna biru yang normalnya beroperasi di wilayah kabupaten, sangat sering saya jumpai lagi seliweran di titik-titik sentral.
Sudah pusing dengan jumlah angkot hijau yang bejibun dan suka ngetem, masih juga kelimpahan angkot biru dari kabupaten yang kadang ya suka ngetem juga tuh di sekitaran Tajur-Ciawi. Baiyuuuuh!
Kudu menjadi prioritas wali kota yang baru nanti
Pemkot Bogor perlu segera mengambil langkah taktis. Iya, memang kudu pelan untuk mereduksi dan menata jumlah angkot. Terutama di wilayah sentral dalam kota. Ingat, Trans Pakuan sudah aktif. Selain itu, nantinya, proyek trem dalam kota yang akan jadi prioritas pembangunan juga ikut aktif.
Bogor perlu berkaca dari blundernya Jogja. Punahnya angkot memaksa masyarakat untuk nyicil motor dan mobil. Jogja sukses “menghilangkan” angkot, tapi malah menambah macet karena kendaraan pribadi yang menjamur di jalanan.
Ini mumpung 2024 akan ada Pilkada. Sudah begitu, masa jabatan Bima Arya yang sudah 2 periode akan berakhir. Calon wali kota yang baru kayaknya bisa memprioritaskan pengaturan angkot.
Ingat, Pemkot mempunyai target menjadikan Bogor sebagai kota heritage. Menata angkot bisa menjadi prioritas. Masa iya sih kota heritage masih ada angkot ngetem di sembarang tempat? Malu, atuh.
Penulis: Isidorus Rio
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kamu Ingin Tinggal di Kota Bogor? Coba Pikir Lagi! dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.