MOJOK.CO – Ketika Kawasaki Versys 250 yang jablay dan lumutan itu di-custom scrambler, ketamvanannya sangat lakik! Tidak ada secuil pun gejala LGBT.
Setahunan silam, karena ada rencana riyadhah ke sebuah pantai sunyi di Pacitan, saya beli Kawasaki Versys 250. Ada sih sebenarnya di garasi Ninja 250. Tapi, tahu ndiri–lah, naik motorsport begitu dengan jarak tempuh sejauh itu tak baik buat kesehatan pinggang, pantat, dan dengkul. Paling enak ya naik motor tipe touring.
Kebetulan sekali, pas Dek Gara ngajak nonton film superhero-superhero kesukaannya yang saya benci banget di Amplaz Mall. Kami melintasi areal pameran seumur hidup Kawasaki di dekat pintu masuk XXI. Ndilalah, kok mata saya nyangkut ke sebuah motor touring yang sangat jangkung. Kirain dari tongkrongannya paling tidak ia punya kapasitas mesin 600 cc. Eh, kebetulan, cuma 250 cc. Dan, eh, kebetulan lagi, murah.
Jadi dah beli. Ternyata cara belinya pun mudah banget. Cukup saya kasih KTP untuk difoto, lalu besoknya sebelum Dhuhur sudah dianterin ke rumah. Tak serumit sebelumnya saat saya beli Kawasaki ER-6.
Gagah, bongsor, dan jangkung, begitu prejengan asli Versys 250. Pada tipe tertentu, dilengkapi magic jar pula. Jadi, touring sekalian masak-masak apalah sepanjang jalan juga bisa. Difungsikan macam kos mobile, juga bisa. Orangnya tinggal masuk ke dalam magic jar-nya bila mau tidur.
Senasib dengan Ninja 250 hitam yang sehari kemudian langsung saya serahkan ke bengkel modifikasi, Versys ini pun begitu. Ubahan standar saja biar makin lanang: ganti knalpot yang gahar dan buang tameng-tameng wagu-nya. Malamnya, saya jajal touring ke ring road, ambil satu lap, dengan kecepatan terbaik yang limiter-nya adalah bismillah amantu billah tawakkaltu ‘alallah….
Dibanding Ninja 250, dalam kondisi mesin sama-sama standar, di gigi rendah, Versys ndak ada apa-apanya memang. Kalah jauh! Jadi untuk urusan start, Versys ta’dhim banget sama Ninja. Namun di putaran tengah dan atas, Versys juaranya. Wajar sih ya, dikarenakan Versys didesain untuk kebutuhan touring yang bertrek panjang pake banget, ia lebih membutuhkan napas panjang di gigi-gigi tengah dan atas timbang gigi bawah.
Soal handling, top! Sistem pengereman juga sudah sangat oke. Di tikungan yang cukup tajam di barat jembatan Jombor, dalam keadaan sepi, libasan grip ban-bannya kokoh mencengkeram aspal. Tak ada gejala understeer bin ngesot sedikit pun. Sip, sip, sip.
Berangkatlah saya ke Pacitan sesuai rencana. Kesan saya, motor ini memang enak banget buat touring yang membutuhkan kecepatan di atas rata-rata –plus magic jar, jangan lupa. Kalaupun saya sebut minusnya, tak lebih karena terlampau jangkungya motor ini, sehingga akan lebih nyaman lagi bila pengendaranya punya tinggi 175 cm ke atas. Ya macam tubuh jangkung Mas Iqbal Aji Daryono yang derajat kekondangannya berbanding lurus dengan derajat kenakalannya itu.
Setelah dipakai riyadhah, sebagaimana nasib benda-benda materialis-hedonis lainnya di garasi, mangkraklah ia. Sampai berdebu tebal dan belakangan lumut-lumut mulai bertumbuhan di tangki, sadel, dan ban-bannya.
Suatu hari, di Kafe Basabasi, saya berkenalan sama seorang pengopi yang tamvan, murah senyum, dan Muhammadiyah pula. Namanya Muhammad Fadhli Purba. Ternyata, dia expert banget dalam hal permotoran dan custom.
Mau tahu gambaran skill level padukanya?
Untuk ngecek kondisi mesin motor bekas masih bagus atau tidak, ia cukup ngegas keras-keras lalu jok belakangnya diangkat dan dianjlokkan rodanya ke tanah. Sudah. Persis dokter senior, ia sudah bisa megeluarkan fatwa-fatwa diagnosisnya. Dan akurat!
Timbang Versys malang itu jablay, suatu hari saya minta Bang Fahdli menjelaskan dengan detail perihal custom scrambler. Tentu sambil ngopi-ngopi pahit dan ketawa-ketawa tamvan gitulah.
Singkat kata, saya serahkan Versys malang di garasi itu kepadanya. Debu-debu pun berpamitan dengan berlinang air mata. Begitu pun lumut-lumut yang masih abegeh itu pada pamitan tanpa sempat bersuara. Saya berikan kebebasan penuh pada Bang Fadhli untuk mengoprek, membongkar, menendang, membanting, meludahi, memarahi, menyesat-nyesatkan, dan pokoknya mengubah seluruh bangunan aslinya gimana pun.
Butuh waktu tak pendek memang. Cukup banyak memamah bulan-bulan yang menagih kesabaran. Soal biaya, saya lupa persisnya berapa karena tak pernah saya catat macam bank plecit. Kira-kira ya lebih dari cukup untuk beli Versys baru lagi. Plus satu Mio atau Scoopy baru.
Tanki disikat, knalpot diganti baru, bahkan sasis dipotong, tapi disambung lagi. Sungguh kurang kerjaan ya, bayangkan, dipotong, dilas, disambung lagi. Bah, macam mana kau ini, Bang? Tidur napa, kan lebih enak, apalagi setelah mandi junub….
Jok dihabisin. magic jar, ya jelas dibuang. Ban ganti yang bertapak ultra serakah sama aspal dan banyak tahunya. Prejengannya sungguh gagah. Hanya, negatifnya, ban bertahu-tahu gini, gripnya menjadi kurang nyakar di tikungan. Tapi gampang banget sih cara mengatasinya, cukup pelanin doang kalau nikung. Gitu aja kok rempong.
Seluruh bodinya dilabur cat hitam, kecuali joknya pakai warna coklat tua. Lampu depan dipasangi jeruji macam sel tahanan KPK yang masih memungkinkan para penghuninya yang hajinguk itu melambaikan tangan seolah pamitan mau naik haji. Sistem pengereman jelas dibikin gres, disesuaikan dengan kaki-kakinya yang upside down dan ban-ban bertapak lebar tahu-tahu tadi.
Tepat di awal September 2018, selesailah custom scrambler bergenetika Versys itu. Yes!
Ya Allah, tamvannya sangat lakik! Tak ada secuil pun gejala LGBT. Kerennya sungguh tergolong ke dalam golongan yang melampaui batas secara tekstual.
Gagah, garang, sangar, macho, cool, sixpack, tak banyak bicara, perokok, hanya minum kopi pahit, kalau mandi ndak andukan, tak pernah sisiran, tak berkacamata, anti sedotan, tak suka puisi, selalu ntraktiri, ya setamsil begitulah citra-citra kejantanan yang melekat padanya. Kurang apa lagi?
Dan terjadilah segala apa yang diramalkan terjadi dengan sangat meyakinkan serupa kejadian-kejadian dulu zaman masih kaya saya dan ke mana-mana bawa SLK 250 dengan kap dibuka –bukan Ignis. Dilirik oleh mereka yang imannya masih kuat di dada. Ditatap sampai kepala ikutan belok oleh mereka yang kadang beriman dan kadang Abu Jahal. Dipandang sampai menghilang di kejauhan oleh mereka yang tak lagi bisa diingatkan akan kebenaran Al-Qur’an. Dan diehem-ehemi dengan gesture cecabean-ngebet-bonceng oleh mereka yang tak pernah tahu bahwa mandi junub itu wajib hukumnya.
Sampai kini, rute terjauh Scrambler yang lakik banget itu adalah 3 kilometer, yakni dari rumah ke Kafe Basabasi. Rute terbanyaknya ialah dari rumah ke Musala Baitul Muttaqin Tegalsari, sekitar 300 meter.
Saking khasnya suara knalpotnya, teman-teman jamaah shalat Subuh sampai bersepakat mengatakan kepada saya pada suatu pagi, bahwa tiap suara knalpot Scrambler itu terdengar di depan rumah-rumah mereka, itu tanda paling nyata bahwa sepuluh menit ke depan iqamat akan dikumandangkan.
Saya ketawa sendiri. Dipikir-pikir, ternyata suara knalpot Scrambler yang bleger itu telah menyetarai peran Syi’ir Tanpo Waton yang bila telah sampai pada bait “Ya Rasulallah salamun ‘alaik….” maka sebentar lagi iqamat akan dilafalkan. Alhamdulillah, kan? Sudahlah ia prejengannya tak memberi pilihan sedikit pun kepada para cecabean-ngebet-bonceng untuk tidak melempar kode-keras-gatel-gatel di mana pun ia parkir, ia pun berfungsi efektif membangunkan para tetangga untuk segera berangkat ke mushalla.
Mas Iqbal, boleh lho kapan pun bawa Scrambler saya bila sudah bosen sama mamah-mamah dan ingin jajal cecabean-ngebet-bonceng. Tak perlu inbox-inboxan lagi, dijamin katut…. Bhaaa…..