MOJOK.CO – Army diledek. Ngejual boxset BTS Meal kok sampai ratusan ribu. Rela antre berjam-jam. Halu, delusional, buang waktu, dan buang uang. Lho? Bentar, sebentar.
Ketika saya nulis ini, Army, penggemar BTS, berebut BTS Meal, seri khusus makanan yang dirilis secara kolaboratif bersama McD. Boxset ini berisi bungkus makanan, kotak nuget, saus, dan kotak kentang dan jadi rebutan seluruh fans BTS.
Karena terbatas, tentu tidak semua fans BTS memperoleh BTS Meal yang isinya berupa boxset kolaboratif ini. Ya iyalah, dari total 40 juta Army di seluruh dunia, fans di Indonesia salah satu yang paling besar.
Ini yang kemudan bikin banyak gerai McD hari ini jadi “rusuh” pada berebut BTS Meal. Jumlah boxset terbatas sementara fans BTS ada jutaan, apa yang terjadi? Ya pasar purna jual atau re-sale jadi salah satu solusi untuk mendapat BTS Meal ini.
Menariknya, Army diledek. Menjual boxset kok sampai ratusan ribu, diejek karena halu, delusional, dan buang uang. Lho apakah cuma Army yang begini?
Agak gemas, orang-orang tua meledek Army karena dianggap bodoh membuang uang untuk membeli produk resale boxset BTS Meal. Padahal dalam sejarah, penggemar musik juga selalu punya tingkat kegilaan yang sama kalau udah terkait memorabilia idolanya.
Misalnya lembar asuransi Elvis Presley, terjual seharga $10,000. Iya, selembar kertas asuransi yang tak memberimu apa-apa. Atau seorang dokter gigi asal Inggris yang membeli gigi milik John Lenon yang terjual seharga $35.000.
Pertanyaannya, mengapa jadi meledek Army karena membeli boxset McD x BTS Meal, tapi generasi kalian punya kegilaan lebih aneh?
“Lho itu kan Elvis dan John Lenon, masa disamain dengan BTS?”
Lho ya jelas, setiap generasi punya idolanya sendiri. Kalau BTS diledek karena punya fans perempuan histeris, jangan lupa The Beatles pada awal-awal karier juga memiliki fans histeris serupa. Meledek selera artistik dan musikalitas generasi ini sembari menepuk selera diri yang dianggap superior merupakan penyakit insecure yang akut.
Sebenarnya apa sih sumber kebencian orang-orang terhadap penggemar BTS atau Kpop pada umumnya? Superioritas? Maskulinitas? Atau sekedar iri karena mau bekerja sekeras apapun tidak akan sekaya mereka? Atau mau pake susuk sebanyak apapun tidak akan setampan Jungkook?
Kita kerap kali malu mengakui bahwa tiap generasi punya seleranya sendiri dan merasa selera musik sendiri sebagai sesuatu yang superior.
Padahal beberapa dari kita menemukan kegembiraan/ketenangan ya dari KPOP, di tengah tenggat kerja yang gila, Gerd yang mengancam, gangguan kesehatan mental, burn out, minim apresiasi dari atasan atau orang tua. Mereka menemukan alasan hidup dari lagu/konten/video BTS.
Toh dulu ada saat di mana para orang tua merasa jadi jagoan saat mendengar musik rock dan ingin melawan dunia sembari mendengar lagu-lagu cadas.
Mungkin buat kalian fandom BTS itu kerap melakukan hal yang tak masuk akal. “Lha sakit jiwa! Kok malah halu berasa ngobrol sama idol, bukannya cari bantuan.”
Bagaimana jika yang disebut halu itu harapan yang bikin bertahan. Semacam mantra: “Masih pengen liat Suga konser lagi”. Yang patah hati menemukan cinta, yang terluka menemukan harapan. Dan kukira itu tak apa.
Banyak dari kita yang merasakan langsung bagaimana musik mempengaruhi hidup. Mulai memberikan semangat, mengobati patah hati, merelakan perpisahan, hingga merayakan kehilangan.
Army, sebagai penggemar BTS, tidak sedang membeli makanan. Mereka sedang memberikan dukungan pada idola, usaha mencintai paling sepele.
Mungkin ini tidak masuk akal, bagaimana sih penggemar memberi dukungan? Membeli barang yang memperkaya idola? Kan idolanya udah kaya? Mau bantu apa lagi? Emang dengan membeli makanan untuk sekadar mengoleksi bungkusnya si Idol akan memperhatikan?
Tapi saya kira menjadi penggemar, mendukung idola, itu udah di luar logika. Jadi fans adalah usaha merayakan kegembiraan, perasaan yang tulus. Termasuk ketika heboh pada rebutan bisa dapetin BTS Meal itu tadi.
Saya pribadi mengenal tiga orang perempuan yang hidupnya berubah karena BTS. Mereka putus, dikecewakan pacar, dan berada di ambang depresi. BTS dengan lagu, wajah personil yang tampan, dan pesan-pesan progresif yang mereka miliki membantu tiga perempuan tadi untuk bangkit dan jadi lebih baik?
Tampak konyol? Memang, tapi saya kira saat kamu depresi, dan kecewa, cara apapun untuk bisa bertahan adalah wajar—sepanjang tidak merugikan orang lain.
Riddhi Chakraborty, kolumnis Rolling Stone India, menulis bagaimana BTS mengubah hidupnya. Ia belajar bagaimana menghadapi rasisme, menemukan semangat, dan meyakinkanmu bahwa hidup layak dijalani.
BTS, menurut Riddhi, menulis lagu bukan sekadar dijual, tapi mengirimkan pesan positif bahwa Army tidak sendiri. Kita bisa berdebat soal strategi marketing dan mengatakan bahwa semua yang dilakukan member BTS adalah gimmick belaka, tapi dampak yang mereka berikan pada penggemarnya toh bukan bohongan.
Sebenarnya cukup mudah mencari berita bagaimana BTS mengubah hidup penggemarnya. Mulai dari mereka yang suicidal dan depresi menemukan kebahagiaan dari konten haruan BTS, hingga para fans yang terdorong untuk jadi lebih baik karena pesan dari idola.
Mereka yang meraih gelar doktor, master, sarjana, atau capaian dalam bidang Science, technology, engineering, and mathematics (STEM) karena member BTS mendorong penggemarnya untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya.
Ingat, kita tak pernah tahu apa sih yang dirasakan penggemar dan bagaimana mereka memandang para idolanya. Bisa saja mereka itu seharian capek bekerja. Di kantor dihajar kerjaan. Di sekolah dirisak teman. Di rumah tak diapresiasi keluarga.
Cuma mau rebahan di kamar, makan McD seri BTS Meal, sembari dengerin suara idol grup kesukaan, nonton fancam, baca fanfiction. Lha masih juga diejek. Kenapa siiih nggak bisa lihat orang seneng? Kamu emang ada masalah apa?
BACA JUGA Bikin Bahagia ARMY, Bikin Lemes Driver Ojol: Sistem Pemesanan McD Ini Gimana sih? dan tulisan Arman Dhani lainnya.