MOJOK.CO – Salah satu kekhawatiran dengan alih status pegawai KPK jadi ASN adalah karena secara hierarki pegawai KPK akan berada di bawah kontrol pemerintah.
Ketika publik ramai-ramai mengkritik Presiden Jokowi karena menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), saya sungguh tak mengerti kenapa banyak yang mencak-mencak.
Serius. Gini lho. Kenapa perubahan status pegawai KPK itu jadi begitu penting sih buat kita?
Toh, mau diganti jadi ASN atau pegawai independen seperti sekarang, selama UU KPK yang baru tidak diamandemen untuk dikembalikan ke UU yang lama, rasanya kritik sampeyan-sampeyan itu juga bakal percuma. Undang-undangnya memang udah begitu, Bwos. Ini udah legal. Sah secara hukum, meski nggatheli.
Oke sih, salah satu kekhawatiran sederhana dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN adalah karena secara hierarki pegawai KPK nanti akan berada di bawah kontrol pemerintah secara langsung. Dalam hal ini di bawah kendali presiden lewat jalur Dewan Pengawas KPK.
“KPK bakal semakin lemah bahkan bisa lumpuh dalam penegakan hukum. Karena status PNS (baca: ASN) akan membuat kerja KPK semakin birokratis dan terkontrol atas nama atau dibungkus ketertiban aparatur,” kata Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation.
Artinya, KPK tidak akan bisa segalak dahulu karena menjadi bagian dari pihak yang bakal mereka periksa atau awasi. Coba ngana bayangkan kalau ada kasus korupsi esok-esok hari, bukan tidak mungkin ASN bakal mengusut kasus korupsi dari pegawai ASN lainnya. Udah kayak jeruk makan jeruk gitu.
Meski begitu, sebagai pihak yang selalu berprasangka baik terhadap manuver-manuver pemerintah yang ajaib macam begini, saya menemukan beberapa sebab kenapa status ASN untuk pegawai itu penting bagi pemerintah kita.
Salah satunya adalah soal faktor kesejahteraan pegawai KPK.
Dalam logika politisi dan pejabat kita pada umumnya, seseorang menjadi koruptor itu sering dipahami karena hidupnya kurang sejahtera. Misalnya, udah punya rumah dua padahal harusnya lima, mobil udah tiga harusnya selusin, dan “kemiskinan-kemiskinan” untuk ukuran pejabat lainnya.
Sebabnya? Ya karena jadi pejabat itu kayak mewajibkan diri harus bisa tajir melintir untuk mempertahankan kekayaannya sampai tujuh turunan. Ya kan anak-anak mereka harus jadi pejabat juga nantinya. Jadi walikota kek, jadi anggota DPR kek, dan itu semua butuh modal gede, Buuung.
Dengan logika semacam itu, salah satu cara mencegah korupsi adalah dengan makin menyejahterakan para calon-calon koruptor atau tukang terima suap itu. Biar nggak korupsi, makanya pendapatannya digedein. Ya iya dong, kalau duitnya banyak kan mereka nggak bakal tertarik buat nilep-nilep duit negara lagi. Ajaib kan?
Nah, dengan begitu, salah satu cara untuk membuat KPK makin kuat itu adalah menjamin kesejahteraan para pegawainya dengan “mengangkat” status mereka dari pegawai independen KPK menjadi ASN.
Sebentar, sebentar, tak perlu mencak-mencak kalau logika acakadul begitu yang dipakai.
Hal ini wajib dimaklumi karena pemerintah kita ini isinya rata-rata generasi boomer. Generasi yang kebanyakan berpikir bahwa hanya dengan menjadi ASN, hajat hidup seseorang akan terjamin di masa depan. Dengan menjadi ASN pula seorang pegawai akan tenang hidupnya dan tak perlu berambisi lagi. Jadi keinginan untuk berprestasi akan melunak dengan sendirinya.
Apalagi, dengan diangkat jadi ASN, pegawai KPK akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang biasa diperoleh pejabat atau pegawai di instansi pemerintah lainnya. Hal yang tidak didapatkan kayak dulu. Salah satunya adalah adanya tunjangan-tunjangan khusus. Tunjangan yang kadang bisa lebih besar nilainya ketimbang gaji pokok.
Hm, menarik sekali memang cara pemerintah dalam membungkam memperkuat pegawai KPK. Waw, terima kasih Pak Jokowi, terima kasih Pak Arteria Dahlan, terima kasih DPR RI.
Oh, iya, sekalian usul aja untuk pegawai KPK yang bakal diangkat jadi ASN sebentar lagi, mohon segera menguasai stater pack game-game ASN macam Zuma atau Solitaire. Penting tuh.
Selain itu, dengan menjadi ASN, para pegawai KPK tak perlu khawatir pula untuk dimasuki unsur-unsur eksternal yang bisa memengaruhi penyelidikan atau penyidikan kasus korupsi lagi ke depannya. Kayak perwira-perwira polisi yang berjubel masuk ke KPK misalnya.
Soalnya ketika KPK masih independen dulu, posisi menjadi Ketua KPK atau penyidik KPK itu sangat strategis karena bisa menggasak kanan-kiri atau menghilangkan barang bukti kalau atasannya berpotensi kena masalah. Ingat tragedi “buku merah” kan? Eh.
Nah, dengan status ASN sekarang, mana mau bagian dari kepolisian masuk ke KPK kalau status pegawai KPK jadi ASN begini? Udah enak-enak jadi aparat kok malah turun kasta jadi sipil? Udah pakai seragam aparat yang keren, malah harus pakai seragam safari. Idih.
Di sisi lain, strategi ini juga sangat baik karena bukan tidak mungkin akan “membersihkan” elemen-elemen kepolisian di tubuh KPK secara berkala.
Toh, kalau akhirnya KPK sukses di-ASN-kan dalam kurun waktu (rencananya) dua tahun ini, Perwira Polisi macam Firli Bahuri mungkin bakal jadi anggota kepolisian terakhir yang mengisi jabatan strategis di KPK.
Lah iya dong, buat apalagi mengendalikan “singa” kalau taring dan kukunya udah dicopotin semua kayak KPK begini?
Udah ompong, makanannya biskuit Whiskas lagi.
BACA JUGA Karena Jarang OTT, KPK Justru Dinilai Sukses oleh DPR atau tulisan soal KPK lainnya.