MOJOK.CO – Apapun kesuksesan Gibran Rakabuming Raka, sedikitnya tetap muncul tudingan ada peran reputasi sang bapak di sana. Hmm, sialnya jadi anak presiden.
Majunya Gibran Rakabuming Raka dalam bursa pencalonan Wali Kota Solo 2020 direspons oleh banyak pihak. Sayangnya, respons yang muncul banyak juga yang kurang positif. Salah satunya adalah respons dari Wakil Ketua DPR RI 2014-2019, Fahri Hamzah.
Menurut Fahri, keputusan Gibran terjun dalam politik untuk Pemilihan Wali Kota Solo 2020 ini punya kesan negatif karena bapaknya masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Kegelisahan itulah yang kemudian diungkapkan Fahri Hamzah melalui akun Twitternya.
Sebaiknya Gibran maju paling cepat setelah 2024….kalah atau menang di Solo akan merusak reputasi bapaknya…padahal harusnya reputasi presiden berakhir moncer…pada periode akhir… https://t.co/heDYgCtEgk
— #ArahBaru2019 (@Fahrihamzah) December 17, 2019
Meski Fahri Hamzah dikenal sebagai sosok yang selalu berseberangan dengan Presiden Jokowi, namun kali ini harus diakui bahwa blio mengungkapkan kegelisahan yang sebenarnya juga dialami oleh banyak pihak yang mengagumi Gibran—saya salah satunya.
Mau beberapa politisi bilang bahwa Gibran maju bukan karena kepopuleran bapaknya, atau tanpa pretensi apapun dari Jokowi, bagi saya tetap saja tak bisa ditampik kalau dirinya punya beberapa keuntungan karena posisi citra politiknya saat ini.
Itu hal yang—di satu sisi—merupakan kelebihan, namun di sisi lain bakal jadi duri yang menyesakkan.
Iya dong. Dalam bayangan saya, berat lho menjadi sosok Gibran. Segala macam kesuksesan yang dia raih saat ini, cukup mudah untuk dicap sebagai keutungan karena jadi anak Presiden. Dan inilah “kutukan” menjadi anak orang nomor satu di negeri ini.
Seperti bisnisnya yang moncer dengan Chilli Pari atau Markobar misalnya, orang boleh sebut itu kerja keras Gibran, tapi sedikit banyak orang juga tertarik mencicipi dua produk tersebut karena ada embel-embel… “Punyanya anak Presiden Indonesia, nih.”
Itu pretensi yang tidak bisa dinihilkan begitu saja. Pasti muncul. Pasti ada. Lha wong nyatanya memang anak presiden kok.
Sekeras apapun Gibran berusaha, selentingan yang nggak enak ini jelas terus bakalan ada. Hal ini yang bakal bikin pembuktian bahwa Gibran bisa hidup tanpa tertutup bayang-bayang kebesaran bapak jadi begitu sulit.
Dan hal itu jelas menjadi bagian yang tidak mengenakkan jadi anak seorang presiden. Haaa piye? Apapun kesuksesanmu dianggap ada andil dari bapakmu je.
Di sisi lain, hal ini juga jadi keuntungan yang luar biasa.
Faktanya, tak seperti kader partai di PDIP lainnya, Gibran tak perlu menunggu 3 tahun menjadi kader partai untuk bisa maju sebagai calon pemimpin daerah di Pilkada via DPD Partai. Hal yang kemudian diklarifikasi oleh Lady Puan Maharani, bahwa ini merupakan hak prerogatif DPD Partai.
Puan memang menjelaskan kalau PDIP tidak melihat latar belakang calon pemimpin daerah. Tapi masa iya, kami-kami ini bakal percaya kalau Gibran dapat keuntungan kayak gini cuma karena sebatas alasan normatif kayak gitu? Hayaa tentu saja tidak.
Padahal, bapaknya Jan Ethes ini dulu begitu dikagumi karena keengganannya terjun dalam dunia politik. Ini jelas melegakan. Gibran—awalnya—punya kesan sangat berbeda dengan wajah-wajah “putra-putri mahkota” presiden-presiden Indonesia macam Agus Harimurti Yudhyoyono, Puan Maharani, sampai Tommy Soeharto.
Bisnis yang dijalani Gibran pun bukan bisnis-bisnis mega proyek kayak perusahaan tambang atau jadi komisaris di perusahaan keluarga, melainkan bisnis “sepele” untuk ukuran anak presiden. Bisnis katering dan kuliner.
Oleh karenanya, keputusan Gibran maju sebagai calon wali kota Solo 2020 dari partai yang sama dengan bapaknya itu merupakan keputusan yang mengejutkan—sekaligus—menganggu. Citra positif Gibran mendadak bak kena cipratan oli karena ujug-ujug terjun ke dunia politik di periode akhir jabatan presiden bapaknya.
Oke deh, bagi mereka yang membela Gibran, bisa saja punya pandangan seperti ini, “Lah, kalau memang punya kemampuan nggak apa-apa toh? Masa hanya karena kebetulan jadi anak presiden jadi nggak boleh terjun ke politik?”
Masalahnya adalah… “menjadi anak presiden” itu tidak “hanya”. Menjadi anak presiden itu strata sosial yang nggak sembarang. Mau ditampik bagaimanapun, citra Gibran sedikit banyak kena karbit dari citra Bapaknya.
Itulah yang saya sebut sebagai kutukan sekaligus keuntungan jika seseorang jadi anak presiden.
Di sisi lain, memang betul, Gibran tentu saja punya kemampuan memimpin dan manajerial yang baik. Setidaknya dua perusahaannya berkembang pesat. Tanpa kepemimpinan yang mumpuni, jelas tidak mungkin bisnis katering dan kuliner Gibran bisa besar seperti sekarang.
Saya pribadi malah cenderung setuju dengan usulan Fahri Hamzah, bahwa ada baiknya Gibran maju sebagai calon Wali Kota Solo pada 2024 saja. Jangan yang periode tahun depan. Kesusu banget.
Bukan, bukan, karena untuk menunggu kematangan politik Gibran saja, melainkan juga untuk memberi bukti bahwa pilihannya terjun ke politik bukan karena “aji mumpung” semata.
Agar dalam tempo waktu yang tersisa sampai 2024 nanti, Gibran berusaha membuktikan dulu untuk bisa lepas dari bayang-bayang sang bapak—setidaknya—dalam kancah dunia politik.
Memangnya kenapa perlu seperti itu? Hayaa, agar tudingan praktik “politik dinasti” benar-benar tidak terbukti dong. Bijimana seeh?
BACA JUGA MENGHITUNG OMZET GIBRAN RAKABUMING DARI CHILLI PARI DAN MARKOBAR atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.